Wednesday, November 30, 2005

Covey dan SBY

Kamis, 01 Desember 2005

Presiden: Budaya Unggul Harus Jadi Identitas Kita

Covey Tekankan Suara Panggilan Jiwa

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginginkan tumbuhnya budaya unggul (culture of excellence) yang berlandaskan kesadaran akan kemampuan diri sendiri dapat menjadi identitas dan semangat kelembagaan negara. Budaya unggul tersebut diharapkan kelak menjadi budaya nasional.

Budaya unggul yang harus ditanamkan adalah kita harus bisa, berbuat yang terbaik, dan kalau orang lain bisa, mengapa kita tidak bisa. Demikian Presiden Yudhoyono dalam sambutan peluncuran buku terbaru Stephen R Covey, The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness, Rabu (30/11) di Jakarta.

Hadir dalam peluncuran dan seminar berjudul Achieving Greatness a Turbulent World in The 8th Habit itu Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia Jakob Oetama. Dalam acara ini Jakob memberikan buku The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness versi bahasa Indonesia kepada penulisnya, Stephen R Covey. Buku inilah yang kemudian oleh Covey diserahkan kepada Presiden Yudhoyono.

Dalam bukunya Covey mengajak orang mengatasi turbulensi kehidupan bukan hanya dengan berperilaku efektif, tetapi juga menjadi pribadi agung.

Apakah budaya unggul itu? Budaya unggul adalah semangat dan kultur kita untuk mencapai kemajuan dengan cara kita harus bisa, kita harus berbuat yang terbaik, kalau orang lain bisa, mengapa kita tidak bisa. Kalau Malaysia bisa, kenapa kita tidak. Kalau India bisa, mengapa kita tidak bisa. Kalau ekonomi China bisa maju, kenapa ekonomi kita tidak bisa maju, ujar Presiden.

Presiden menginginkan pada suatu saat budaya unggul yang diharapkannya terwujud itu bisa menjadi kultur nasional. Kita harus bisa melihat budaya unggul itu ada di universitas, sekolah, lembaga-lembaga pemerintah, partai politik, militer, polisi, provinsi, kabupaten, kota, dan lain-lain. Dengan budaya unggul kita bisa bergerak dari efektivitas menuju keagungan, ujarnya.

Menurut Presiden, dengan budaya unggul, para intelektual bisa lebih mengembangkan kemampuan diri, tak sekadar menjadi pemikir, tetapi juga mewujudkan gagasan-gagasannya.

Temukan jati diri

Indonesia beberapa tahun lalu pernah mengalami berbagai krisis dan bencana alam berturut-turut. Namun, Presiden Yudhoyono optimistis dan mengatakan, dengan pemerintahan yang dikelola secara baik, semua masalah yang muncul segera bisa diatasi.

Indonesia, kata Presiden, harus menemukan jati dirinya. Tidak hanya ingin sukses dan kaya. Dulu kekayaan muncul dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Bukan itu yang kita mau. Kita harus bebas dari KKN dengan dorongan cara-cara yang fair dan menggali potensi diri, ucap Presiden.

Lebih jauh, Presiden Yudhoyono mengatakan, beberapa negara yang dikunjunginya juga telah memiliki budaya unggul, seperti India, Korea Selatan (Korsel), dan Amerika Serikat. Presiden menyinggung kunjungannya ke Bangalore (India) dan Korsel. Industri dan teknologi informasi Korsel sudah berkembang pesat. Begitu juga Amerika Serikat sebagai pusat industri teknologi informasi terkemuka di dunia dan memiliki Microsoft, ujarnya.

Dalam sejarah Islam dan bangsa Eropa serta Asia sejak zaman renaisans, budaya unggul itu juga sebenarnya sudah ada. Budaya unggul bangsa-bangsa itu dapat menjadi semangat yang mendorong kemajuan bangsa. Budaya unggul ada sejak zaman Aristoteles yang terwujud dalam bentuk desain, seni, dan praktis demokratisasi, kata Presiden.

Sejarah Islam ribuan tahun lalu, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, budaya unggul sudah ada. Hal itu ditandai dalam perjalanan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah, katanya.

Presiden Yudhoyono juga menyebut kota Baghdad yang menunjukkan budaya unggul dalam peradaban Islam. Kota itu pernah menjadi pusat budaya Islam dan pusat pengetahuan umat Islam, katanya menambahkan.

Kebiasaan ke-8 yang ditulis Covey menekankan penemuan suara panggilan jiwa dan membantu serta mengilhami orang lain untuk menemukan suara jiwa mereka agar hidup dapat lebih bermakna. Kadang semangat dalam diri seakan padam dan perlu orang lain untuk menyalakannya lagi, ujar Covey.

Tak sekadar organisasi bisnis

Sementara itu, Jakob Oetama mengatakan, kebiasaan ke-8 yang ditulis Covey tidak sekadar menyangkut organisasi bisnis atau institusi. Lebih dari itu, ini menyangkut juga kultur dan komitmen. Tidak sekadar corporate social responsibility, tetapi juga suara kesadaran dengan elemen penting, yaitu spiritualitas, ujarnya.

Covey menjelaskan, intelegensia spiritual merupakan kemampuan terpenting dibandingkan dengan intelegensia lain, yaitu fisik, mental, dan emosional. Apa yang membedakan Hitler dengan Gandhi? Jelaslah perbedaan intelegensia spiritual yang membawa kesadaran dari dalam, kata kakek dari 42 cucu dan ayah dari sembilan anak itu.

Kebudayaan luhur bersumber dari prinsip-prinsip dasar yang selaras dengan hukum alam. Prinsip-prinsip demokrasi yang diterapkan pada kesejahteraan sosial, pemerintahan yang bersih dan menghindari korupsi, akan berakhir pada masyarakat yang mencapai kebudayaan luhur, kata Covey. (har/joe/tom)

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0512/01/utama/2254889.htm

Sunday, November 27, 2005

Kisah Lincoln

Senin, 28 November 2005

Lincoln, Perekonomian AS dan RI

Ignasius Jonan
Bangsa Amerika memasuki abad ke-19 dengan dominasi perekonomian agraris yang terpisah-pisah di hampir seluruh negeri. Hingga adanya layanan transportasi air berupa kapal uap, jalur kereta api, dan jasa layanan telegraf, maka sendi-sendi kehidupan setiap kelompok masyarakat pun menjadi berubah.

Mereka menghadapi fenomena baru berupa terbukanya hubungan dan komunikasi secara nasional dan internasional.

Ancaman terhadap industri tradisional meningkat dengan adanya perubahan sistem transportasi dan teknologi telekomunikasi. Tekanan atas perubahan struktur masyarakat dan falsafah hidup meningkat dengan adanya daya saing yang kompetitif secara nasional dan internasional.

Persaingan internasional bagi produk dalam negeri meningkat pesat di negara-negara bagian di belahan utara. Produk industri mereka bersaing dengan produk dari Eropa sehingga menimbulkan tekanan politis untuk memberlakukan proteksi terhadap industri di dalam negeri.

Di sisi lain masyarakat mulai mengenal adanya lapangan kerja baru dalam bentuk pabrik-pabrik baru yang juga menimbulkan protes keras karena upah yang tidak manusiawi dan mulai timbulnya kesenjangan sosial akibat perubahan bentuk perekonomian tersebut. Beberapa sektor tumbuh pesat melebihi sektor ekonomi lainnya. Namun, beberapa kegiatan ekonomi mulai tidak kompetitif lagi.

Perekonomian tumbuh pesat selama bertahun-tahun, tetapi bersamaan dengan tumbuhnya kesenjangan sosial yang makin tinggi (juga perbudakan), semangat proteksi perekonomian lokal, tingginya ego kedaerahan untuk melindungi kesejahteraan masing-masing negara bagian.

Itulah gambaran perubahan sosial dan perekonomian di Amerika, yang kemudian dilanda krisis keuangan. Tiga kali, yakni tahun 1819, 1837, dan 1857. Krisis itu menimbulkan gelombang pengangguran, dunia usaha bangkrut, dan kemerosotan peran lembaga keuangan yang tak terkoordinasi secara nasional.

Ketika Abraham Lincoln mulai berkuasa 1861, dia mewarisi masalah tersebut. Secara garis besar sama dengan yang dialami pemimpin bangsa kita pasca-Soeharto. Lincoln bersama Kongres Amerika yang dikuasai Partai Republik berusaha mengatasi masalah dengan beberapa prinsip kebijakan.

Memfasilitasi usaha kecil dan menengah (UKM) dengan memberikan peranan yang lebih besar dalam perputaran roda perekonomian.

Menggalang adanya perekonomian yang bersifat nasional di atas kepentingan kedaerahan. Mendorong terciptanya tata pemerintahan yang baik dan sehat untuk mengimbangi sistem perekonomian yang bebas sehingga pemerintah dapat tetap melindungi kepentingan umum.

Menyesuaikan kebijakan-kebijakan atas dasar kebutuhan nasional, bukan atas dasar teori ekonomi maupun contoh dari negara lain semata, yang belum tentu juga sesuai kondisi di dalam negeri Amerika waktu itu.

Kebijakan-kebijakan tersebut menjadi landasan kesuksesan besar pemerintahan Lincoln. Juga sendi-sendi kekuatan perekonomian Amerika hingga kini.

Upaya mengatasi kesenjangan sosial dan mendorong timbulnya kelas menengah baru di masyarakat adalah dengan memberikan kesempatan pekerja pabrik dan petani untuk memiliki lahan baru di daerah barat. Hal serupa pernah digalakkan di Indonesia dengan adanya program transmigrasi yang terpadu dan didukung oleh pemerintah.

Lincoln menolak upaya tetap mempertahankan adanya kelas buruh dalam masyarakat sebagai syarat pertumbuhan suatu perekonomian. Argumentasinya, bangsa Amerika tak akan dapat bertahan jika hanya 5 persen dari penduduknya berkecukupan, sementara 95 persen lainnya melarat! Argumentasi Lincoln tersebut didukung pengalaman negara Eropa yang menghadapi kerusuhan sosial akibat lebarnya kesenjangan sosial.

Meskipun Lincoln percaya akan sistem pasar bebas, dia tetap mengambil kebijakan yang pro-aktif untuk menciptakan perekonomian dengan sistem pasar bebas yang bertanggungjawab atas masyarakat dan bangsa. Dia tidak percaya pendekatan laissez-faire sepenuhnya, yang ditandai pemberian tanah di daerah barat serta pemberian sertifikat tanah secara nasional kepada petani.

Perekonomian nasional

Sistem perpajakan diubah dengan tarif progresif yang menjadi dasar sistem perpajakan Amerika pada saat ini (juga Indonesia). Penerapan tarif pajak progresif tersebut merupakan upaya untuk lebih meningkatkan layanan masyarakat kepada golongan ekonomi kecil dan menengah tanpa menciutkan semangat kewirausahaan yang tetap dibutuhkan dalam penciptaan lapangan kerja.

Upaya penciptaan perekonomian nasional pada waktu itu dimulai dengan dibangunnya lintas kereta api yang menghubungkan pantai timur dan barat Amerika. Mulai ditekankan penciptaan program dan institusi ekonomi yang bersifat nasional dan pembangunan infrastruktur yang menghubungkan seluruh negeri.

Lincoln juga menghadapi dilema adanya tekanan untuk memproteksi industri dalam negeri serta adanya tekanan untuk tidak memproteksi industri dalam negeri yang dikhawatirkan akan dibalas oleh para mitra dagang dari Eropa di sektor lainnya, yaitu hasil pertanian Amerika pada waktu itu, kapas. Untuk mengatasi dilema ini, dia membuat kebijakan yang dapat melindungi sebagian besar masyarakat Amerika.

Perekonomian kita

Kondisi Amerika di zaman Lincoln di atas juga tidak berbeda dengan kondisi kita sejak dijalankannya UU PMDN dan UU PMA di akhir tahun 1960-an sampai kita mengalami krisis keuangan dan krisis sosial di tahun 1997/1998 tersebut serta lanjutan upaya mengatasi ketertinggalan kita hingga saat ini. Menyimak kisah tadi, banyak kejadian dan situasi yang kita hadapi dewasa ini memiliki kemiripan mendasar.

Beberapa upaya yang telah dilakukan sejak zaman Orde Baru seperti program transmigrasi yang terpadu dengan semangat kewirausahaan, selayaknya dijalankan terus dengan tetap memerhatikan aspirasi kedaerahan serta efek sosial yang terkait.

Lincoln membuka lahan-lahan pertanian baru di daerah barat (disebut Wild West). Pada saat ini Pemerintah Indonesia berupaya membuka lahan pertanian baru dengan recana penciptaan perkebunan sawit terbesar di dunia di Kalimantan security belt.

Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tampaknya sudah sesuai aspirasi dan kebijakan Lincoln hampir 150 tahun lalu, tetapi penerapan dengan saksama dan bertahap sangat diperlukan agar tidak menggangu roda perekonomian yang sedang pulih dan menggeliat. Tujuan utama tata pemerintahan yang baik dan teratur bukanlah menghukum, tetapi mendahulukan kepentingan umum dan memajukan peri kehidupan bangsa dan negara di atas kepentingan golongan atau kelompok.

Pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM) seharusnya terus ditingkatkan. Selama upaya pemberdayaan UKM hanya dianggap misi sosial oleh pemerintah, upaya penciptaan kelas menengah baru dalam berjumlah besar dan mayoritas tidak akan terwujud segera. Adanya kelas menengah dalam jumlah mayoritas merupakan syarat utama demokratisasi suatu bangsa.

Pengaturan upah minimum serta perpajakan yang tidak menciutkan semangat kewirausahaan amat penting didorong. Namun, harus secara hati-hati mengingat perekonomian kita masih mencoba bangkit dari keterpurukan.

Pembangunan infrastruktur darat dan laut yang berskala nasional, misalnya, jalan nasional dan feri/kapal interinsuler yang memadai, menghubungkan berbagai belahan Indonesia yang melewati berbagai daerah dan pulau akan menjadi pendorong yang kuat untuk menciptakan lapangan kerja, rasa persatuan dan kesatuan bangsa, serta mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Kebijakan proteksi industri serta kebijakan menghadapi pasar bebas secara global harus diantisipasi secara saksama, untuk meningkatkan daya saing kita.

Program pemerintah untuk meningkatkan akses pendidikan berkualitas dan terjangkau serta fasilitas kesehatan yang memadai harus menjadi motor utama pengurangan kesenjangan sosial.

Presiden John F Kennedy dalam inaugurasi kepresidenannya 20 Januari 1961 mengatakan, If a free society can not help the many who are poor, it can not save the few who are rich.

=====
Ignasius Jonan: Praktisi Bisnis di Jakarta, Alumnus Columbia Business School dan The Fletcher School of Law and Diplomacy

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0511/28/ekonomi/2243647.htm

Thursday, July 07, 2005

Manusia Mencari Bahagia

Jumat, 08 Juli 2005

Keserakahan adalah Penderitaan
Jakob Sumardjo

Setiap orang menginginkan hidup bahagia. Setiap orang tidak menginginkan hidup menderita. Selama hidup di dunia ini manusia ingin bahagia, dan sesudah kematian pun ingin hidup bahagia. Kadang manusia rela hidup menderita, dengan harapan dapat hidup bahagia di surga. Tetapi apakah kebahagiaan itu?

Kebahagiaan, seperti halnya kebenaran, keadilan, keindahan, kebaikan, adalah nilai kualitas. Kebahagiaan dan kebaikan itu hanya terasakan adanya. Manusia merasakan kebaikan dan kebahagiaan orang lain. Manusia tidak menyadari kebaikan dan kebahagiaannya sendiri. Manusia selalu merasa kurang baik dan kurang bahagia meskipun orang lain mengatakannya sebagai baik dan bahagia.

Sebagaimana kata sifat yang lain, bahagia berada di luar pengalaman manusia. Bahagia itu terlalu besar dan terlalu luas bagi manusia. Bahagia itu berada di luar manusia, tak terbatas. Karena tak terbatas, maka kehadirannya pada manusia juga hanya bagian-bagiannya saja. Keindahan dan kebaikan juga demikian. Selama hidup di dunia ini manusia tidak mungkin mengalami dan memahami kebahagiaan, keindahan, kebaikan, kebenaran, keadilan, yang absolut dan sebenar-benarnya itu. Kebahagiaan adalah kualitas yang begitu akbar.

Inilah sebabnya orang tidak pernah sepakat tentang suatu rumusan apa yang disebut bahagia. Rumusan tentang suatu kualitas keberadaan selalu merupakan reduksi atau pemiskinan kualitas itu sendiri. Itu semua karena kebahagiaan itu hanya hadir sepotong-sepotong pada manusia.

Manusia itu terbatas oleh kodratnya, dan dengan demikian tak mungkin memasuki kualitas yang tidak terbatas itu. Tidak mengherankan apabila manusia cenderung mempunyai agama. Agama-agama menjanjikan hidup bahagia setelah kematian. Kebahagiaan itu kebahagiaan absolut karena akan bersama Tuhan yang Kebahagiaan, Kebaikan, Keadilan, Keindahan, Kebenaran itu sendiri. Semua tanpa batas. Kita pun tak berani membayangkannya.

Kita hanya dapat percaya. Hanya saja agama-agama tidak menjanjikan hidup di dunia ini selalu bahagia. Pepatah rakyat Yugoslavia mengatakan bahwa Tuhan tidak mencintai manusia yang selalu hidup ”bahagia”. Atau pepatah China: kalau tidak ada penderitaan, tak mungkin Sang Budha ada.

Penderitaan di dunia, ketidakbahagiaan di dunia, menjadi salah satu syarat menemukan Kebahagiaan Abadi. Dunia ini samudra air mata, begitu sabda Sang Budha. Berbahagialah hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa. Jadi, untuk tidak bahagiakah manusia hidup? Dan mengapa manusia mengejar apa yang disebut bahagia? Bahagia macam manakah yang ada dalam hidup ini? Apakah hidup bahagia itu sama dengan hidup bersenang-senang? Apakah penderitaan itu juga dapat bahagia?

Ternyata kebahagiaan tidak ada hubungannya dengan kekayaan dan kemiskinan. Kebahagiaan adalah sejenis sikap, suatu cara berpikir dan cara mengada. Kebahagiaan tidak ditentukan oleh hal-hal di luar diri manusia. Kebahagiaan itu ada dalam diri tiap manusia itu sendiri, tinggal memilih apakah saya akan hidup bahagia atau tidak.

Tidak ada bahagia tanpa cinta. Tentu saja berbeda antara cinta dan ”cinta”. Cinta itu sendiri adalah kualitas, begitu besar dan tanpa batas yang jelas. Tetapi tiap manusia merasakan getaran hadirnya Cinta itu. Celakalah manusia yang hatinya tidak tergetar, nuraninya mati, ketika matanya tidak melihat Cinta, ketika telinganya tidak mendengar lagi Cinta. Hiduplah dalam Cinta seperti engkau lihat Cinta itu hadir di sekitarmu.

Tidak ada bahagia tanpa kebenaran dan kebaikan. Kebenaran dan kebaikan juga kualitas yang dapat jadi masalah kalau dirumuskan secara rasional. Yang benar dan yang baik hanya ada di kepala tiap orang. Suatu perbuatan bisa tidak baik dan tidak benar bagi seseorang, tetapi bisa benar dan baik bagi yang lain. Namun sebagaimana kebahagiaan, kebenaran dan kebaikan adalah kehadiran lewat perbuatan. Bahagialah manusia yang matanya mampu melihat kebaikan dan kebenaran, telinganya mampu mendengar kebaikan dan kebenaran, dan hati nuraninya tergetar oleh apa yang dilihat dan didengarnya.

Hiduplah dalam kebaikan dan kebenaran, karena dosa adalah sumber kedukaan. Celakalah mereka yang mati hati nuraninya terhadap kebaikan dan kebenaran, karena kedukaan mereka akan abadi. Tidak ada kebahagiaan tanpa kegembiraan dan suka cita. Suka cita itu juga kualitas. Bobotnya bisa berbeda-beda. Suka cita sejati adalah kebohongan, penuh permainan, tanpa beban, gratis terberi, dan mencukupi diri sendiri. Humor dan ketawa itu mahal harganya. Sebuah suka cita sanggup melenyapkan seribu duka, begitu pepatah China. Manusia harus berlatih diri untuk dapat menguasai sikap suka cita ini.

Suka cita adalah sikap penuh harapan, optimistik, tanpa beban meskipun berbeban, santai penuh permainan. Dalam permainan, kalah dan menang, berhasil dan kegagalan, hanyalah masalah waktu. Untuk itu diperlukan kesabaran, menerima apa yang memang tak terelakkan, karena manusia memang memiliki batas.

Tidak ada bahagia tanpa merasa puas atas kecukupannya. Manusia yang tidak pernah merasa puas dan tidak merasa cukup adalah penderitaan. Ibaratnya ular yang mau menelan gajah. Di sini kemiskinan menjamin kebahagiaan. Manusia yang tidak pernah merasa cukup, manusia serakah, tidak akan puas kalaupun harta seluruh dunia menjadi miliknya; kalaupun seluruh umat manusia di bawah perintahnya. Orang begini, surga pun dicelanya. Kritiknya tiada habis karena orang begini tidak mengenal kesempurnaan dan kesederhanaan.

Tidak ada bahagia tanpa kedamaian dan ketenteraman. Ini juga kualitas, kehadirannya hanya bisa diselami, dirasakan, oleh yang mengalaminya. Hati yang damai menikmati semua yang datang padanya, juga penderitaan. Mereka yang menolak sakit, menolak kematian, menolak kekurangan, menolak kegagalan, adalah penderitaan.

Itulah beberapa rumusan rasional tentang hidup bahagia. Jelas ini tidak memadai. Mereka yang bahagia tentu akan merasakan bahwa banyak aspek bahagia tidak disebabkan di sini. Bahagia itu tidak dapat dirumuskan, tidak dapat dikatakan. Ia ada, hadir, tanpa terasa, tetapi memang ada dan terasa bagi orang lain. Mereka yang bahagia tidak akan merasakan berlalunya waktu. Mereka yang bahagia terjebak dalam kekinian, yakni keabadian. Waktu manusia tidak cukup untuk menampung apa yang disebut manusia bahagia.

Mereka yang bahagia, cerdas dalam nurani, dalam spiritualitas. Spiritualitas berarti berkaitan dengan keseluruhan yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih kaya, sehingga keterbatasan manusia diletakkan dalam cakrawala baru. Bahagia adalah kreatif, bukan konsumtif. Produktif, bukan mandul. Kemandegan adalah ketidakbahagiaan.

Jakob Sumardjo Esais, Tinggal di Bandung

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0507/08/humaniora/1854682.htm


Jumat, 08 Juli 2005

Dari Pengasuh
Standar

Hidup apa yang kita hidupi ini? Ketika tradisi yang selama ini mengikat kita dengannya memupus, acuan-acuan lama mengabur, acuan lama hanya remang dan standar tempat kita bersandar goyah permanen? Apa kemudian yang menjelaskan keberadaan kita, sebagai manusia, orang Indonesia, atau makhluk yang bersituasi?

Keruwetan ukuran, standar-standar yang menjelaskan kekinian kita, membuat sebagian kita lupa atau tak peduli hal-hal sepele yang sebelumnya begitu esensial. Taruhlah seperti ”bahagia”, situasi kemanusiaan yang direnungi oleh penulis ”teroka” kali ini, Jakob Sumardjo.

Esais yang ahli sastra, seni pertunjukan, dan profesor dari Bandung ini mengingatkan kita kembali pada bahagia, yang standar dan rukun-rukunnya terkacaukan oleh ukuran-ukuran material zaman ini. Begitukah? Mari kita renung bersama. Material!

Radhar Panca Dahana

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0507/08/humaniora/1873441.htm


Monday, June 27, 2005

Pencuri Hak Intelektual

Senin, 27 juni 2005

SETELAH pergolakan reformasi 1998, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, terjadi peristiwa langka tapi luput dari perhatian publik. Mulanya adalah ide kunjungan informal Perdana Menteri Israel kala itu, Yitzhak Rabin ke Gus Dur sebagai rekan intelektualnya. Ide itu tentu saja mendapat tentangan keras banyak pihak dan akhirnya teraborsi.

Pilihan itu bukan hanya cerdik, bervisi, dan srategis, tapi juga sudah mengandaikan keikutsertaan negara Timur Tengah itu dalam kompetisi kekuatan dan kekuasaan masa depan yang berbasis data.

Peradaban mutakhir memperlihatkan, adanya perseteruan hingga konflik fisik, persaingan usaha, dominasi satu negara pada negara lain, ditentukan oleh kemampuan satu negara mengakses dan mengoleksi data (lawan khususnya). Apa yang terjadi di Rusia, Eropa Timur, Irak, adalah bukti keampuhan data sebagai arsenal utama perang masa kini.

Maka terbayanglah apa yang hendak didapat Israel melalui misi dagangnya ke Indonesia. Karena kesadaran tentang kekuatan data memang rendah, akhirnya kita dibenturkan pada realitas baru bahwa siapa menguasai data, ia berkuasa.

Kita pun mafhum (sebagaiman biasanya), kita tidak cukup berdaya, lalu menerima kenyataan kita (sebagaimana biasanya) sebagai korban, dengan apologi bahwa itulah nature perubahan adap manusia. Mengenaskan. Memang.

SEBENARNYA, peristiwa di atas hanya runtutan atau kelanjutan dari kebijakan Menteri Perindustrian Tungky Ariwibowo di masa pemerintahan Soeharto. dalam pertemuan tahunan WTO di Singapura, ia menyetujui gerakan yang diprakarsai Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Demi satu konsesi: AS dan Jepang berjanji tidak mengangkat keburukan perburuhan Indonesia, penahanan pemimpin serikat buruh, juga penganiayaan buruh pejuang di WTO. Kesepakatan itu berupa pasar bebas untuk produk informasi dan teknologi.

Luar biasa. Mengapa? Karena hampir semua negara menolak kesepakatan yang hendak dijejalkan dalam keputusan WTO itu. Seluruh negara Eropa tak ada yang tanda tangan. Begitupun negara ASEAN. Bahkan Menteri Industri Malaysia sempat menyindir keberanian Indonesia masuk kerangka penuh jebakan itu. Asal tahu saja, selain Jepang dan Amerika sebagai penggagas, hanya empat negara lain yang setuju kala itu: Kanada, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, yang satelit kepentingan AS.

Akibat dari kebijakan di atas sudah dapat kita lihat belakangan ini. Bukan hanya industri teknologi-informasi dalam negeri ”perangkat lunak maupun kerasnya” yang tergilas habis korporasi global, namun juga peluang mengalirnya data-data vital dan rahasia negeri ini, baik data politik, militer, ekonomi-bisnis, maupun kultural. Dengan dikuasainya database negeri ini, soal penyubordinasian atau penaklukan tinggal masalah waktu.

Selain itu, terdapat satu keributan kecil yang juga kurang terperhatikan, apalagi membayangkan dampak besarnya ke depan.

Belakangan ini, pengusaha warnet dan berbagai kantor besar di Indonesia resah karena ada rencana razia software oleh pihak kepolisian. Lebih dari 60 persen perangkat lunak di negeri ini memang ilegal.

Bahkan di bisnis warnet, statistik itu mungkin hampir 100 persen. Jika razia benar-benar dilaksanakan, sebagian besar usaha kecil itu akan gulung tikar. Bayangkan jika untuk satu PC saja, pengusaha warnet harus membayar 350 dollar AS demi satu software yang legal.

Namun, hal lain yang terbayang adalah penghasilan yang dapat berangka triliunan rupiah bagi Microsoft, korporasi global yang ditengarai berandil besar dalam aksi ini.

Memang di pasar hak intelektual Indonesia kerap masuk daftar maling alias negeri pencuri hak intelektual. Cap legam seperti ini dianggap sebagai satu hal wajar karena kita (mau tak mau) menerima standar hukum dan moral dunia baru. Standar, yang oleh para elite pun disadari, melulu direkayasa melalui penetrasi paham-paham kapitalisme, liberalisme, dan globalisme.

Rekayasa yang terjadi begitu intensnya, hingga kita jadi begitu mafhum dan ikhlas menjadi korbannya.

SOAL maling atau pencurian hak intelektual ini pernah memunculkan berbagai pembelaan, terutama mengenai karya-karya tertulis dan cetakan. Namun propaganda hebat yang disponsori korporasi global menggugurkannya.

Nyata sesungguhnya, kepentingan apa yang bersembunyi di balik propaganda anti pencurian hak-intelektual. Bukan hanya soal hak-hak para pekerja intelektual, tapi juga kepentingan bisnis triliunan dolar, pemberlakuan pasar bebas, hidup liberal beserta segala risikonya, dan pada akhirnya juga dominasi politik, ekonomi, militer, dan kultural oleh negara-negara produsen utama produk teknologi itu atas negara-negara konsumennya.

Kita tahu, negara-negara kapitalis kaya tersebut juga memiliki sejarah kolonialisme awal. Mereka, selama masa kolonial telah menjarah begitu luar biasa, bukan hanya sumber daya alam negara jajahannya, tapi juga produk budaya, yang tak lain adalah karya intelektual rakyat jajahan.

Museum-museum besar, perpustakaan-perpustakaan, pusat studi atau Universitas di Eropa dan Amerika, menyimpan karya-karya intelektual dari Asia, Afrika, atau Amerika Latin, dari masa purba hingga modern. Bahkan Neopoleon Bonaparte mengabadikan penjarahan ini dalam satu diorama tentang proses pencurian dan pemindahan megalit dari Mesir ke Perancis.

Megalit itu kini jadi landmark kota Paris. Maka kultur Eropa (dan barat pada umumnya) harus berterima kasih pada negara jajahannya karena mereka berkembang, bertambah kaya, antara lain dari penjarahan-penjarahan ini.

Sehingga kemudian muncul Matisse, Picasso, Debussy, hingga Peter Gabriel atau arsitektur posmodernis yang karya-karya monumentalnya berkat profit penjarahan di atas.

Kultur pop Amerika Serikat (AS) juga sebagai misal, sungguh-sungguh harus berterima kasih pada benua hitam Afrika atas kontribusinya membuat produk-produk budaya AS begitu hebat dan menghasilkan bisnis hiburan yang hanya bisa ditandingi bisnis senjata.

Maka sesungguhnya soal maling-malingan, soal curi-curian, sudah menjadi tabiat umum dari warga bumi. Kita, juga negeri berkembang lainya, tak dapat berbuat banyak ketika kekayaan intelektual nenek moyang menjadi harta warisan di negara maju.

Kita tahu, karya-karya intelektual yang dijarah itu benar-benar mengisap habis esensi atau substansi dari peradaban kita. Kita tinggal terima sisa, sehingga untuk mendapatkan substansi, mengetahui jati diri, kita pun harus bertanya pada mereka.

Kini, ketika kita hanya mengambil atau katakanlah mencuri software, yang sebenarnya cuma kulit dari karya intelektual bernama teknologi, kita sudah dikecam dan diancam habis-habisan.

Apa kita lalu kembali mafhum, dan menerima diri kita sebagai korban. Korban yang ikhlas?

Radhar Panca Dahana Sastrawan

sumber :
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/27/humaniora/1844195.htm

Friday, June 17, 2005

SMS Pak Presiden

Sabtu, 18 Juni 2005

Oleh Riswandha Imawan

TIBA-tiba Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki ide membuka layanan SMS langsung untuk masyarakat. Ide ini semula dipakai dan sukses dilakukan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad. Namun, sukses di tingkat provinsi belum tentu sukses di tingkat nasional, bahkan bisa kontraproduktif karena berpotensi memunculkan masalah baru.

Melalui para pembantunya, Presiden menyatakan, metode ini untuk mendekatkan kembali dirinya dengan rakyat. Bila disimak, alasan ini bisa jadi merupakan pengakuan diam-diam bahwa sejak dilantik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mulai terasing dari rakyatnya. Setidaknya Presiden sadar, akibat berbagai kebijakan yang kontroversial, popularitasnya menurun tajam. Tampaknya citra diri ini yang ingin dikoreksi. Tapi upaya ini membawa konsekuensi serius.

IDE membuka hubungan langsung dengan rakyat pernah dilakukan (mantan) Presiden Soeharto melalui Kotak Pos 5000. Bedanya Kotak Pos 5000 disediakan hanya untuk pengaduan kasus-kasus korupsi; sedangkan metode SMS untuk apa saja. Mengingat kekecewaan rakyat terhadap performa (aparat) pemerintahan saat ini, bisa diduga fasilitas SMS yang disediakan akan mengalami overloaded. Masalah teknis ini bisa diatasi, misalnya, melalui metode hypertext yang secara otomatis membantu membagi masukan data ke dalam klasifikasi tertentu.

Meski demikian, metode ini sulit bekerja sempurna mengingat pesan yang disampaikan melalui fasilitas SMS umumnya memakai singkatan yang tidak lazim. Misalnya, kata "dan" yang ditulis dengan huruf "n", kata "dirjen" ditulis dengan singkatan "dj".

Masalah teknis lain adalah soal validitas pengirim SMS. Presiden SBY meminta agar tiap SMS dilengkapi identitas diri, seperti nama dan alamat jelas. Pertanyaannya, apakah benar orang itu yang menulis, mengingat demikian mudahnya kartu telepon diperoleh? Bagaimana bila isinya fitnah, misalnya menghina Presiden, yang terbukti membawa konsekuensi hukum di negeri ini? Metode interaksi melalui SMS bisa berubah menjadi arena saling memfitnah, dikhawatirkan bisa menambah kebimbangan Presiden untuk memutuskan.

Persoalannya, Presiden SBY tidak bisa mengabaikan hal-hal yang dikirimkan. Alasannya, pertama, bila selama ini pemerintah bisa menggunakan ungkapan klasik "aspirasi rakyat yang mana?", kini jelas jawabnya. Tidak boleh lagi Presiden menyatakan tidak jelas kelompok masyarakat penyampai aspirasinya. Kedua, sebagai konsekuensi, rakyat berharap tiap kebijakan Presiden mengacu pada SMS-SMS itu. Apalagi rakyat merasa sudah "membayar" melalui pengorbanan pulsa. Ini berbahaya bagi wibawa dan legitimasi Presiden, atau kelangsungan pemerintahan SBY secara keseluruhan.

Berbahaya sebab rakyat sudah merasa langsung menyampaikan aspirasinya kepada otoritas tertinggi negeri ini, dan Presiden berjanji akan membaca seluruh SMS yang dikirimkan. Ini janji pertama Presiden, sebelum kemudian sedikit dianulir juru bicara dengan menyatakan akan dilakukan klasifikasi dan disortir (dipilih) SMS-SMS yang layak dibaca Presiden. Apa pun wujud mekanismenya mengundang masalah.

Bila dilakukan sortir oleh pembantunya, tidak ada jaminan, informasi yang disampaikan ke Presiden adalah hal-hal yang harus didengar. Kultur politik kita masih terpaku pada penyampaian informasi yang "enak didengar" oleh patron. Dampaknya patron selalu mendapat informasi keliru mengenai situasi yang dihadapi. Kalaupun sortir dilakukan atas dasar arti pentingnya isu terkait program pemerintah, orang akan bertanya "siapa Presiden Indonesia saat ini?" Apalagi secara realistis mustahil Presiden memiliki waktu luang untuk membaca seluruh SMS yang masuk.

DILAKUKAN atau tidak dilakukannya sortir jelas melambungkan harapan (ekspektasi) masyarakat kepada pemerintah. Mengikuti teori Relative Deprivation (Gurr, 1970) peningkatan ekspektasi tanpa diimbangi peningkatan kemampuan (kapabilitas) akan membuat rakyat frustrasi, melakukan tindak kekerasan, bahkan melakukan revolusi. Mengapa? Karena bila pengaduan sudah sampai ke Presiden dan tak juga ditanggapi, kepada siapa lagi mereka harus mengadu di dunia ini?

Situasi internal kabinet pun bisa dibuat repot SMS ke Presiden. Selain unsur fitnah, metode SMS langsung ke Presiden bisa dibaca sebagai ketidakpercayaan Presiden kepada pembantunya. Presiden bisa dinilai memotong (encompassing) alur politik sistemik yang harus dilalui. Kelanjutan bacaan ini cukup berat. Bisa saja melalui metode ini Presiden dinilai sedang merekonstruksi pemerintahan yang sentralistis. Semua urusan langsung diurus Presiden. Bila tidak mampu, baru didelegasikan ke pembantunya. Sebuah ironi politik di saat pemerintah bertekad mewujudkan politik desentralisasi agar mekanisme politik yang mengalir dari bawah ke atas (bottom-up) terwujud.

Kalau penilaian berhenti di sini saja, tidak terlalu merepotkan. Menjadi repot bila dikaitkan dengan kemungkinan banjir fitnah dengan muara situasi sosial-politik yang tidak menentu, tidak kondusif bagi upaya peningkatan kualitas kehidupan demokrasi (deepening democracy) sebagai fokus utama bidang politik dalam program Indonesia Bangkit. Tidak adanya paradigma alternatif memaksa pemerintah secara diam-diam melanjutkan paradigma "stabilitas politik untuk pembangunan ekonomi" era Soeharto. Ini membuat kekacauan sosial-politik yang terjadi dengan mudah menggoda dan mengarahkan pemerintah kembali ke era otoritarianisme.

Repotnya bila muncul penilaian miring bahwa SMS saling fitnah itu dilakukan oleh orang-orang suruhan atau operator negara untuk menciptakan kondisi bagi tindakan-tindakan represif. Ini mudah dilakukan, mengingat media yang digunakan, handphone dan SMS, sifatnya anonim serta mudah didapatkan dalam jumlah tak terbatas. Mirip kontes Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Bahkan lebih gawat, sebab di AFI bila satu nomor terpakai tidak bisa mengirim lagi, sementara di SMS langsung ke Presiden bisa berkali-kali tanpa terdeteksi.

Kalau begitu untuk apa Presiden SBY mencetuskan ide ini? Niatnya baik. Hanya, seperti petuah para ulama "niat baik bila menggunakan metode yang salah akan menghasilkan mudarat bagi kita", demikian pula dengan niat Presiden. Bisa jadi rakyat menilai, metode SMS langsung hanya upaya memperbaiki citra Presiden yang cenderung menurun akhir-akhir ini. Sama sekali tidak ada jaminan terkait substansi kebijakan yang akan diambil.

Riswandha Imawan Guru Besar Ilmu Politik UGM

sumber:

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/18/opini/1823266.htm

Penamaan pulau terpencil

MIOL - HANKAM Kamis, 16 Juni 2005 15:01 WIB

Para Bupati Diminta Menamai Pulau-Pulau di Perbatasan

AMBON—MIOL: Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu meminta para bupati agar sesegera mungkin memberi nama pulau-pulau di wilayah perbatasan, terutama yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia.

"Para bupati secepatnya memberi nama pulau-pulau agar bisa segera dilaporkan ke Depdagri guna diterbitkan dalam Lembaran Negara sehingga bisa diantisipasi hal-hal yang tak diinginkan terhadap kedaulatan NKRI," katanya pada sela-sela rakor dengan bupati/wali kota se-Maluku, di Ambon, Kamis.

Di Maluku terdapat 632 pulau dengan wilayahnya seluas 712.479 kilometer persegi.

Gubernur Ralahalu mengingatkan kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang telah menjadi milik Malaysia, termasuk blok Ambalat yang sempat menimbulkan ketegangan dengan negara tetangga tersebut.

"Karena itu, hendaknya kita proaktif memberi nama bagi pulau-pulau di wilayah perbatasan sehingga tidak menimbulkan masalah di masa mendatang," katanya.

Gubernur mengingatkan, terutama dengan Timor Leste dan Australia yang berbatasan langsung dengan Maluku Tenggara Barat(MTB) dan Kepulauan Aru.

Bupati MTB SJ Oratmangun, ketika dikonfirmasi Antara, secara terpisah mengakui di kabupatennya terdapat 135 pulau.

"Hanya saja, untuk pulau-pulau di wilayah perbatasan, terutama dengan Timor Leste itu berupa karang-karang yang tidak berpenghuni dan menjadi tempat tinggal aneka jenis burung sehingga kesulitan memberi nama karena jumlahnya mencapai ratusan," tambahnya.

Sementara itu, penjabat Bupati Aru Jopie Patty, secara terpisah mengemukakan di wilayahnya terdapat 187 pulau dan 96 buah di antaranya telah berpenghuni.

"Saat ini tinggal beberapa pulau saja yang berbatasan dengan Australia belum diberi nama," ujarnya.

Patty menambahkan, pemekaran Kepulauan Aru dari Maluku Tenggara, 7 Januari 2004 lalu sangat bermanfaat dalam menjaga wilayah perbatasan dengan Australia.

Terutama untuk pengawasan di kawasan Laut Arafura yang merupakan "surga" bagi kegiatan illegal fishing, katanya.

"Bantuan dari Departemen Kimpraswil melalui Dinas PU Maluku dan Dinas PU dan Perhubungan Kepulauan Aru saat ini akan dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana, terutama jalan dan jembatan di wilayah perbatasan," katanya. (Ant/Ol-1)

sumber :
http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=67847

Tuesday, June 14, 2005

Ctt: Dino Patti I

Senin, 13 Juni 2005

SBY dan "Soft Power"

Oleh Dino Patti Djalal

SBY punya mainan baru ya?" tanya seorang wartawan. "Mainan apa?" tanya saya heran. Ia menjawab setengah berkelakar, setengah serius , "Soft power!"

Dewasa ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang sering berpikir dan berbicara mengenai soft power, dan memang sudah waktunya.

Setelah perang di Afganistan dan Irak, dan berlangsung ketegangan strategis di berbagai penjuru dunia termasuk Semenanjung Korea, Presiden SBY memandang perlu mengingatkan masyarakat dunia tentang pentingnya elemen power yang lain, selain kekuatan militer dan diplomasi koersif (apa yang disebut hard power). Berbeda dari hard power yang mengandalkan kekuatan, konsep soft power mengandalkan pendekatan persuasif dengan menggunakan aset ekonomi, kemasyarakatan, budaya, humaniter, pendidikan, iptek, dan sebagainya.

Presiden SBY memilih tempat menarik untuk pertama kali menyampaikan pandangannya mengenai soft power, di Washington DC, ibu kota Amerika Serikat. Dalam pidato resmi di depan elite politik AS yang diorganisasi US-Indonesia Society (USINDO), Presiden SBY mengimbau AS agar lebih menekankan soft power ketimbang hard power dalam kiprahnya di kancah internasional.

Di depan anggota Kongres, pejabat tinggi, pengusaha, dan pakar AS, Presiden SBY menyatakan, meski AS adalah negara adidaya yang kekuatan militernya tidak tertandingi, AS perlu lebih memproyeksikan soft power ketimbang hard power: "The US has no shortage of soft power: in terms of culture, values, sports, entertainment, business, education, science and technology, living standard, media, the US has tremendous appeal to the international community." SBY mengingatkan, "Remember: the use of soft power charms and disarms. Hard power, on the other hand, if it is used incorrectly, provokes resistance and, sometimes, resentment."

Presiden SBY juga mengingatkan, governance tidak kalah penting dibanding demokrasi, dan toleransi-bahkan kadang lebih penting-dari freedom. Itulah bentuk-bentuk soft power yang perlu dikembangkan AS di masa depan.

Uniknya, pidato SBY itu mendapat apresiasi luar biasa dari elite politik AS. Seusai pidato, Presiden SBY mendapat standing ovation hadirin, termasuk Senator Kitt Bond yang langsung bangkit dari kursi, memberi selamat Presiden SBY yang baru turun panggung.

Terus menggema

Dalam konferensi internasional komunitas pertahanan (dikenal dengan "The Shangrila Dialogue") di Singapura 3-5 Juni lalu, PM Lee Hsien Loong juga menyerukan agar AS lebih menekankan soft power. PM Lee Hsien Loong menyatakan, AS perlu lebih menggunakan potensi soft power-nya dalam menarik opini internasional, memperbaiki mispersepsi, serta membangun kepercayaan dan kredibilitasnya, khususnya di kalangan dunia Islam. Keesokan harinya Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld dalam konferensi yang sama menyatakan sepenuhnya setuju, AS perlu mengedepankan soft power dalam pergaulan internasionalnya meski tetap bersikeras bahwa opsi militer tetap merupakan opsi terakhir. Diskusi setelahnya dengan Menteri Pertahanan Jepang dan Menteri Pertahanan Korea Selatan juga diselingi tema soft power.

Tampak, soft power akan menjadi tema yang kian disorot dalam wacana strategis internasional.

Indonesia dan "soft power"

Banyak kalangan menilai pesan Presiden Indonesia di Washington DC itu amat strategis dan fundamental, khususnya di tengah situasi dunia yang terus bergolak dan selalu dihantui politik kekerasan.

Namun, pesan yang terkandung dalam pidato SBY itu sebenarnya juga berlaku bagi diri kita, yakni Indonesia perlu terus mengembangkan potensi soft power di masa datang.

Dalam pemikiran Presiden SBY, stabilitas internasional akan lebih terjamin jika negara-negara dunia berlomba mengembangkan soft power ketimbang bersaing menumbuhkan hard power.

Saya pernah menanyakan, mengapa soft power penting dalam pergaulan internasional. Jawab Presiden, "Hard power menimbulkan aneka benturan, namun soft power menimbulkan jaringan-jaringan. Hard power dapat mengakibatkan persaingan negatif, namun soft power dapat menghasilkan sinergi positif."

Pengembangan soft power memang cocok bagi politik bebas aktif yang kita anut karena tampaknya di sinilah letak kekuatan diplomasi kita serta daya tarik Indonesia dalam pergaulan internasional.

Pengaruh dan reputasi Indonesia di masyarakat internasional lebih banyak ditentukan oleh prestasi, pesona, persuasi kita ketimbang karena faktor kekuatan militer.

Reputasi Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, misalnya, menempatkan kita sebagai negara panutan dalam pergaulan dunia. Status Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar memberi kita kredibilitas dalam menjembatani antara dunia Islam dan Barat. Keberhasilan kita membantu proses perdamaian untuk konflik Kamboja, Filipina Selatan, dan Laut Cina Selatan meningkatkan reputasi kita sebagai juru damai. Potensi pasar kita dengan jumlah penduduk 220 juta juga banyak diperhitungkan orang. Sementara politik bebas aktif kita mengukuhkan citra Indonesia sebagai negara independent-minded tidak terikat siapa pun.

Dan jangan lupa, ketangguhan dan ketabahan rakyat Indonesia yang jatuh bangun setelah krisis moneter, kerusuhan Timor Timur 1999, konflik etnis dan separatis, serangan teror, tsunami dan sebagainya banyak diperhatikan bahkan dikagumi masyarakat internasional.

Berbicara ihwal contoh soft power, saya teringat kunjungan Presiden SBY ke Australia beberapa waktu lalu. Presiden SBY datang tidak dengan membusungkan dada atau berteriak lantang, tetapi dengan apa yang dinamakan seorang wartawan Australia membawa charm offensive, menampilkan sosok yang simpatik, rendah hati, bersahabat, dan penuh ide.

Dalam berbagai kesempatan-gayanya yang rileks terhadap PM John Howard, kiprahnya menjemput jenazah perwira Australia yang gugur di Nias di bandara Sydney, kunjungan ke makam pahlawan, pidato di Parliament House-Presiden SBY dalam sekejap mengubah citra Indonesia di mata mainstream Australia, dan mengubah suasana dan substansi hubungan RI-Australia.

Akibat kunjungan itu, hubungan RI-Australia dapat dikatakan mencapai titik tertinggi, yang ditandai pencanangan Comprehensive Partnership antara kedua negara. Dan Presiden SBY konon dianggap sebagai salah satu negarawan asing terpopuler di Australia.

Saya teringat komentar Presiden saat saya tanyakan apa yang memberi nilai tambah bagi soft power suatu negara. Jawab Presiden, "Yang penting kita menjadi bangsa yang dihormati, bukan ditakuti, bangsa yang disegani, bukan dihindari; bangsa yang didengar suaranya karena kita menyuarakan sesuatu yang bernilai."

Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htm

Sunday, April 03, 2005

point of return

Minggu, 03 April 2005

Hilang Sudah Keangkuhan terhadap Materi

KETIKA gempa berskala 8,7 skala Richter yang pusatnya berada di antara Pulau Nias (Sumatera Utara) dan Pulau Simeulue (Nanggroe Aceh Darussalam) pada Senin (28/3) menjelang tengah malam juga mengguncang Banda Aceh, banyak warga setempat mengungsi ke daerah Lambaro, Kuta Baro, Aceh Besar, yang dianggap lebih aman dari kemungkinan gelombang tsunami.

KAMI di Banda Aceh setelah tsunami sering merasakan gempa, tetapi yang Senin kemarin memang terasa keras dan lama, meskipun tidak sekeras tanggal 26 Desember lalu. Saya tidak ikut mengungsi. Saya mencoba menggunakan akal sehat. Tempat saya mengungsi ini, di rumah keponakan, kan cukup aman. Rasanya kalaupun ada tsunami tidak akan mencapai ke sini," kata Darmansyah, Pemimpin Perusahaan Harian Serambi Indonesia yang berkantor pusat di Banda Aceh.

Tempat dia menumpang tinggal sekarang, rumah keponakannya, terletak di kawasan Simpang Pango, Ulee Kareng, di bagian selatan Banda Aceh. Rumah Darmansyah sendiri ada di Lampulo Baru, Kecamatan Kuta Alam, sejarak kira-kira empat kilometer dari bibir pantai.

Setelah bencana tsunami tanggal 26 Desember lalu di Banda Aceh memang kerap terasa gempa. Ada yang skalanya mencapai 6,2 skala Richter sehingga cukup terasa bila kita sedang duduk atau berdiri di suatu tempat. Namun, karena begitu seringnya terjadi, banyak orang yang tidak lagi terlalu panik bila ada gempa. Ketika di Banda Aceh lebih dua pekan lalu, misalnya, suatu pagi terjadi gempa cukup keras yang kemudian diketahui berskala 6,1 skala Richter dan saya berteriak, "Gempa, gempa!", hanya saya dan seorang saja dari delapan orang penghuni rumah yang berlari ke luar. Sisanya tenang-tenang saja.

Lebih dari sekadar dampak fisik yang benar-benar dahsyat, yang tidak segera tampak adalah berubahnya cara pandang mereka yang selamat dari tsunami terhadap kehidupan. Bukan hanya pengalaman lolos dari maut membuat mereka lebih religius dalam pengertian sekadar menjalani ritual, tetapi cara mereka menyikapi kehidupan duniawi juga tidak lagi sama seperti yang lalu.

"Dulu saya bersemangat sekali mencari uang. Pekerjaan saya bawa pulang, anak saya, Nabil, saya pangku sambil bekerja. Sekarang semua tidak dikejar dengan memaksakan diri, saya bekerja secukupnya, sekadar memenuhi kewajiban," papar Syukrillah Al Amin (27). Syukri yang mahasiswa Fakultas Pertanian tingkat akhir ini kehilangan Nabil, anak pertamanya yang berusia lima bulan, buah perkawinannya dengan Yustini (26) yang juga masih kuliah di universitas yang sama.

Syukri dan Yustini-tinggal di Blang Krueng yang merupakan jalan tembus dari Kaju ke Darussalam dan berjarak sekitar dua kilometer dari bibir pantai-selamat dari gelombang air laut dengan naik ke rumah adat Aceh yang umurnya lebih dari 100 tahun. "Awalnya saya ragu pada daya tahan rumah itu, tetapi kami naik juga karena kami tak mungkin mencapai meunasah yang letaknya tinggi. Tinggi air kira-kira 3,5 meter dan rumah tua itu bertahan walaupun ada 50 orang menyelamatkan diri di situ," kenang Syukri.

Suami-istri ini selamat, tetapi anak mereka yang mereka titipkan kepada tetangga yang Minggu pagi itu naik mobil menyelamatkan diri dengan harapan Nabil akan selamat, belum diketahui nasibnya. "Saya sudah pasrah. Kalau anak saya masih hidup dan dipelihara orang, alhamdulillah," kata Syukri lirih.

Setelah peristiwa itu, dia bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat Save Emergency for Aceh (SEFA) di Ulee Kareng yang kini memusatkan perhatian dalam menguatkan pranata sosial-ekonomi korban tsunami. Ini adalah salah satu cara Syukri menata pikiran dan perasaan setelah tsunami. Di SEFA ada beberapa anggota yang juga menjadi korban tsunami langsung atau tidak langsung. "Dengan berbincang-bincang dengan sesama korban dan bekerja untuk korban yang lain, kehilangan itu terasa sebagai perasaan bersama, bukan beban satu orang," kata Direktur SEFA Yuli Zuardi Rais.

DARMANSYAH, istrinya, Herwani, dan satu-satunya anak mereka, Fikri (12), adalah satu keluarga yang selamat utuh. Ketika air laut menyerbu rumah mereka di Lampulo Baru, mereka berada di mobil mencoba menyelamatkan diri. Tetapi, ketika akan masuk ke jalan besar, mobil terhadang oleh ribuan orang yang berlari menyelamatkan diri. Mereka berhasil ke luar dari mobil sebelum air menghanyutkan mobil mereka.

"Saya digulung air dan tidak tahu bagaimana bisa muncul ke permukaan. Saya bisa tetap di permukaan air karena kemudian terpegang pelampung jaring nelayan," kata Herwani yang selamat sebab kemudian berhasil naik ke atap rumah yang dihanyutkan air.

Air ketika itu bukan datang dari satu arah yang sama, tetapi mengarus deras dari beberapa arah. Itu sebabnya, menurut Darmansyah, dia melihat rumah yang pecah karena kebetulan berada di pertemuan arus-arus air. Itu juga yang membuat ada rumah seperti teriris melintang dan terbawa arus tanpa hancur berantakan.

"Saya sadar ketika digulung air dan dihantam ke tanah. Saya berpikir janji saya sudah sampai. Saya tidak tahu bagaimana bisa ada di permukaan air," kata Darmansyah yang ketika muncul ke permukaan berhasil menjangkau Fikri yang terpisah tiga meter darinya. Keduanya selamat dengan menaiki tumpukan kayu hanyut di dekat mereka dan kemudian berhasil mendarat di atap sebuah rumah.

Saat air surut sekitar dua jam kemudian, Darmansyah merasakan kesunyian luar biasa. "Tidak ada satu orang pun di jalan, yang ada di atap-atap rumah. Ke mana ribuan orang yang tadi mencoba menyelamatkan diri? Sunyi. Dan, mulai tampak ada jenazah," kata Darmansyah yang mencoba kembali ke rumahnya sejarak sekitar satu kilometer.

"Kami sadar kami selamat, tetapi ada perasaan bahwa Tuhan memberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Tetapi, rasanya berat sekali tantangan hidup ke depan karena orang hidup pasti akan berbuat kesalahan, sekecil apa pun," tambah Darmansyah.

Peristiwa itu membuat keduanya memaknai hidup dengan cara baru. Materi bukan lagi sesuatu yang harus dikejar mati-matian karena semuanya bisa lenyap dalam hitungan menit, begitu juga nyawa. Herwani, karyawan PLN Banda Aceh, yang sebelumnya sangat bersemangat membuat kue berdasar pesanan sepulang kerja, kehilangan dua oven dan peralatan lain untuk membuat kue. Satu mobil mereka rusak parah, sementara mobil satunya yang sebetulnya selamat saat diparkir di depan rumah sementara ini tidak bisa dipakai karena keempat rodanya diambil orang. "Cokelat kue yang baru dibeli Bang Darmansyah ketika dia ke Jakarta ikut habis," kata Herwani yang sementara ini stop menerima pesanan kue, kecuali untuk konsumsi sendiri.

"Hilang sudah keangkuhan terhadap materi. Kejadian itu membuat manusia terasa kecil," kata Darmansyah yang mengatakan tidak malu bila kini mereka bertiga ke mana-mana naik motor.

Tsunami juga mengubah hidup Rosni (30). Ibu dua anak yang kini mengungsi bersama anak, suami, dan ibunya ke barak pengungsi di Kayelue, Lambaro, Aceh Besar, dari rumahnya di Lambaro Skep, Banda Aceh, menggambarkan hidupnya sebelum tsunami sebagai getol mencari uang.

"Dulu, sembahyang pun seperti dikejar-kejar cari uang. Saya berjualan kue yang saya antar ke Peunayong. Sekarang, saya tidak mau cari-cari uang lagi seperti dulu. Yang penting cukup untuk makan dan anak-anak sekolah sampai mereka jadi orang, bisa cari pekerjaan," katanya. "Saya sudah rela harta habis, tidak ingin balik. Yang penting ibadah karena umur belum tentu."

Idbar (42) yang tinggal di Punge Blangcut, kehilangan istri dan tiga anak perempuannya. Idbar selamat karena saat itu sedang bertugas ke Medan. Rumahnya rata dengan tanah. Padahal, selama ini dia sudah memintal rencana masa depan untuk anak-anaknya di atas tanah seluas 900 meter itu. Untuk anak tertuanya yang kuliah di semester V fakultas kedokteran dia sudah mencicil ruko di dekat rumah dengan harapan kelak dipakai sebagai tempat praktik dokter.

Ternyata, rencana tinggal rencana. "Dalam tujuh menit semua habis. Ini benar-benar cobaan yang luar biasa," kata Idbar yang masih rutin menengok bekas rumahnya dan merasa istri dan ketiga anaknya hadir dalam bayang-bayang indah.

"Dulu saya bekerja mencari uang, menabung, membeli segala macam. Sekarang saya bekerja, tak tahu untuk apa uang yang saya dapat. Saya belum punya rencana pasti," katanya lagi.

BENCANA sedahsyat tsunami mengubah orang ke dalam sebuah situasi baru yang mereka harus berjuang untuk beradaptasi. Kehilangan orang terdekat, harta, pekerjaan, dan rencana masa depan yang sudah disusun, dapat membuat orang patah. Tetapi, bencana yang dirasakan bersama-sama juga menjadi kanal rasa duka karena tahu mereka tidak sendiri mengalami bencana yang di Aceh saja menyebabkan lebih dari 100.000 orang meninggal atau hilang.

"Ke depan, saya belum tahu akan melakukan apa. Saya mencoba berjalan step by step, pelan-pelan kembali ke keadaan normal. Yang masih mengganjal perasaan, kenapa selama tiga hari pertama tidak ada penanganan apa pun pada korban. Saat tsunami, ada helikopter di atas daerah yang terkena tsunami. Pikiran saya, pasti besok ada bantuan dari daerah-daerah sekitar. Tetapi, sampai hari keempat baru aparat TNI AD dari Mata Ie (Banda Aceh) yang membantu," kata Syukri.

Syukri yang kini mengontrak rumah petak bersama istrinya itu mengritik sebuah partai yang memberi bantuan kepada korban, tetapi dengan pesan agar memilih partai itu. "Mereka bilang, ’Ini dari partai kami. Besok pilih partai kami.’ Mereka bikin posko dengan memasang bendera partai. Apa hak partai mengklaim? Ini kan orang lagi susah," papar Syukri dengan nada meninggi, menceritakan pengalamannya ketika mengungsi ke Lambaro, Aceh Besar.

"Mikir Aceh ke depan, harapannya tentu Aceh yang lebih baik. Ada penanganan pascabencana yang tidak lambat, tidak dimain-mainkan lagi. Banyak lembaga asing masuk, tetapi katanya mau ditarik. Jangan sampai masyarakat tidak percaya kepada pemerintah," tambahnya.

Harapan bahwa rekonstruksi akan membawa Aceh menjadi lebih baik bisa dirasakan saat berbicara dengan berbagai kalangan di Aceh. Ahmad Humam Hamid dari Aceh Recovery Forum yang mewadahi pertemuan 22 organisasi masyarakat Aceh di Medan mengenai pembangunan kembali Aceh, bahkan menyebut rekonstruksi Aceh menjadi kesempatan membangun kembali kepercayaan kepada pemerintah pusat.

Di lapangan, kenyataannya setelah tiga bulan bencana berlalu masyarakat ingin segera kembali ke tanah mereka dan membangun kehidupan mereka. Sudah muncul inisiatif pribadi membangun lagi rumah, seperti di kawasan Ulee Lheue dan Bitai, tanpa menunggu seperti apa tata ruang yang menjadi bagian cetak biru pemerintah pusat nantinya mengatur. Di Bitai dan Punge Blangcut, Banda Aceh, atau di Desa Gura, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, yang rata tanah misalnya, terlihat patok-patok kayu bertuliskan nama pemilik tanah.

Menurut Humam Hamid, itu adalah suatu bentuk modal sosial di masyarakat di mana anggotanya saling percaya dan dapat menyelesaikan persoalannya sendiri. "Ketika mengatakan itu tanahnya, kan tetangga dan kepala kampung mengetahui. Modal sosial ini yang dimanfaatkan dan pemerintah hanya menentukan batas permukiman saja," kata Humam. Dia menyebut tata ruang sebagai cara masuk untuk mengambil hati masyarakat karena sifatnya yang konkret dalam bentuk pembangunan fisik.

Dari berbagai persoalan membangun Aceh, yang paling kritis adalah masalah konflik bersenjata. Setelah masa tanggap darurat selesai tanggal 26 Maret lalu, Kepolisian Daerah NAD akan berkonsentrasi lagi pada operasi pemulihan keamanan yang berarti akan kembali memburu anggota Gerakan Aceh Merdeka. Artinya, kemungkinan konflik bersenjata tetap terbuka dengan korban yang sudah pasti adalah masyarakat sipil.

Karena itu, mengambil momentum pascatsunami dengan ruang publik yang lebih terbuka, Humam berharap ruang berunding dengan Gerakan Aceh Mereka tetap dibuka. "Tidak ada hubungan antara jumlah tentara yang dikirim dengan status Aceh. Kalau begitu, status Aceh tetap saja pada tertib sipil. Ini menyangkut soal investasi untuk membangun Aceh yang hanya mungkin bila statusnya tidak darurat," katanya. (Retno Bintarti/ Ninuk M Pambudy)

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0504/03/kehidupan/1659757.htm

Wednesday, March 30, 2005

Dana Kompensasi ?

Rabu, 30 Maret 2005

Perlukah Dana Kompensasi BBM?

Oleh Dendi Ramdani

PERDEBATAN seputar isu kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM antara Mohamad Ikhsan (Kompas, 16/3) dan M Chatib Basri (Kompas, 18/3) dengan Iman Sugema (Kompas, 17/3) dan Rina Oktaviani (Kompas, 18/3) salah satunya mengarah kepada keraguan dan menekankan agar dana kompensasi BBM bisa sampai ke kaum miskin, selain memperdebatkan dampaknya terhadap besar angka inflasi dan pertambahan angka kemiskinan.

Prof Mubyarto (Kompas, 21/3) secara lebih tegas sangat meragukan dana kompensasi BBM bisa sampai ke kaum miskin dengan mengutip angka dari laporan BPS dan pengalaman penanggulangan kemiskinan yang pernah ada. Jadi, beliau terkesan marah dengan mengatakan, "Pemerintah sekarang tidaklah perlu mengembangkan program-program penanggulangan kemiskinan yang ’dititipkan’ dalam penggunaan dana kompensasi." Namun, sayang, di akhir tulisan beliau tidak secara eksplisit menawarkan bagaimana mengatasi kemiskinan yang ada di Indonesia. Tulisan ini tidak hendak mempermasalahkan perlu tidaknya harga BBM naik atau tidak, tetapi akan lebih membahas seputar program dana kompensasi BBM.

Permasalahan subsidi terarah (targeted subsidy) kepada kaum miskin memang menghadapi banyak kendala dalam pelaksanaannya, yaitu mendefinisikan siapa yang miskin, selanjutnya indikator apa yang dapat digunakan untuk menentukan kaum miskin ini, dan bagaimana mekanisme penyaluran bantuan ke kaum miskin yang sudah ditentukan. Kendala bertambah karena kemampuan aparat birokrasi, sebagai pihak yang paling berperan, karena perilaku korupnya. Namun, subsidi terarah masih terbuka peluang untuk lebih baik lagi di tengah kondisi yang mengkhawatirkan ini. Akumulasi pengalaman program program kemiskinan sejak tahun 1998 hingga sekarang telah memberikan proses pembelajaran bagaimana menjalankan program subsidi terarah agar lebih efektif.

MENDEFINISIKAN siapa yang miskin adalah pekerjaan yang tidak mudah. Angka kemiskinan BPS yang diterbitkan setiap tahun sebetulnya adalah angka perkiraan berdasarkan data Susenas. BPS tidak mendata siapa dan di mana orang miskin karena data Susenas adalah sampel yang digunakan untuk estimasi. Jadi, dipakailah data BKKBN yang mendata keluarga dan mengelompokkannya menjadi Keluarga Pra Sejahtera Alasan Ekonomi dan Keluarga Sejahtera I Alasan Ekonomi sebagai keluarga miskin yang berhak mendapat subsidi kesehatan, pangan, dan pendidikan dari pemerintah.

Data ini merupakan data terbaik tentang kemiskinan di Indonesia, karena data merupakan hasil sensus yang dilakukan setiap tahun sekali. Bahkan pada zaman Presiden Soeharto, pembaruan data dilakukan setiap tiga bulan sekali. Dengan demikian, data ini mencatat siapa keluarga miskin dan alamatnya di mana.

Indikator yang digunakan digambarkan sebagian saja oleh Prof Mubyarto sehingga bisa memberi tafsiran yang sepotong. Indikator yang digunakan dalam data BKKBN sebetulnya ada lima, yaitu beribadah secara rutin, makan minimal dua kali sehari, memiliki pakaian berbeda untuk setiap kegiatan, jika ada anggota keluarga sakit diberi pengobatan modern, dan bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.

Walaupun data ini tadinya untuk keperluan program KB, bisa juga digunakan untuk menentukan keluarga miskin. Jadi, kemiskinan dalam data BKKBN didefinisikan berdasarkan indikator-indikator tersebut. Indikator ini memang masih bisa diperdebatkan dan masih mungkin diperbaiki lagi agar lebih tepat dalam menentukan siapa yang miskin.

Permasalahan tidak berhenti di sini. Masalah lain adalah kualitas data BKKBN. Ada satu fenomena menarik, yaitu inkonsistensi antara data kemiskinan yang ada pada BKKBN dan data kemiskinan pada BPS. Data BKKBN memiliki kecenderungan meningkat, sedangkan data BPS memiliki kecenderungan menurun. Data kemiskinan BKKBN tahun 1998 sebesar 17,17 persen dari total keluarga. Angka ini meningkat menjadi 27,99 persen (1999), 30,78 persen (2000), 30,52 persen (2001), dan mencapai 31 persen pada tahun 2002 yang merupakan data terakhir. Adapun data BPS menurun dari 24,2 persen tahun 1998, 23,5 persen (1999), 19,4 persen (2000), dan terus menurun hingga mencapai 17,92 persen tahun 2003.

Perbedaan kedua data ini tentu menimbulkan pertanyaan apa sebab perbedaan kedua data tersebut: apakah karena indikator yang berbeda, apakah ada proses pengambilan data/estimasi yang keliru, atau ada penyebab lain. Data BPS yang merupakan estimasi terlihat logis jika melihat bahwa perekonomian memang tumbuh walaupun masih rendah, selanjutnya ada penciptaan lapangan kerja baru dan inflasi bisa ditekan di bawah dua digit. Namun, jika kita mengasumsikan data BKKBN benar, berarti ada sesuatu yang keliru dengan perekonomian kita. Artinya, walaupun perekonomian tumbuh, tetapi keadaan ekonomi masyarakat tidak mengalami perbaikan, malah terus mengalami penurunan. Menilai kevalidan angka kemiskinan di sini perlu sangat hati-hati sekali.

HAL lain dari karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah sangat sensitif terhadap garis kemiskinan. Jika angka kemiskinan digeser sedikit, penduduk miskin akan berubah dalam jumlah besar. Data Bank Dunia yang disajikan dalam CGI Brief tahun 2003 menunjukkan bahwa pada tahun 2002 sebesar 7,4 persen penduduk berpendapatan sehari di bawah 1 dolar AS. Jika garis kemiskinan digeser ke atas menjadi 2 dolar AS per hari, jumlah penduduk miskin akan menjadi sebesar 53,4 persen. Di sini terlihat bahwa jika garis kemiskinan dilipatgandakan, angka kemiskinan bertambah tujuh kali lipat.

Oleh karena itu, jika harga BBM dinaikkan, perlu penyaluran dana kompensasi secara efektif. Satu permasalahan yang penulis amati adalah keterlibatan yang sangat rendah dari pihak pemerintah daerah tingkat dua. Program-program pengentasan kemiskinan dari pusat, seperti program dana kompensasi BBM, hanya dianggap sebagai program pusat. Oleh karena itu, perlu dicari cara agar program ini terintegrasi dengan program-program ekonomi dan pembangunan di daerah. Apalagi otonomi daerah mengamanatkan revitalisasi pemerintah daerah.

Dalam hal ini, untuk penyaluran dana kompensasi sebaiknya berdasarkan proposal dari setiap pemerintah daerah yang pendanaannya dari pusat. Proposal ini harus disertai target yang jelas berapa angka kemiskinan diturunkan jika mendapat sejumlah dana kompensasi. Pemerintah pusat pun harus berani memberikan target berapa angka kemiskinan turun dengan sejumlah dana kompensasi yang dibelanjakan. Dengan cara ini, kinerja pemerintah bisa dievaluasi oleh masyarakat maupun oleh DPR.

Dendi Ramdani Peneliti Laboratorium Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

* Tulisan ini merupakan Pendapat Pribadi, Tidak Mencerminkan Pendapat Lembaga Tempat Penulis Berafiliasi.


http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0503/30/opini/1652204.htm

Data Kemiskinan

Rabu, 30 Maret 2005

Data Kemiskinan dan Kemiskinan Data

Oleh Harry Seldadyo

DENGAN menganggap bahwa kenaikan harga BBM saat ini adalah fakta yang given, adakah jaminan bahwa dana kompensasi akan tepat sasaran? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan kunci karena di sinilah letak pesimisme publik yang didasarkan pada sejarah dan pengalaman kegagalan poverty targeting policy. Klaim pemerintah dan lingkaran pendukungnya bahwa pencabutan subsidi BBM mampu menurunkan angka kemiskinan perlu diuji dengan pertanyaan itu.

Tulisan Pak Mubyarto di Kompas (21/3) bisa memberi gambaran kepada kita di mana letak kegagalan eksekusi berbagai kebijakan poverty targeting pada tingkat riil. Banyak faktor yang bisa dibicarakan di sini. Namun, di antara sejumlah faktor lain, misalnya, faktor institusional dan sosiologis, tulisan ini hanya akan menyoroti satu faktor teknis, yakni kemiskinan data.

Kita memang nyaris tak punya data andalan yang bisa dipakai sebagai instrumen bagi kebijakan subsidi terfokus semacam itu. Jadi, kemiskinan data sebetulnya sudah self-explained, apakah kebijakan kompensasi BBM yang ditelurkan akan sukses atau gagal.

Apa yang kita punya?

Hingga saat ini memang kita hanya mengandalkan dua sumber data ketika kemiskinan dibicarakan: data Susenas BPS dan data Keluarga (Pra-)Sejahtera BKKBN. Betapapun kedua data ini punya limitasi tinggi, kita tak punya pilihan lain kecuali menggunakannya. Paling sedikit, statistik ini bisa menjadi "tongkat pembimbing ke arah kegelapan"-meminjam istilah Prof AH Nasution dalam pidato pengukuhan guru besarnya di IPB dulu. Jadi, masih lebih baik punya informasi- biarpun itu salah-daripada tanpa informasi sama sekali. Ini tindakan minimal.

Sayangnya, data BPS dan BKKBN tidak bisa dipakai untuk poverty targeting yang bisa melacak siapa sesungguhnya yang berhak atas dana kompensasi itu. Data BPS secara inheren dirancang untuk melihat kecenderungan umum kemiskinan yang diukur melalui suatu garis kemiskinan. Jadi, orang miskin di sini menjadi "anonim". Data ini tidak berguna untuk pengambilan kebijakan yang kental mengandung tujuan targeting. Sementara itu, data BKKBN bermasalah dalam penetapan definisi kemiskinan. Kendati data ini memiliki disagregasi yang lebih baik daripada data BPS, indikator dan metodologi yang dipakainya debatable. Akibatnya, dispute sering kali terjadi di lapangan ketika data ini dipakai untuk memisahkan kelompok miskin dan tak miskin dari target kebijakan.

Di atas itu semua, kedua sumber data ini juga memiliki limitasi kembar: mereka tak mampu menangkap karakter kemiskinan itu sendiri. Jadi, kedua data ini tidak tepat dipakai untuk menanggulangi problem kemiskinan jangka panjang. Padahal, isu kemiskinan adalah isu jangka panjang. Sejarah menunjukkan tidak ada proses instant dalam penanggulangan kemiskinan.

Data kemiskinan BPS hanyalah peta umum kemiskinan, sedangkan data BKKBN barulah kompas untuk menelusuri peta itu. Berhasilkah kita menemukan orang miskin melalui program-program targeting itu dengan alat-alat itu? Untuk program "dadakan" ala JPS kemarin, data itu mau tak mau memang menjadi peta dan kompas kita. Namun, untuk menyelesaikan kemiskinan jangka panjang, sayang sekali, tidak. Peta dan kompas barulah necessary condition-nya. Masih diperlukan sufficient condition-nya: bertanya pada si miskin. Melalui syarat terakhir ini kita akan berurusan dengan indikator lokal-indikator yang dibangun oleh dan untuk kepentingan orang miskin di tingkat mikro.

Makro vs mikro

Dua isu penting bisa kita catat dalam relasi data dan kebijakan. Pertama, data tidak melulu dipakai untuk keperluan analisis. Sebaliknya, juga tak elok membuat kebijakan tanpa data. Melalui data, kita bisa melakukan mainstreaming isu kemiskinan dalam lingkaran kebijakan.

Kedua, pertautan antara analisis dan kebijakan targeting haruslah di tingkat lokal dan mikro. Patut dicatat, karakter kemiskinan dahulu jauh berbeda dibandingkan dengan sekarang. Pada zaman Pelita I, kalau kita mendistribusikan beras murah secara "random" kepada 10 orang, kita tak perlu khawatir "salah sasaran" karena tujuh di antaranya adalah orang miskin. Jadi, probabilitas "tepat-sasaran"-nya cukup tinggi walaupun waktu itu kita miskin data.

Sekarang ini situasinya terbalik. Tanpa data andal di tangan, distribusi beras yang anonim hanya akan memakmurkan tujuh orang yang bukan miskin karena probabilitas untuk menemukan si miskin makin rendah. Artinya, tanpa disagregasi yang andal, kita tak bisa mengenal orang miskin.

Bergerak dengan dua isu di atas, kita bisa mencatat hal penting yang harus ada di jantung setiap analis dan pengambil kebijakan: rasa lapar, kurang gizi, dan tak mampu menyekolahkan adalah persoalan hidup nyata bagi si miskin; bukan soal angka tanpa jiwa. Data mengenai orang miskin harus menjadi identitas si miskin itu sendiri, bukan data yang "anonim". Dengan catatan ini, kita membutuhkan informasi sangat terperinci supaya program antikemiskinan betul-betul efektif.

Duduk soalnya kemudian ialah pada level mana data, analisis, dan kebijakan harus dilakukan? Jawabannya adalah micro level. Di sini jelas peran pemerintah daerah (pemda) menjadi krusial karena pemda yang (seharusnya) mengenal karakter warga, tipologi okupasi, geografi- kultural, dan sebagainya. Ini asumsi penting yang harus diletakkan dulu; karena jika tidak, bukan pemda lagi namanya-itu nature "orang pusat", cuma tahu hutan, tapi tak kenal pohon.

Micro level berimplikasi pada upaya mendekatkan jarak antara jantung persoalan dan jantung pengambilan kebijakan. Sering sekali terjadi, jarak antara kedua jantung ini terlalu jauh dan butuh waktu tempuh panjang hingga keduanya berinteraksi. Akibatnya, kebijakan memiliki potensi bias yang besar, selain juga kehilangan timing-nya.

Micro level juga berarti data, interpretasi, dan penetapan kebijakan digagas oleh mereka yang berada di level lokal, yakni si miskin itu sendiri dan pemegang otoritas kebijakan. Tugas si miskin adalah menceritakan persoalan kemiskinannya. Tugas si analis adalah merekamnya menjadi data yang sistematis dan andal. Tugas penentu kebijakan adalah menggunakan kewenangannya untuk menyelesaikan persoalan. Ketiganya mendialogkan cara- cara penyelesaian, menjalankan, serta memantau hasilnya dengan indikator yang ditetapkan bersama.

Ruang ini sangat terbatas untuk mendiskusikan lebih teknis bentuk sistem data yang bisa dirancang untuk menampung gagasan di atas. Namun, inti dari semua itu adalah kebutuhan data bagi kebijakan poverty targeting hanya bisa dipenuhi oleh, dari, dan untuk tingkat lokal. Saatnya kita bergerak dari pesimisme makro ke optimisme mikro karena persoalan kemiskinan dewasa ini bukanlah soal di level makro, tetapi mikro.

Harry Seldadyo Mahasiswa PhD Program Ekonomi-Politik di Rijkuniversiteit Groningen, Belanda

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0503/30/opini/1653469.htm

Wednesday, March 02, 2005

Tulisan Taufik Ismail

Mungkin Sekali Saya Sendiri Juga Maling

[tulisan akhir tahun Media Indonesia]

Oleh Taufiq Ismail, dikirim kosmopolitan


Kita hampir paripurna menjadi bangsa porak-poranda, terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara di dunia. Penganggur 40 juta orang, anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta murid, pecandu narkoba 6 juta anak muda, pengungsi perang saudara 1 juta orang, VCD koitus beredar 20 juta keping, kriminalitas merebat di setiap tikungan jalan dan beban hutang di bahu 1600 trilyun rupiahnya.

Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol di ruang tamu Kantor Pegadaian Jagat Raya, dan di punggung kita dicap sablon besar-besar Tahanan IMF dan Penunggak Bank Dunia. Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu, menjual tenaga dengan upah paling murah sejagat raya.

Ketika TKW-TKI itu pergi lihatlah mereka bersukacita antri penuh harapan dan angan-angan di pelabuhan dan bandara, ketika pulang lihat mereka berdukacita karena majikan mungkir tidak membayar gaji, banyak yang disiksa malah diperkosa dan pada jam pertama mendarat di negeri sendiri diperas pula.

Negeri kita tidak merdeka lagi, kita sudah jadi negeri jajahan kembali. Selamat datang dalam zaman kolonialisme baru, saudaraku. Dulu penjajah kita satu negara, kini penjajah multi-kolonialis banyak bangsa. Mereka berdasi sutra, ramah-tamah luarbiasa dan banyak senyumnya. Makin banyak kita meminjam uang, makin gembira karena leher kita makin mudah dipatahkannya.

Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali. Berbagai format perindustrian, sangat menjanjikan, begitu laporan penelitian. Nomor satu paling wahid, sangat tinggi dalam evaluasi, dari depannya penuh janji, adalah industri korupsi.

Apalagi di negeri kita lama sudah tidak jelas batas halal dan haram, ibarat membentang benang hitam di hutan kelam jam satu malam.

Bergerak ke kiri ketabrak copet, bergerak ke kanan kesenggol jambret, jalan di depan dikuasai maling, jalan di belakang penuh tukang peras, yang di atas tukang tindas. Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia, sudah untung.

Lihatlah para maling itu kini mencuri secara berjamaah. Mereka bershaf-shaf berdiri rapat, teratur berdisiplin dan betapa khusyu'. Begitu rapatnya mereka berdiri susah engkau menembusnya. Begitu sistematiknya prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya. Begitu khusyu'nya, engkau kira mereka beribadah. Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada maling yang istiqamah?

Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya, membentang dari depan sampai ke belakang, melimpah dari atas sampai ke bawah, tambah merambah panjang deretan shaf jamaah. Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan lintas jenis kelamin.

Bagaimana melawan maling yang mencuri secara berjamaah? Bagaimana menangkap maling yang prosedur pencuriannya malah dilindungi dari atas sampai ke bawah? Dan yang melindungi mereka, ternyata, bagian juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah.

Bagaimana ini?

Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi MOU dan MUO (Mark Up Operation), tangan kanannya membuat yayasan beasiswa, asrama yatim piatu dan sekolahan.

Kaki kiri jamaah ini mengais-ngais upeti ke sana ke mari, kaki kanannya bersedekah, pergi umrah dan naik haji.

Otak kirinya merancang prosentasi komisi dan pemotongan anggaran, otak kanannya berzakat harta, bertaubat nasuha dan memohon ampunan Tuhan.

Bagaimana caranya melawan maling begini yang mencuri secara berjamaah? Jamaahnya kukuh seperti dinding keraton, tak mempan dihantam gempa dan banjir bandang, malahan mereka juru tafsir peraturan dan merancang undang-undang, penegak hukum sekaligus penggoyang hukum, berfungsi bergantian.

Bagaimana caranya memroses hukum maling-maling yang jumlahnya ratusan ribu, barangkali sekitar satu juta orang ini, cukup jadi sebuah negara mini, meliputi mereka yang pegang kendali perintah, eksekutif, legislatif, yudikatif dan dunia bisnis, yang pegang pistol dan mengendalikan meriam, yang berjas dan berdasi. Bagaimana caranya?

Mau diperiksa dan diusut secara hukum? Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan? Mau didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman? Hakim dan jaksa yang bersih dari penyuapan? Percuma Seratus tahun pengadilan, setiap hari 8 jam dijadwalkan tak akan terselesaikan.

Jadi, saudaraku, bagaimana caranya? Bagaimana caranya supaya mereka mau dibujuk, dibujuk, dibujuk agar bersedia mengembalikan jarahan yang berpuluh tahun dan turun-temurun sudah mereka kumpulkan. Kita doakan Allah membuka hati mereka , terutama karena terbanyak dari mereka orang yang shalat juga, orang yang berpuasa juga, orang yang berhaji juga. Kita bujuk baik-baik dan kita doakan mereka.

Celakanya, jika di antara jamaah maling itu ada keluarga kita, ada hubungan darah atau teman sekolah, maka kita cenderung tutup mata, tak sampai hati menegurnya.

Celakanya, bila di antara jamaah maling itu ada orang partai kita, orang seagama atau sedaerah, kita cenderung menutup-nutupi fakta, lalu dimakruh-makruhkan dan diam-diam berharap semoga kita mendapatkan cipratan harta tanpa ketahuan.

Maling-maling ini adalah kawanan anai-anai dan rayap sejati. Dan lihat kini jendela dan pintu rumah Indonesia dimakan rayap. Kayu kosen, tiang, kasau, jeriau rumah Indonesia dimakan anai-anai. Dinding dan langit-langit, lantai rumah Indonesia digerogoti rayap. Tempat tidur dan lemari, meja kursi dan sofa, televisi rumah Indonesia dijarah anai-anai. Pagar pekarangan, bahkan fondasi dan atap rumah Indonesia sudah mulai habis dikunyah-kunyah rayap. Rumah Indonesia menunggu waktu, masa rubuhnya yang sempurna.

Aku berdiri di pekarangan, terpana menyaksikannya. Tiba-tiba datang serombongan anak muda dari kampung sekitar. "Ini dia rayapnya! Ini dia Anai-anainya!" teriak mereka. "Bukan. Saya bukan Rayap, bukan!" bantahku.

Mereka berteriak terus dan mendekatiku dengan sikap mengancam. Aku melarikan diri kencang-kencang. Mereka mengejar lebih kencang lagi. Mereka menangkapku. "Ambil bensin!" teriak seseorang. "Bakar Rayap," teriak mereka bersama. Bensin berserakan dituangkan ke kepala dan badanku. Seseorang memantik korek api. Aku dibakar. Bau kawanan rayap hangus. Membubung ke udara.

Iklan Layanan Pemerintah

Rabu, 02 Maret 2005

Menyoal "Iklan Layanan Pemerintah"

Oleh Abd Rohim Ghazali

IKLAN satu halaman penuh Freedom Institute, Center for Democracy, Nationalism, and Market Economy Studies, "Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM?" (Kompas, 26/2) menarik didiskusikan lebih lanjut. Alasannya, kalkulasi ekonomi yang dipaparkan sebagai materi iklan meski tampak amat rasional, belum tentu sesuai dengan realitas yang dibutuhkan masyarakat. Sepertinya masuk akal, tetapi dapat membawa akibat yang menyesatkan.

Idealnya, rasionalitas sejalan dengan kebutuhan masyarakat sehingga setiap problem yang dihadapi masyarakat bisa dikalkulasi dan dicari jalan keluarnya. Kenyataannya, problem yang dihadapi masyarakat selalu kompleks dan sulit bisa dipahami secara linear. Oleh karena itu, ketidaksesuaian antara rasionalitas dan kebutuhan masyarakat menjadi hal biasa. Jika yang rasional sejalan dengan realitas, tentu tak ada kritik terhadap paradigma Newtonian-Cartesian. Itu yang pertama.

Kedua, data hasil kajian LPEM-FEUI tentang dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia-yang disertakan untuk "membunyikan" materi iklan-amat potensial menipu khalayak. Pada faktanya, naik turunnya jumlah penduduk miskin di suatu negara, tak selalu terkait kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, apalagi hanya satu sektor (misalnya subsidi BBM). Menurut kajian Amartya Sen, ekonom asal India peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1998, grafik kesejahteraan (pertumbuhan ekonomi) justru terkait tinggi rendahnya kebebasan politik yang dinikmati rakyat dalam suatu negara. Menurut Sen, banyak kalangan salah paham mengenai kemiskinan, miskin hanya dipahami sebatas lack of income (kekurangan pendapatan). Padahal, kurangnya pendapatan hanya konsekuensi dari kurangnya kemampuan (lack of capability) dan kurangnya kesempatan (lack of opportunity). Seseorang menjadi miskin, menurut Sen, terutama karena kemampuan pada dirinya tak diberi ruang untuk diaktualisasikan. Pandangan Sen ini bukan hanya didasarkan hasil kajian di ruang akademis, tetapi studi empiris.

Ketiga, dalam iklan disebutkan, pengurangan subsidi BBM akan dikompensasikan untuk beasiswa pendidikan, perbaikan sarana kesehatan, dan bantuan beras murah. Ada kesan, beasiswa pendidikan, perbaikan sarana kesehatan, dan bantuan beras murah hanya bisa dilakukan dengan baik jika pemerintah mengurangi subsidi BBM. Padahal, kenyataan tidak demikian, karena semua itu adalah tugas pemerintah. Ada-tidaknya pengurangan subsidi BBM adalah kewajiban pemerintah menolong rakyatnya. Dan dalam melaksanakan kewajiban ini, perlu dicari cara yang kreatif tanpa harus menyakiti hati rakyat. Benarkah menaikkan harga BBM ibarat menelan pil yang terasa pahit tetapi menyembuhkan?

SELAIN ketiga hal itu, pencantuman sejumlah cendekiawan dan tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM)-antara lain Franz Magnis-Suseno, Goenawan Mohamad, Todung Mulya Lubis, Hamid Basyaib, dan Ulil Abshar-Abdalla-akan merugikan kredibilitas cendekiawan umumnya. Kalaupun yang disampaikan dalam iklan itu benar, apakah perlu mencantumkan nama cendekiawan sebagai penguat. Apalagi jika secara substantif isinya belum tentu benar.

Kita menginginkan cendekiawan dan LSM senantiasa menyuarakan kepentingan rakyat, meski kita yakin apa yang menjadi kepentingan rakyat-sebagaimana kepentingan pemerintah dan pemilik modal-belum tentu benar. Karena itu, kita bisa memahami dan tidak keberatan (malah senang) saat sejumlah cendekiawan dan LSM tercantum namanya dalam iklan layanan masyarakat.

Contoh, dalam kasus pertikaian antara Tempo versus Tommy Winata, kita senang saat banyak (aktivis) LSM dan cendekiawan yang membela Tempo meski belum tentu Tempo ada di pihak yang benar. Dalam hal ini, yang mereka bela bukan Tempo sebagai institusi, tetapi media yang bisa menyalurkan aspirasi masyarakat. Maka, ketika sejumlah cendekiawan dan aktivis LSM tercantum namanya dalam-meminjam istilah Farid Gaban-"iklan layanan pemerintah", tentu akan memunculkan kembali perdebatan klasik mengenai makna "pengkhianatan kaum intelektual".

Selain itu, pencantuman nama sejumlah cendekiawan pada "iklan layanan pemerintah" telah menjerumuskan mereka pada kerancuan berpikir yang disebut pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat (1999) sebagai argumentum ad verecundian. Yakni berargumen dengan menggunakan otoritas, meski otoritas itu tidak relevan atau ambigu.

Mereka yang tercantum dalam iklan itu mempunyai otoritas tinggi (meski tidak semuanya) dalam bidang ilmu dan keahlian masing-masing: ada ahli filsafat, ahli hukum, pakar politik, pakar agama, dan lain-lain. Tetapi apa relevansi pencantuman nama mereka untuk iklan yang mendukung pengurangan subsidi BBM yang berarti legitimasi bagi keabsahan kenaikan harga BBM?

Memang, bisa saja diajukan argumen bahwa persoalan pengurangan subsidi BBM tidak hanya terkait masalah ekonomi, tetapi terkait hajat hidup orang banyak. Karena dampak dari kebijakan pengurangan subsidi BBM itu menyentuh beragam kebutuhan masyarakat, maka para ahli di bidang filsafat, hukum, politik, dan kebudayaan ikut mendukungnya.

Jika demikian, berarti iklan itu telah menjebak mereka pada kesalahan berpikir yang lain, yakni fallacy of misplaced concretness (upaya mengonkretkan sesuatu yang pada dasarnya abstrak), dan fallacy of dramatic instance (penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat umum).

SEJAK iklan pengurangan subsidi BBM muncul di media, banyak kalangan mengkritiknya sebagai penyesatan opini publik. Karena dianggap menyesatkan, Departemen Komunikasi dan Informatika-yang menyampaikan iklan itu-dikecam keras dan menjadi sasaran demonstrasi aktivis mahasiswa. Tak hanya di ranah publik, di parlemen yang eksklusif pun kebijakan pengurangan subsidi BBM menyulut perdebatan. Beberapa anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) bahkan akan menggalang dukungan untuk mengajukan hak angket kepada pemerintah.

Sementara itu, sejak Desember 2004, harga-harga kebutuhan pokok beranjak naik, mulai 4 persen hingga 60 persen (Tempo Interaktif, 7/12/2004 dan 26/2/2005). Meski kenaikan harga itu tak selalu berkaitan dengan pengurangan subsidi BBM, namun kenaikan harga BBM sudah pasti akan berdampak langsung pada kenaikan harga bahan pokok dan tarif angkutan umum, dua hal yang menjadi kebutuhan sehari-hari rakyat di negeri ini.

Artinya, pengurangan subsidi BBM pasti akan semakin menyulitkan rakyat. Sementara kompensasinya (beasiswa pendidikan, perbaikan sarana kesehatan, dan bantuan beras murah) belum tentu bisa diwujudkan dengan benar. Karena itu, pemerintah harus kerja keras agar kompensasi kenaikan harga BBM tak sekadar menjadi angin surga di telinga rakyat. Masih banyaknya koruptor dan pejabat bermoral bejat di negeri ini, bukan tidak mungkin, akan menjadikan dana kompensasi sebagai lahan korupsi.

Abd Rohim Ghazali Direktur Eksekutif MAARIF Institute; Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah

sumber :

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0503/02/opini/1594199.htm

Kata : Sri Mulyani

Rabu, 02 Maret 2005

Sri Mulyani: Program Kompensasi BBM Banyak Kerawanan

SETELAH kenaikkan harga bahan bakar minyak rata-rata 29 persen, selain aksi protes di mana-mana, sorotan keras juga tertuju pada program kompensasi untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM. Program itu diragukan efektivitasnya dapat sesuai tujuan, bahkan dinilai rawan korupsi.

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati, kepada Kompas, Selasa (1/3) di ruang kerjanya, mengatakan, sangat mengerti jika banyak orang skeptis terhadap program ini.

"Yang paling sulit memang, mengelola ekspektasi orang, sebab ekspektasinya kan pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Pasti ada yang kecewa," katanya.

Akan tetapi, dia mengakui, langkah ini ibarat biji-biji awal yang ditanamkan pemerintah. Nanti akan diamankan (secure) dalam anggaran tahun 2006. "Jadi, bukan hangat-hangat tahi ayam, supaya orang tidak marah karena adanya kenaikan harga BBM. Jadi ada alasan untuk terus meningkatkan alokasi dana pendidikan, terutama bagi orang miskin," katanya.

Program ini juga juga diakuinya tidak sempurna. Harus sempurna 100 persen terlalu naif juga. Tetapi, kalau kita jujur dan waspada, desain program ini mungkin masih akan sangat rawan terhadap berbagai kemungkinan tingkah laku dari para pelaksananya.

Paling penting, kata dia, pemerintah menjelaskan secara jujur program ini. Siapa yang menjadi sasaran, arahnya, target yang akan dituju, mekanismenya, dan penyalurannya, uang jatuh bagaimana, sehingga targetnya mendapatkan apa.

"Memang ada masalah politik. Ada Parpol yang sudah menggariskan, pokoknya menolak kebijakan ini. Tidak peduli sebagus apa pun argumen kamu.

Bagaimana mekanisme menentukan orang, menyalurkan kepada orang yang bersangkutan dan mengawasinya?

Menentukan orang miskin dari statistik terbaru dan komprehensif, Susenas Badan Pusat Statistik (BPS) 2004. Itu berdasarkan data sampel, dimodelkan, bikin estimasi.

Dengan pemodelan itu, mereka bisa memperkirakan jumlah orang miskin di provinsi dan kabupaten secara akurat, tetapi tidak bisa menentukan siapa orang itu, dan tinggal di mana.

Untuk mengetahui siapa orangnya, pemerintah mengombinasikan dengan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN). Data BKKBN dibuat bidang desa dan petugas KB. Mereka adalah orang yang langsung berhubungan dengan penduduk desa, sehingga punya daftar orang miskin dan tahun kondisi kesejahteraan.

Jadi setiap kali bicara target, kita punya ide bahwa dari seluruh populasi 216 juta penduduk Indonesia, ada 36 juta orang miskin. Kalau kita mau menjadikan orang itu sebagai target, apa konsep kita? Pengentasan kemiskinan yang disebut program partisipatif.

Dulu juga ada program pengentasan kemiskinan?

Strategi nasional pengentasan kemiskinan pada era Pak Kwik Kian Gie (mantan Menneg PPN/Kepola Bappenas) dua tahun lalu sudah. Ada lingkaran setan yang harus dipotong, yaitu pendidikan, kesehatan sanitasi, infrastruktur, kesempatan kerja, modal, tidak pernah berpartisipasi, dan juga dari rasa aman.

Tetapi uang kita cuma pas-pasan. Dari simulasi anggaran, dengan kenaikan harga BBM 29 persen, kita bisa mendapatkan uang Rp 20 triliun. Itu bisa dialokasikan, tidak lagi untuk BBM, tetapi aktivitas lain. Sementara yang Rp 10,5 triliun untuk kompensasi BBM, sekitar Rp 7 triliun untuk mengurangi defisit dan sisanya untuk Aceh.

Nah yang Rp 10,5 triliun kita desain untuk tambahan anggaran dari program yang sudah ada, untuk makin mempercepat atau memperkuat usaha mengurangi kemiskinan. Selain konsep ini yang sudah dibuat, juga menjalankan program tahun 2003 yang sudah diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Daripada susah-susah kasih kepada 9 juta orang miskin, kenapa tidak semuanya orang miskin saja? Kalau mau seluruh sekolah gratis, biayanya Rp 50 triliun. Kita tidak punya duit sebanyak itu.

Akhirnya pemerintah berpikir, tidak semua orang tua siswa tidak mampu. Kita kasih yang paling miskin saja. Juga kepada siswa yang selalu terancam putus sekolah karena tidak mampu beli buku, bayar transpor. Orang yang putus sekolah. Mereka yang sudah usia sekolah, tetapi belum mampu sekolah.

Kita hitung, dapatnya Rp 9,69 juta murid, dari jenjang SD/Madrasah Ibtidaiyah 6,4 juta murid, SMP/Madrasah Tsanawityah 2,353 murid. Angka ini sudah diaudit BPKP dan programnya 90 persen berhasil.

Metodenya bagaimana?

Pihak sekolah bersama persatuan orang tua murid memilih murid yang tidak mampu orang tuanya. Kepala sekolah sampaikan ke bupati, bupati ke provinsi. Pusat memberikan plafon atas data yang dikumpul. Jadi ada kemungkinan anak miskin tercoret karena ada pembatasan alokasi dana. (Contoh mekanisme untuk program pendidikan dan kesehatan, lihat ilustrasi)

Titik rawan di mana? Apakah orang tua subyektif menentukan nama siswa yang bisa dibantu. Pernah kejadian orang mampu dapat beasiswa itu. Di tingkat sekolah, di bawah tingkat bupati, bisa juga di luar daftar itu. Di tingkat provinsi lagi, bisa juga ganti nama.

Jadi implementasinya dari pemerintah, daerah bekerja sama dengan orang tua murid, adalah titik yang akan kita anggap kelemahan atau kekuatan. Tergantung dari mana kita memandang. Kekuatan kalau melibatkan orang-orang yang dapat diandalkan, kalau bisa menentukan secara objektif.

Tetapi bisa jadi kelemahan kalau ada aroma kolusi. Karena jumlahnya relatif besar, Rp 25.000 per bulan untuk setiap anak SD, Rp 65.000 per bulan untuk SMP, dan Rp 120.000 untuk SMA.
Karena itu, kita meletakkan juga di dalam desain itu, sistem monitoring dan evaluasi.

Siapa monitoring?

Pemerintah daerah, provinsi sudah diminta untuk merekrut tim monitoring. Sesuai pengalaman sebelumnya, kerja sama dengan 30 universitas tahun 2003 cukup efektif. LSM, gubernur, bupati, DPR, DPRD, semua terbuka untuk pengawasan itu.

Tetapi dalam sektor pendidikan, dari sisi penyaluran, tidak mungkin bocor, karena dana langsung masuk ke rekening. Salah target mungkin. Jadi kalau dilihat titik lemah, pada penentuan sasaran dan seleksi, sampai mendapat 9,6 juta orang itu.

Ada juga kerawanan yang lain. Misalnya mencari siswa yang sudah putus sekolah. Siapa yang mampu mengambil orang yang sudah di luar. Tim Departemen Pendidikan punya data dan Departemen Agama, untuk identenfikasi di mana orang itu. Provinsi mengalokasi jumlah beasiswa, untuk berapa orang yang masuk daftar penerima. Di titik itu, kita dengan senang hati untuk dimonitoring. Termasuk BPKP sudah dialokasikan dana untuk mengaudit hal itu.

Tetapi saya secara pribadi melihat pendidikan kurang rawan penyelewengan. Persatuan orang tua pasti tidak tega. Yang akan muncul dalam berita, pasti ada anak miskin yang tidak masuk daftar penerima beasiswa, karena memang tidak mungkin seluruhnya dapat. Jadi di antara 9,6 juta, bukan semua populasi orang miskin, pasti ada masyarakat miskin di luar daftar.

Kesehatan bagaimana?

Ini agak lain. Konsepnya masyarakat miskin yang jumlahnya 36 juta, menurut data Suspenas, bisa mendapatkan pelayanan gratis, baik rawat jalan, baik di puskesmas atau rumah sakit atau rawat inap. Di puskesmas atau di rumah sakit.

Jumlah 36,14 juta jiwa masyarakat miskin kan data makro BPS. Mereka hanya tahu provinsi ini punya orang miskin sekian juta orang. Kabupaten bisa diestimasi sensus pakai pemodelan. Dia memetakan tetapi dia tidak tahu benar jumlahnya dan di mana orangnya.

Jadi paling sulit mengindentifikasi yang 36 juta. Kita hanya bisa nenetukan plafon (dananya), provinsi dapat berapa. Jadi setiap 36 juta dikalikan Rp 5.000 premi asuransi dikalikan 12 bulan.
Penduduk miskin ini yang kita dapatkan, kemudian dijumlahkan, kalau ada perbedaan menurut BPS dan lapangan, kan harus ada rekonsiliasi data. Jadi titik rawan kemungkinan rekonsiliasi itu.

Lainnya, kalau mau dapat pengobatan gratis, pasti jumlah orang yang mau mendapatkan kartu miskin jauh lebih besar dari plafon yang pemerintah tentukan. Kalau mengatakan dapat kartu mesti sogok, itu sangat mungkin terjadi. Jadi kita sangat berharap, gubernur dan bupati membuat mekanisme yang tepat. Mereka yang lebih tahu daerahnya.

Mekanisme kartu sekarang adalah, pembuatan dan distribusi dilakukan secara bertahap. Diperkirakan rakyat akan mendapat kartu pada akhir tahun 2005. Kartunya dikeluarkan Askes, Dinas Kesehatan yang dapat menjangkau desa terpencil.

Siapa yang pro aktif?

Departemen Kesehatan dan PT Askes, karena mereka yang dapat anggaran. Mereka kan selama ini menawarkan, jadi departemen kesehatan melalui jaringannya, termasuk Askes.

Bagaimana orang yang tidak punya identitas?

Tidak bisa di-cover. Sebetulnya pemerintah pusat akan sangat senang dengan inisiatif daerah yang memiliki APBD sehat, menggabungkan dengan program inisiatif mereka untuk menguatkan program ini. Itu yang akan kita coba lakukan dengan tim kerja.

Bagaimana tahun berikutnya?

Seperti beasiswa dan kesehatan. Sekali mereka masuk dalam daftar sembilan juta ini, berarti siswa miskin masuk dalam budget, dia diamankan sampai lulus. Ini mendisiplinkan budget kita juga untuk terus berkomitmen terhadap sektor pendidikan. Ini sejalan jumlah budget memang makin diarahkan ke situ. Jadi mengharapkan tingkat kesuksesan yang tinggi, akan terasa dua tahun lagi. Dua bulan masih akan ribut kartu miskin.

Jadi pengucuran dana akhir 2005?

Sekarang ini, ya budget APBN 2005 sudah ada dana Rp 7 triliun untuk kemiskinan, kesehatan. Tetapi ini tidak terserap sekarang. Jadi Menteri Keuangan bilang, saya mau pakai uang ini. Nanti kalau kenaikan subsidi disetujui angka yang Rp 10,5 triliun keluar juga. Jadi sekarang sampai dengan perubahan APBN pertengahan tahun, bisa talangi yang Rp 7 triliun itu.

Itu yang kita gunakan sekarang, apakah program dimulai sekarang, ya sekarang. Tapi kemungkinan ada anggaran yang tidak terserap sampai akhir tahun. (BOY/DIS)
sumber:

Tuesday, March 01, 2005

BBM dan Iklan

Selasa, 01 Maret 2005

BBM dan Iklan Freedom Institute

Oleh Agus Surono

HARI Sabtu (26/2/2005) Freedom Institute mengiklankan diri untuk mendukung pengurangan subsidi disertai sinopsis alasan. Pada kolom bawah tertera nama-nama para pendukung. Ada Andi Mallarangeng (Juru Bicara Presiden), Rizal Mallarangeng (Freedom Institute), M Chatib Basri, M Sadli (ekonom UI), Todung Mulya Lubis (pengacara), Goenawan Mohamad (budayawan), dan lain-lain.

Melihat nama-nama yang ada menunjukkan mereka adalah orang-orang yang memiliki kredibilitas dan integritas.

Ada yang menarik dari iklan dukungan pengurangan subsidi BBM itu. Baru kali ini dalam sejarah BBM mendapatkan dukungan intelektual dan aktivis LSM. Hal ini tidak pernah terjadi dalam sejarah Orde Baru, zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, maupun Megawati.

Dalam sejarah Orde Baru kalangan intelektual justru kritis dan ada dalam posisi out sider dan tokoh LSM tidak berkutik, tetapi peran intelektual tetap mendominasi. Mafia Berkley menjadi contoh paling sahih.

Dalam tiga pemerintahan terakhir pascareformasi, masalah BBM tetap menjadi persoalan yang dilematis. Vis a vis tuntutan neoliberal dengan kenestapaan rakyat sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Dalam konteks Orde Baru intelektual yang masuk birokrasi kekuasaan cenderung terkooptasi. Tugasnya hanya menjadi tukang stempel atau mensahkan program-program kekuasaan. Contoh paling nyata adalah dikenalkannya model developmentalism sebagai model untuk mengonstruksi perkembangan negara, juga model yang akhirnya sekadar mengakumulasi kebangkrutan negara, model pembangunan yang sebenarnya diadaptasi tanpa dasar filosofi yang jelas. Dan seolah tidak mau tahu jika paham pembanguannisme sebenarnya hanya upaya Amerika Serikat dalam memenangkan perang dingin dan melokalisasi meluasnya sosialis-komunis versi Soviet.

Plus minus iklan itu

Apa yang dilakukan Freedom Institute dengan iklan itu dapat dipahami sebagai civic education bagi kita. Bahwa subsidi pada gilirannya harus dikurangi dan kalau mungkin dihapus karena dalam jangka waktu tertentu subsidi yang terus-menerus akan memberatkan negara. Dengan demikian, beban utang negara pun akan bertambah. Ini hanya akan mewariskan utang pada generasi berikut. Belum lagi subsidi yang selama ini ada ternyata banyak salah sasaran. Ini merupakan sebuah logika ekonomi yang bisa dipahami bersama.

Namun, apakah logika seperti itu paralel dengan problem keseharian masyarakat? Ini merupakan pertanyaan yang tidak sekadar perlu dijawab dengan kalkulasi statistik-kuantitatif yang cenderung menyederhanakan realitas seperti iklan Freedom Institute itu. Realitas menunjukkan, rencana kenaikan BBM masih menimbulkan pro dan kontra. Terlalu tergesa-gesa jika kemudian lembaga, orang perseorangan melakukan release publik yang bertujuan menyatakan afirmasinya.

Dengan demikian, apa yang dilakukan Freedom Institute dengan iklannya itu dapat dimaknai sebagai bentuk peneguhan, dukungan, bahkan bisa dimaknai sebagai pressure/intimidasi atau provokasi bagi publik.

Publik kritis dipastikan akan bertanya-tanya ada apa dengan para intelektual dan tokoh LSM yang secara vulgar mengiklankan diri mendukung pengurangan subsidi BBM. Terlebih iklan ini dilakukan atas Nama Freedom Institute yang notabene merupakan lembaga yang secara penuh didanai oleh Aburizal Bakrie yang juga Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu. Bukan bermaksud berprasangka yang berlebihan terhadap apa yang dilakukan Freedom Institute, tetapi tetap saja akan menimbulkan spekulasi bahkan stigmatisasi bahwa iklan yang dimuat satu halaman penuh itu sekadar pesanan dari penyandang dana.

Dengan demikian, jika kemudian iklan itu memunculkan kesan bahwa apa yang dilakukan sekelompok intelektual dan aktivis LSM ini adalah sekumpulan orang yang dengan sadar menjadi "juru bicara" pemerintahan sekarang, bisa menjadi sesuatu yang masuk akal.

Terlebih apa yang dijanjikan dengan pendidikan gratis dan pengobatan murah sebagai kompensasi atas dihapuskannya subsidi juga akan berjalan efektif. Apakah karena ketidaktepatan subsidi yang selama ini terjadi dengan serta-merta dapat dijadikan alasan untuk kemudian menghapus subsidi, sesuatu yang pasti masih mengundang kontroversi. Mengapa justru mereka tidak melihat di mana ketidaktepatan bantuan subsidi itu? Hal ini mengindikasikan jalan pintas dalam memahami persoalan.

Keberpihakan intelektual

Iklan Freedom Institute itu mengajak pada perdebatan tentang peran intelektual dan keperpihakannya. Menyitir teori Gramsci dengan Intelektual Organik, apa yang ada pada iklan beserta pendukungnya itu telah mencederai amanat rakyat. Dengan dalih dan dalil ekonomi membuat justifikasi pengurangan subsidi BBM sebagai sesuatu yang wajar.

Aroma perselingkuhan beberapa intelektual dan aktivis LSM menjadi amat kentara. Kerja sama antara intelektual dan tokoh LSM memang tidak dilarang. Tetapi kerja sama itu seyogianya tidak mematikan nalar kritis dan naluri kemanusiaan.

Sekiranya iklan itu juga dapat memotret peran intelektual dan tokoh LSM, akan diperoleh keterangan sebagai berikut. Pertama, adanya keterjarakan antara aktivitas intelektual dan kesenyataan persoalan masyarakat bawah.

Kedua, mungkin begitulah potret sebagian intelektual/aktivis LSM yang tidak kuasa menghadapi kekuasaan. Sebagaimana ditengarai Heru Nugroho dalam sebuah diskusi yang diberitakan Kompas beberapa hari lalu, LSM Indonesia jika tetap mempertahankan idealisme perjuangannya akan miskin karena tidak ada proyek

Ketiga, menunjukkan begitu kuatnya arus neoliberal dalam tokoh-tokoh pendukung maklumat itu, menjadi amat ironis bagaimana gelombang neoliberal yang terus-menerus dikoreksi dan dipertanyakan keadilannya oleh negara dunia ketiga justru mendapatkan tempatnya di sini. Jangan-jangan hal ini hanya karena merasa berutang budi saja.

Sebenarnya amat disayangkan apa yang dilakukan oleh iklan beserta para pendukungnya itu. Karena hal ini bisa dibaca sebagai bentuk penelingkungan proses demokrasi. Publik seolah didikte sekelompok orang yang memiliki akses media. Peran media telah dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan, satu hal yang semestinya diharamkan dalam era demokrasi.

Agus Surono Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Tinggal di Malang

sumber :

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0503/01/opini/1588138.htm