Monday, January 24, 2005

Perkara Utang II

Senin, 24 Januari 2005

Membaca Hasil Pertemuan CGI Ke-14

APA yang berbeda dari pertemuan ke-14 Consultative Group on Indonesia dibandingkan dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya? Pertama, untuk pertama kalinya pertemuan dipimpin oleh pihak Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Menteri Koordinator Perekonomian.

Kedua, bencana gempa bumi dan tsunami menjadi topik istimewa yang sekaligus memperkuat komitmen negara-negara donor dan lembaga-lembaga keuangan internasional untuk membantu Indonesia sebagaimana yang telah mereka janjikan pada konferensi internasional tentang tsunami yang juga diadakan di Jakarta beberapa minggu sebelumnya.

Ketiga, munculnya kategori baru bantuan yang disalurkan tidak melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Adakah makna dari ketiga perbedaan tersebut? Tampaknya ya, dan cukup dalam. Gempa bumi dan tsunami kembali menempatkan Indonesia sebagai pusat perhatian dunia. Bencana kemanusiaan yang sangat dahsyat ini telah menggugah dan mengedepankan "wajah" kemanusiaan masyarakat dunia nyaris tanpa kecuali.

Bahkan, sampai-sampai boleh jadi bisa mengubah karakter dan titik berat politik luar negeri Amerika Serikat (AS). Salah satu indikasinya tercermin dari pidato inaugurasi Presiden George Walker Bush untuk masa jabatan keduanya pada akhir minggu lalu yang lebih rendah hati dan tak menyebutkan sepatah kata pun tentang terorisme.

Indikasi lainnya ialah berlomba-lombanya negara-negara kaya untuk memperbesar bantuan. Bahkan, beberapa di antaranya terkesan berambisi menjadi yang terbesar atau paling tidak melipatgandakan komitmennya seolah-olah takut dianggap kikir dan tak peka terhadap derita kemanusiaan yang tiada taranya.

Boleh dikatakan, apa pun yang diminta Indonesia dalam rangka penanganan bencana ini hampir selalu dipenuhi oleh komunitas internasional, khususnya negara-negara besar dan atau yang sangat berpengaruh. Mereka seakan sangat menjaga "perasaan" pemerintah dan masyarakat Indonesia.

SEKARANG berpulang pada diri kita: apakah mampu menjaga harkat dan martabat bangsa, mempunyai harga diri, dan berketetapan hati untuk mengubah perangai serta kebiasaan buruk selama ini.

Kehendak untuk memimpin pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI) telah mereka penuhi. Mereka pun turut membantu upaya guna membuat Pemerintah Indonesia memiliki modal yang cukup untuk menjadi pemimpin yang patut. Momentum ini terlalu berharga untuk disia-siakan.

Komitmen kuat masyarakat dunia untuk membantu Indonesia bukannya tanpa keraguan sama sekali. Komisi Darurat Kemanusiaan (KDK) yang dideklarasikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) telah bertemu dengan sejumlah perwakilan negara dan lembaga donor di Jakarta.

Mereka secara eksplisit menyampaikan kepedulian terhadap kemungkinan bocornya arus bantuan. Untuk mengantisipasi hal itu, mereka menyatakan kesediaannya memberikan bantuan dana dan teknis kepada KDK, yang salah satu bidang kegiatannya adalah memonitor seluruh bantuan bagi penanganan bencana di Aceh dan Sumatera Utara.

Perhatian yang sama ditunjukkan pula oleh pihak donor pada pertemuan CGI yang lalu. Hal ini tercermin dalam bentuk komitmen hibah yang besarnya tak kurang dari 1 miliar dollar AS yang akan disalurkan secara langsung melalui jalur di luar APBN, seperti misalnya ke LSM, lembaga-lembaga lainnya, dan masyarakat secara langsung.

Jumlah hibah yang di luar APBN ini mencapai lima kali lipat dari besarnya hibah lewat APBN. Bahkan, tetap lebih besar jika dibandingkan dengan keseluruhan bantuan untuk Aceh yang lewat APBN (sebesar 0,7 miliar dollar AS, terdiri dari 0,5 miliar dollar AS berupa pinjaman proyek dan 0,2 miliar dollar AS berupa hibah).

Sekarang, mari kita hitung besarnya kontribusi bantuan dari CGI bagi penanggulangan bencana. Perhitungan sementara yang dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan, besarnya nilai kerusakan dan kerugian dalam bentuk arus pendapatan yang hilang di dalam perekonomian keseluruhannya berjumlah Rp 41,4 triliun atau 4,45 miliar dollar AS.

Jika diasumsikan bahwa periode tanggap darurat sampai rekonstruksi membutuhkan waktu lima tahun, secara kasar rata-rata kebutuhan dana setiap tahunnya adalah Rp 8,3 triliun. Untuk tahun 2005 saja, CGI mengucurkan bantuan khusus untuk bencana tsunami senilai 1,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 15,8 triliun.

BAGAIMANA memahami perbedaan yang sangat mencolok antara kebutuhan rata-rata setahun dan komitmen bantuan yang besarnya hampir dua kali lipat?
Pertama, tentu saja ada yang mengatakan bahwa asumsi yang digunakan sangat kasar. Mungkin dibutuhkan waktu lebih dari lima tahun untuk menuntaskan rekonstruksi daerah yang terkena bencana. Namun, kita sebagai bangsa harus memancangkan tekad kuat untuk secepat-cepatnya memulihkan daerah bencana.

Kedua, kebutuhan tahun pertama boleh jadi akan lebih besar ketimbang tahun-tahun selanjutnya sehingga pantas jika alokasinya pun jauh lebih besar. Katakanlah besarnya kebutuhan dana tahun pertama dua kali lipat dari rata-rata setahun atau sekitar Rp 16,6 triliun.

Angka ini masih tetap lebih rendah dibanding dengan besarnya komitmen CGI ditambah dengan dana-dana yang berasal dari sumber resmi lainnya dan sumbangan masyarakat dari dalam maupun luar negeri.

Ketiga, bagaimanapun, sudah barang tentu pemerintah telah dan akan terus mengalokasikan dana khusus bagi daerah yang terkena bencana. Sebab, sebesar apa pun dana bantuan yang terkumpul, niscaya tak bisa seluruhnya sesuai dengan kebutuhan dan jadwal penggunaan.

Namun, paling tidak, melimpahnya bantuan tak membuat pemerintah khususnya dan masyarakat umumnya menyurutkan komitmen bagi percepatan proses pemulihan daerah yang terkena bencana. Lebih dari itu, jangan lupa sampai tebersit niatan "menunggangi" bencana untuk tujuan-tujuan yang tidak sepatutnya.

Lebih bermakna lagi jika pemerintah menjadikan penanganan bencana bandang ini sebagai momentum untuk mengembangkan paradigma pembangunan baru yang bersifat holistis, yang menempatkan dimensi manusia sebagai titik sentralnya. Dalam konteks ini, pemulihan di Aceh sejatinya terintegrasi dengan penyelesaian konflik secara tuntas dan menyeluruh.

Harus diingat bahwa bantuan langsung maupun tak langsung diperkirakan masih akan terus mengalir. Yang sudah pasti ialah moratorium (penundaan sementara) pembayaran utang selama tiga bulan (Januari-Maret 2005) sebesar 700 juta dollar AS sebagaimana telah diputuskan di dalam forum Paris Club beberapa waktu yang lalu.

Besarnya nilai pembayaran utang (debt service) yang dijadwalkan kembali diperkirakan akan berlipat ganda sampai miliaran dollar AS pada perundingan Paris Club mendatang setelah Bank Dunia merampungkan perhitungan kerusakan dan kerugian akibat bencana. Bahkan, tak tertutup kemungkinan Indonesia memperoleh beberapa skema pemotongan utang.

Dengan potensi aliran bantuan yang sedemikian derasnya, tidakkah sebaiknya kita meninjau kembali pelibatan utang- dengan persyaratan yang sangat lunak sekalipun-dalam penanggulangan bencana?

Mengapa penegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak menerima utang bagi kebutuhan penanggulangan bencana dianggap sepi para pembantunya? Bukankah komponen pinjaman dari CGI relatif kecil (0,5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 4,6 triliun)?

Tidak bisakah dana sebesar itu berasal dari penyisihan 2,5 persen dana perimbangan untuk daerah sebagai wujud dari komitmen ke-bineka-tunggal- ika-an kita?

Kalau masih kurang juga, rasanya para pejabat tinggi negara, pegawai negeri eselon I dan II, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah tidak keberatan jika setidaknya setengah persen dari gaji mereka disisihkan bagi korban bencana di Aceh dan Sumatera Utara.

Rasanya kita sebagai bangsa akan kehilangan muka seandainya tak menunjukkan komitmen yang proporsional dengan apa yang telah ditunjukkan masyarakat internasional. Mengapa kita tak mau belajar barang sedikit dari India dan Thailand yang menampik pinjaman, padahal dampak terhadap perekonomian di kedua negara itu lebih besar daripada yang dialami Indonesia?

Mengapa pundi-pundi penerimaan pajak ditutup rapat? Bukankah sedemikian sangat mudahnya meningkatkan penerimaan pajak dari Rp 256 triliun sebagaimana yang termaktub di dalam APBN 2005 menjadi sekitar Rp 280 triliun asalkan direktur jenderal pajaknya diganti dengan "orang dalam" yang bersih dan tahu persis berbagai modus operandi "perselingkuhan" pajak? Bukankah langkah serupa bisa pula diterapkan guna meningkatkan penerimaan dari bea dan cukai?

Akhirnya, tidak lengkap kiranya kalau tidak menyinggung barang sekilas posisi konvensional bantuan CGI sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit APBN.

Pemerintah dan DPR telah menyepakati besarnya defisit APBN 2005 adalah satu persen dari produk domestik bruto (PDB) atau setara dengan 3 miliar dollar AS. Berarti, pinjaman plus hibah dari CGI yang jumlahnya 2,8 miliar dollar AS meliputi lebih dari 93 persen defisit.

Karena pada waktu yang sama kita harus membayar angsuran pinjaman, kebutuhan pembiayaan keseluruhan (gross financing needs) haruslah menambahkan besarnya defisit dengan pembayaran angsuran tersebut yang keseluruhannya berjumlah 10,9 miliar dollar AS.

Dengan menggunakan patokan ini, kontribusi pinjaman baru dari CGI terhadap kebutuhan pembiayaan total adalah 25,7 persen. Sisanya ditutup dari penarikan rekening pemerintah di Bank Indonesia, penerbitan obligasi di dalam dan luar negeri, privatisasi, penjualan aset sisa Badan Penyehatan Perbankan Nasional, dan utang luar negeri non-CGI.

Angka-angka ini menunjukkan berlanjutnya komitmen pemerintah untuk mengurangi stok utang, baik secara nominal maupun persentasenya, terhadap PDB sehingga lambat laun ketergantungan kita pada utang luar negeri akan semakin kecil.

Slogan "perubahan" yang diusung Yudhoyono-Kalla akan menjadi kenyataan jika pemerintahannya berhasil mempercepat pembayaran utang dengan sesegera mungkin melakukan pembenahan total aparat pajak serta bea dan cukai. Kita tunggu gebrakan 100 hari yang tinggal seminggu lagi. *

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0501/24/utama/1514687.htm

No comments: