Wednesday, March 30, 2005

Dana Kompensasi ?

Rabu, 30 Maret 2005

Perlukah Dana Kompensasi BBM?

Oleh Dendi Ramdani

PERDEBATAN seputar isu kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM antara Mohamad Ikhsan (Kompas, 16/3) dan M Chatib Basri (Kompas, 18/3) dengan Iman Sugema (Kompas, 17/3) dan Rina Oktaviani (Kompas, 18/3) salah satunya mengarah kepada keraguan dan menekankan agar dana kompensasi BBM bisa sampai ke kaum miskin, selain memperdebatkan dampaknya terhadap besar angka inflasi dan pertambahan angka kemiskinan.

Prof Mubyarto (Kompas, 21/3) secara lebih tegas sangat meragukan dana kompensasi BBM bisa sampai ke kaum miskin dengan mengutip angka dari laporan BPS dan pengalaman penanggulangan kemiskinan yang pernah ada. Jadi, beliau terkesan marah dengan mengatakan, "Pemerintah sekarang tidaklah perlu mengembangkan program-program penanggulangan kemiskinan yang ’dititipkan’ dalam penggunaan dana kompensasi." Namun, sayang, di akhir tulisan beliau tidak secara eksplisit menawarkan bagaimana mengatasi kemiskinan yang ada di Indonesia. Tulisan ini tidak hendak mempermasalahkan perlu tidaknya harga BBM naik atau tidak, tetapi akan lebih membahas seputar program dana kompensasi BBM.

Permasalahan subsidi terarah (targeted subsidy) kepada kaum miskin memang menghadapi banyak kendala dalam pelaksanaannya, yaitu mendefinisikan siapa yang miskin, selanjutnya indikator apa yang dapat digunakan untuk menentukan kaum miskin ini, dan bagaimana mekanisme penyaluran bantuan ke kaum miskin yang sudah ditentukan. Kendala bertambah karena kemampuan aparat birokrasi, sebagai pihak yang paling berperan, karena perilaku korupnya. Namun, subsidi terarah masih terbuka peluang untuk lebih baik lagi di tengah kondisi yang mengkhawatirkan ini. Akumulasi pengalaman program program kemiskinan sejak tahun 1998 hingga sekarang telah memberikan proses pembelajaran bagaimana menjalankan program subsidi terarah agar lebih efektif.

MENDEFINISIKAN siapa yang miskin adalah pekerjaan yang tidak mudah. Angka kemiskinan BPS yang diterbitkan setiap tahun sebetulnya adalah angka perkiraan berdasarkan data Susenas. BPS tidak mendata siapa dan di mana orang miskin karena data Susenas adalah sampel yang digunakan untuk estimasi. Jadi, dipakailah data BKKBN yang mendata keluarga dan mengelompokkannya menjadi Keluarga Pra Sejahtera Alasan Ekonomi dan Keluarga Sejahtera I Alasan Ekonomi sebagai keluarga miskin yang berhak mendapat subsidi kesehatan, pangan, dan pendidikan dari pemerintah.

Data ini merupakan data terbaik tentang kemiskinan di Indonesia, karena data merupakan hasil sensus yang dilakukan setiap tahun sekali. Bahkan pada zaman Presiden Soeharto, pembaruan data dilakukan setiap tiga bulan sekali. Dengan demikian, data ini mencatat siapa keluarga miskin dan alamatnya di mana.

Indikator yang digunakan digambarkan sebagian saja oleh Prof Mubyarto sehingga bisa memberi tafsiran yang sepotong. Indikator yang digunakan dalam data BKKBN sebetulnya ada lima, yaitu beribadah secara rutin, makan minimal dua kali sehari, memiliki pakaian berbeda untuk setiap kegiatan, jika ada anggota keluarga sakit diberi pengobatan modern, dan bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.

Walaupun data ini tadinya untuk keperluan program KB, bisa juga digunakan untuk menentukan keluarga miskin. Jadi, kemiskinan dalam data BKKBN didefinisikan berdasarkan indikator-indikator tersebut. Indikator ini memang masih bisa diperdebatkan dan masih mungkin diperbaiki lagi agar lebih tepat dalam menentukan siapa yang miskin.

Permasalahan tidak berhenti di sini. Masalah lain adalah kualitas data BKKBN. Ada satu fenomena menarik, yaitu inkonsistensi antara data kemiskinan yang ada pada BKKBN dan data kemiskinan pada BPS. Data BKKBN memiliki kecenderungan meningkat, sedangkan data BPS memiliki kecenderungan menurun. Data kemiskinan BKKBN tahun 1998 sebesar 17,17 persen dari total keluarga. Angka ini meningkat menjadi 27,99 persen (1999), 30,78 persen (2000), 30,52 persen (2001), dan mencapai 31 persen pada tahun 2002 yang merupakan data terakhir. Adapun data BPS menurun dari 24,2 persen tahun 1998, 23,5 persen (1999), 19,4 persen (2000), dan terus menurun hingga mencapai 17,92 persen tahun 2003.

Perbedaan kedua data ini tentu menimbulkan pertanyaan apa sebab perbedaan kedua data tersebut: apakah karena indikator yang berbeda, apakah ada proses pengambilan data/estimasi yang keliru, atau ada penyebab lain. Data BPS yang merupakan estimasi terlihat logis jika melihat bahwa perekonomian memang tumbuh walaupun masih rendah, selanjutnya ada penciptaan lapangan kerja baru dan inflasi bisa ditekan di bawah dua digit. Namun, jika kita mengasumsikan data BKKBN benar, berarti ada sesuatu yang keliru dengan perekonomian kita. Artinya, walaupun perekonomian tumbuh, tetapi keadaan ekonomi masyarakat tidak mengalami perbaikan, malah terus mengalami penurunan. Menilai kevalidan angka kemiskinan di sini perlu sangat hati-hati sekali.

HAL lain dari karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah sangat sensitif terhadap garis kemiskinan. Jika angka kemiskinan digeser sedikit, penduduk miskin akan berubah dalam jumlah besar. Data Bank Dunia yang disajikan dalam CGI Brief tahun 2003 menunjukkan bahwa pada tahun 2002 sebesar 7,4 persen penduduk berpendapatan sehari di bawah 1 dolar AS. Jika garis kemiskinan digeser ke atas menjadi 2 dolar AS per hari, jumlah penduduk miskin akan menjadi sebesar 53,4 persen. Di sini terlihat bahwa jika garis kemiskinan dilipatgandakan, angka kemiskinan bertambah tujuh kali lipat.

Oleh karena itu, jika harga BBM dinaikkan, perlu penyaluran dana kompensasi secara efektif. Satu permasalahan yang penulis amati adalah keterlibatan yang sangat rendah dari pihak pemerintah daerah tingkat dua. Program-program pengentasan kemiskinan dari pusat, seperti program dana kompensasi BBM, hanya dianggap sebagai program pusat. Oleh karena itu, perlu dicari cara agar program ini terintegrasi dengan program-program ekonomi dan pembangunan di daerah. Apalagi otonomi daerah mengamanatkan revitalisasi pemerintah daerah.

Dalam hal ini, untuk penyaluran dana kompensasi sebaiknya berdasarkan proposal dari setiap pemerintah daerah yang pendanaannya dari pusat. Proposal ini harus disertai target yang jelas berapa angka kemiskinan diturunkan jika mendapat sejumlah dana kompensasi. Pemerintah pusat pun harus berani memberikan target berapa angka kemiskinan turun dengan sejumlah dana kompensasi yang dibelanjakan. Dengan cara ini, kinerja pemerintah bisa dievaluasi oleh masyarakat maupun oleh DPR.

Dendi Ramdani Peneliti Laboratorium Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

* Tulisan ini merupakan Pendapat Pribadi, Tidak Mencerminkan Pendapat Lembaga Tempat Penulis Berafiliasi.


http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0503/30/opini/1652204.htm

Data Kemiskinan

Rabu, 30 Maret 2005

Data Kemiskinan dan Kemiskinan Data

Oleh Harry Seldadyo

DENGAN menganggap bahwa kenaikan harga BBM saat ini adalah fakta yang given, adakah jaminan bahwa dana kompensasi akan tepat sasaran? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan kunci karena di sinilah letak pesimisme publik yang didasarkan pada sejarah dan pengalaman kegagalan poverty targeting policy. Klaim pemerintah dan lingkaran pendukungnya bahwa pencabutan subsidi BBM mampu menurunkan angka kemiskinan perlu diuji dengan pertanyaan itu.

Tulisan Pak Mubyarto di Kompas (21/3) bisa memberi gambaran kepada kita di mana letak kegagalan eksekusi berbagai kebijakan poverty targeting pada tingkat riil. Banyak faktor yang bisa dibicarakan di sini. Namun, di antara sejumlah faktor lain, misalnya, faktor institusional dan sosiologis, tulisan ini hanya akan menyoroti satu faktor teknis, yakni kemiskinan data.

Kita memang nyaris tak punya data andalan yang bisa dipakai sebagai instrumen bagi kebijakan subsidi terfokus semacam itu. Jadi, kemiskinan data sebetulnya sudah self-explained, apakah kebijakan kompensasi BBM yang ditelurkan akan sukses atau gagal.

Apa yang kita punya?

Hingga saat ini memang kita hanya mengandalkan dua sumber data ketika kemiskinan dibicarakan: data Susenas BPS dan data Keluarga (Pra-)Sejahtera BKKBN. Betapapun kedua data ini punya limitasi tinggi, kita tak punya pilihan lain kecuali menggunakannya. Paling sedikit, statistik ini bisa menjadi "tongkat pembimbing ke arah kegelapan"-meminjam istilah Prof AH Nasution dalam pidato pengukuhan guru besarnya di IPB dulu. Jadi, masih lebih baik punya informasi- biarpun itu salah-daripada tanpa informasi sama sekali. Ini tindakan minimal.

Sayangnya, data BPS dan BKKBN tidak bisa dipakai untuk poverty targeting yang bisa melacak siapa sesungguhnya yang berhak atas dana kompensasi itu. Data BPS secara inheren dirancang untuk melihat kecenderungan umum kemiskinan yang diukur melalui suatu garis kemiskinan. Jadi, orang miskin di sini menjadi "anonim". Data ini tidak berguna untuk pengambilan kebijakan yang kental mengandung tujuan targeting. Sementara itu, data BKKBN bermasalah dalam penetapan definisi kemiskinan. Kendati data ini memiliki disagregasi yang lebih baik daripada data BPS, indikator dan metodologi yang dipakainya debatable. Akibatnya, dispute sering kali terjadi di lapangan ketika data ini dipakai untuk memisahkan kelompok miskin dan tak miskin dari target kebijakan.

Di atas itu semua, kedua sumber data ini juga memiliki limitasi kembar: mereka tak mampu menangkap karakter kemiskinan itu sendiri. Jadi, kedua data ini tidak tepat dipakai untuk menanggulangi problem kemiskinan jangka panjang. Padahal, isu kemiskinan adalah isu jangka panjang. Sejarah menunjukkan tidak ada proses instant dalam penanggulangan kemiskinan.

Data kemiskinan BPS hanyalah peta umum kemiskinan, sedangkan data BKKBN barulah kompas untuk menelusuri peta itu. Berhasilkah kita menemukan orang miskin melalui program-program targeting itu dengan alat-alat itu? Untuk program "dadakan" ala JPS kemarin, data itu mau tak mau memang menjadi peta dan kompas kita. Namun, untuk menyelesaikan kemiskinan jangka panjang, sayang sekali, tidak. Peta dan kompas barulah necessary condition-nya. Masih diperlukan sufficient condition-nya: bertanya pada si miskin. Melalui syarat terakhir ini kita akan berurusan dengan indikator lokal-indikator yang dibangun oleh dan untuk kepentingan orang miskin di tingkat mikro.

Makro vs mikro

Dua isu penting bisa kita catat dalam relasi data dan kebijakan. Pertama, data tidak melulu dipakai untuk keperluan analisis. Sebaliknya, juga tak elok membuat kebijakan tanpa data. Melalui data, kita bisa melakukan mainstreaming isu kemiskinan dalam lingkaran kebijakan.

Kedua, pertautan antara analisis dan kebijakan targeting haruslah di tingkat lokal dan mikro. Patut dicatat, karakter kemiskinan dahulu jauh berbeda dibandingkan dengan sekarang. Pada zaman Pelita I, kalau kita mendistribusikan beras murah secara "random" kepada 10 orang, kita tak perlu khawatir "salah sasaran" karena tujuh di antaranya adalah orang miskin. Jadi, probabilitas "tepat-sasaran"-nya cukup tinggi walaupun waktu itu kita miskin data.

Sekarang ini situasinya terbalik. Tanpa data andal di tangan, distribusi beras yang anonim hanya akan memakmurkan tujuh orang yang bukan miskin karena probabilitas untuk menemukan si miskin makin rendah. Artinya, tanpa disagregasi yang andal, kita tak bisa mengenal orang miskin.

Bergerak dengan dua isu di atas, kita bisa mencatat hal penting yang harus ada di jantung setiap analis dan pengambil kebijakan: rasa lapar, kurang gizi, dan tak mampu menyekolahkan adalah persoalan hidup nyata bagi si miskin; bukan soal angka tanpa jiwa. Data mengenai orang miskin harus menjadi identitas si miskin itu sendiri, bukan data yang "anonim". Dengan catatan ini, kita membutuhkan informasi sangat terperinci supaya program antikemiskinan betul-betul efektif.

Duduk soalnya kemudian ialah pada level mana data, analisis, dan kebijakan harus dilakukan? Jawabannya adalah micro level. Di sini jelas peran pemerintah daerah (pemda) menjadi krusial karena pemda yang (seharusnya) mengenal karakter warga, tipologi okupasi, geografi- kultural, dan sebagainya. Ini asumsi penting yang harus diletakkan dulu; karena jika tidak, bukan pemda lagi namanya-itu nature "orang pusat", cuma tahu hutan, tapi tak kenal pohon.

Micro level berimplikasi pada upaya mendekatkan jarak antara jantung persoalan dan jantung pengambilan kebijakan. Sering sekali terjadi, jarak antara kedua jantung ini terlalu jauh dan butuh waktu tempuh panjang hingga keduanya berinteraksi. Akibatnya, kebijakan memiliki potensi bias yang besar, selain juga kehilangan timing-nya.

Micro level juga berarti data, interpretasi, dan penetapan kebijakan digagas oleh mereka yang berada di level lokal, yakni si miskin itu sendiri dan pemegang otoritas kebijakan. Tugas si miskin adalah menceritakan persoalan kemiskinannya. Tugas si analis adalah merekamnya menjadi data yang sistematis dan andal. Tugas penentu kebijakan adalah menggunakan kewenangannya untuk menyelesaikan persoalan. Ketiganya mendialogkan cara- cara penyelesaian, menjalankan, serta memantau hasilnya dengan indikator yang ditetapkan bersama.

Ruang ini sangat terbatas untuk mendiskusikan lebih teknis bentuk sistem data yang bisa dirancang untuk menampung gagasan di atas. Namun, inti dari semua itu adalah kebutuhan data bagi kebijakan poverty targeting hanya bisa dipenuhi oleh, dari, dan untuk tingkat lokal. Saatnya kita bergerak dari pesimisme makro ke optimisme mikro karena persoalan kemiskinan dewasa ini bukanlah soal di level makro, tetapi mikro.

Harry Seldadyo Mahasiswa PhD Program Ekonomi-Politik di Rijkuniversiteit Groningen, Belanda

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0503/30/opini/1653469.htm

Wednesday, March 02, 2005

Tulisan Taufik Ismail

Mungkin Sekali Saya Sendiri Juga Maling

[tulisan akhir tahun Media Indonesia]

Oleh Taufiq Ismail, dikirim kosmopolitan


Kita hampir paripurna menjadi bangsa porak-poranda, terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara di dunia. Penganggur 40 juta orang, anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta murid, pecandu narkoba 6 juta anak muda, pengungsi perang saudara 1 juta orang, VCD koitus beredar 20 juta keping, kriminalitas merebat di setiap tikungan jalan dan beban hutang di bahu 1600 trilyun rupiahnya.

Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol di ruang tamu Kantor Pegadaian Jagat Raya, dan di punggung kita dicap sablon besar-besar Tahanan IMF dan Penunggak Bank Dunia. Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu, menjual tenaga dengan upah paling murah sejagat raya.

Ketika TKW-TKI itu pergi lihatlah mereka bersukacita antri penuh harapan dan angan-angan di pelabuhan dan bandara, ketika pulang lihat mereka berdukacita karena majikan mungkir tidak membayar gaji, banyak yang disiksa malah diperkosa dan pada jam pertama mendarat di negeri sendiri diperas pula.

Negeri kita tidak merdeka lagi, kita sudah jadi negeri jajahan kembali. Selamat datang dalam zaman kolonialisme baru, saudaraku. Dulu penjajah kita satu negara, kini penjajah multi-kolonialis banyak bangsa. Mereka berdasi sutra, ramah-tamah luarbiasa dan banyak senyumnya. Makin banyak kita meminjam uang, makin gembira karena leher kita makin mudah dipatahkannya.

Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali. Berbagai format perindustrian, sangat menjanjikan, begitu laporan penelitian. Nomor satu paling wahid, sangat tinggi dalam evaluasi, dari depannya penuh janji, adalah industri korupsi.

Apalagi di negeri kita lama sudah tidak jelas batas halal dan haram, ibarat membentang benang hitam di hutan kelam jam satu malam.

Bergerak ke kiri ketabrak copet, bergerak ke kanan kesenggol jambret, jalan di depan dikuasai maling, jalan di belakang penuh tukang peras, yang di atas tukang tindas. Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia, sudah untung.

Lihatlah para maling itu kini mencuri secara berjamaah. Mereka bershaf-shaf berdiri rapat, teratur berdisiplin dan betapa khusyu'. Begitu rapatnya mereka berdiri susah engkau menembusnya. Begitu sistematiknya prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya. Begitu khusyu'nya, engkau kira mereka beribadah. Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada maling yang istiqamah?

Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya, membentang dari depan sampai ke belakang, melimpah dari atas sampai ke bawah, tambah merambah panjang deretan shaf jamaah. Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan lintas jenis kelamin.

Bagaimana melawan maling yang mencuri secara berjamaah? Bagaimana menangkap maling yang prosedur pencuriannya malah dilindungi dari atas sampai ke bawah? Dan yang melindungi mereka, ternyata, bagian juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah.

Bagaimana ini?

Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi MOU dan MUO (Mark Up Operation), tangan kanannya membuat yayasan beasiswa, asrama yatim piatu dan sekolahan.

Kaki kiri jamaah ini mengais-ngais upeti ke sana ke mari, kaki kanannya bersedekah, pergi umrah dan naik haji.

Otak kirinya merancang prosentasi komisi dan pemotongan anggaran, otak kanannya berzakat harta, bertaubat nasuha dan memohon ampunan Tuhan.

Bagaimana caranya melawan maling begini yang mencuri secara berjamaah? Jamaahnya kukuh seperti dinding keraton, tak mempan dihantam gempa dan banjir bandang, malahan mereka juru tafsir peraturan dan merancang undang-undang, penegak hukum sekaligus penggoyang hukum, berfungsi bergantian.

Bagaimana caranya memroses hukum maling-maling yang jumlahnya ratusan ribu, barangkali sekitar satu juta orang ini, cukup jadi sebuah negara mini, meliputi mereka yang pegang kendali perintah, eksekutif, legislatif, yudikatif dan dunia bisnis, yang pegang pistol dan mengendalikan meriam, yang berjas dan berdasi. Bagaimana caranya?

Mau diperiksa dan diusut secara hukum? Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan? Mau didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman? Hakim dan jaksa yang bersih dari penyuapan? Percuma Seratus tahun pengadilan, setiap hari 8 jam dijadwalkan tak akan terselesaikan.

Jadi, saudaraku, bagaimana caranya? Bagaimana caranya supaya mereka mau dibujuk, dibujuk, dibujuk agar bersedia mengembalikan jarahan yang berpuluh tahun dan turun-temurun sudah mereka kumpulkan. Kita doakan Allah membuka hati mereka , terutama karena terbanyak dari mereka orang yang shalat juga, orang yang berpuasa juga, orang yang berhaji juga. Kita bujuk baik-baik dan kita doakan mereka.

Celakanya, jika di antara jamaah maling itu ada keluarga kita, ada hubungan darah atau teman sekolah, maka kita cenderung tutup mata, tak sampai hati menegurnya.

Celakanya, bila di antara jamaah maling itu ada orang partai kita, orang seagama atau sedaerah, kita cenderung menutup-nutupi fakta, lalu dimakruh-makruhkan dan diam-diam berharap semoga kita mendapatkan cipratan harta tanpa ketahuan.

Maling-maling ini adalah kawanan anai-anai dan rayap sejati. Dan lihat kini jendela dan pintu rumah Indonesia dimakan rayap. Kayu kosen, tiang, kasau, jeriau rumah Indonesia dimakan anai-anai. Dinding dan langit-langit, lantai rumah Indonesia digerogoti rayap. Tempat tidur dan lemari, meja kursi dan sofa, televisi rumah Indonesia dijarah anai-anai. Pagar pekarangan, bahkan fondasi dan atap rumah Indonesia sudah mulai habis dikunyah-kunyah rayap. Rumah Indonesia menunggu waktu, masa rubuhnya yang sempurna.

Aku berdiri di pekarangan, terpana menyaksikannya. Tiba-tiba datang serombongan anak muda dari kampung sekitar. "Ini dia rayapnya! Ini dia Anai-anainya!" teriak mereka. "Bukan. Saya bukan Rayap, bukan!" bantahku.

Mereka berteriak terus dan mendekatiku dengan sikap mengancam. Aku melarikan diri kencang-kencang. Mereka mengejar lebih kencang lagi. Mereka menangkapku. "Ambil bensin!" teriak seseorang. "Bakar Rayap," teriak mereka bersama. Bensin berserakan dituangkan ke kepala dan badanku. Seseorang memantik korek api. Aku dibakar. Bau kawanan rayap hangus. Membubung ke udara.

Iklan Layanan Pemerintah

Rabu, 02 Maret 2005

Menyoal "Iklan Layanan Pemerintah"

Oleh Abd Rohim Ghazali

IKLAN satu halaman penuh Freedom Institute, Center for Democracy, Nationalism, and Market Economy Studies, "Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM?" (Kompas, 26/2) menarik didiskusikan lebih lanjut. Alasannya, kalkulasi ekonomi yang dipaparkan sebagai materi iklan meski tampak amat rasional, belum tentu sesuai dengan realitas yang dibutuhkan masyarakat. Sepertinya masuk akal, tetapi dapat membawa akibat yang menyesatkan.

Idealnya, rasionalitas sejalan dengan kebutuhan masyarakat sehingga setiap problem yang dihadapi masyarakat bisa dikalkulasi dan dicari jalan keluarnya. Kenyataannya, problem yang dihadapi masyarakat selalu kompleks dan sulit bisa dipahami secara linear. Oleh karena itu, ketidaksesuaian antara rasionalitas dan kebutuhan masyarakat menjadi hal biasa. Jika yang rasional sejalan dengan realitas, tentu tak ada kritik terhadap paradigma Newtonian-Cartesian. Itu yang pertama.

Kedua, data hasil kajian LPEM-FEUI tentang dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia-yang disertakan untuk "membunyikan" materi iklan-amat potensial menipu khalayak. Pada faktanya, naik turunnya jumlah penduduk miskin di suatu negara, tak selalu terkait kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, apalagi hanya satu sektor (misalnya subsidi BBM). Menurut kajian Amartya Sen, ekonom asal India peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1998, grafik kesejahteraan (pertumbuhan ekonomi) justru terkait tinggi rendahnya kebebasan politik yang dinikmati rakyat dalam suatu negara. Menurut Sen, banyak kalangan salah paham mengenai kemiskinan, miskin hanya dipahami sebatas lack of income (kekurangan pendapatan). Padahal, kurangnya pendapatan hanya konsekuensi dari kurangnya kemampuan (lack of capability) dan kurangnya kesempatan (lack of opportunity). Seseorang menjadi miskin, menurut Sen, terutama karena kemampuan pada dirinya tak diberi ruang untuk diaktualisasikan. Pandangan Sen ini bukan hanya didasarkan hasil kajian di ruang akademis, tetapi studi empiris.

Ketiga, dalam iklan disebutkan, pengurangan subsidi BBM akan dikompensasikan untuk beasiswa pendidikan, perbaikan sarana kesehatan, dan bantuan beras murah. Ada kesan, beasiswa pendidikan, perbaikan sarana kesehatan, dan bantuan beras murah hanya bisa dilakukan dengan baik jika pemerintah mengurangi subsidi BBM. Padahal, kenyataan tidak demikian, karena semua itu adalah tugas pemerintah. Ada-tidaknya pengurangan subsidi BBM adalah kewajiban pemerintah menolong rakyatnya. Dan dalam melaksanakan kewajiban ini, perlu dicari cara yang kreatif tanpa harus menyakiti hati rakyat. Benarkah menaikkan harga BBM ibarat menelan pil yang terasa pahit tetapi menyembuhkan?

SELAIN ketiga hal itu, pencantuman sejumlah cendekiawan dan tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM)-antara lain Franz Magnis-Suseno, Goenawan Mohamad, Todung Mulya Lubis, Hamid Basyaib, dan Ulil Abshar-Abdalla-akan merugikan kredibilitas cendekiawan umumnya. Kalaupun yang disampaikan dalam iklan itu benar, apakah perlu mencantumkan nama cendekiawan sebagai penguat. Apalagi jika secara substantif isinya belum tentu benar.

Kita menginginkan cendekiawan dan LSM senantiasa menyuarakan kepentingan rakyat, meski kita yakin apa yang menjadi kepentingan rakyat-sebagaimana kepentingan pemerintah dan pemilik modal-belum tentu benar. Karena itu, kita bisa memahami dan tidak keberatan (malah senang) saat sejumlah cendekiawan dan LSM tercantum namanya dalam iklan layanan masyarakat.

Contoh, dalam kasus pertikaian antara Tempo versus Tommy Winata, kita senang saat banyak (aktivis) LSM dan cendekiawan yang membela Tempo meski belum tentu Tempo ada di pihak yang benar. Dalam hal ini, yang mereka bela bukan Tempo sebagai institusi, tetapi media yang bisa menyalurkan aspirasi masyarakat. Maka, ketika sejumlah cendekiawan dan aktivis LSM tercantum namanya dalam-meminjam istilah Farid Gaban-"iklan layanan pemerintah", tentu akan memunculkan kembali perdebatan klasik mengenai makna "pengkhianatan kaum intelektual".

Selain itu, pencantuman nama sejumlah cendekiawan pada "iklan layanan pemerintah" telah menjerumuskan mereka pada kerancuan berpikir yang disebut pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat (1999) sebagai argumentum ad verecundian. Yakni berargumen dengan menggunakan otoritas, meski otoritas itu tidak relevan atau ambigu.

Mereka yang tercantum dalam iklan itu mempunyai otoritas tinggi (meski tidak semuanya) dalam bidang ilmu dan keahlian masing-masing: ada ahli filsafat, ahli hukum, pakar politik, pakar agama, dan lain-lain. Tetapi apa relevansi pencantuman nama mereka untuk iklan yang mendukung pengurangan subsidi BBM yang berarti legitimasi bagi keabsahan kenaikan harga BBM?

Memang, bisa saja diajukan argumen bahwa persoalan pengurangan subsidi BBM tidak hanya terkait masalah ekonomi, tetapi terkait hajat hidup orang banyak. Karena dampak dari kebijakan pengurangan subsidi BBM itu menyentuh beragam kebutuhan masyarakat, maka para ahli di bidang filsafat, hukum, politik, dan kebudayaan ikut mendukungnya.

Jika demikian, berarti iklan itu telah menjebak mereka pada kesalahan berpikir yang lain, yakni fallacy of misplaced concretness (upaya mengonkretkan sesuatu yang pada dasarnya abstrak), dan fallacy of dramatic instance (penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat umum).

SEJAK iklan pengurangan subsidi BBM muncul di media, banyak kalangan mengkritiknya sebagai penyesatan opini publik. Karena dianggap menyesatkan, Departemen Komunikasi dan Informatika-yang menyampaikan iklan itu-dikecam keras dan menjadi sasaran demonstrasi aktivis mahasiswa. Tak hanya di ranah publik, di parlemen yang eksklusif pun kebijakan pengurangan subsidi BBM menyulut perdebatan. Beberapa anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) bahkan akan menggalang dukungan untuk mengajukan hak angket kepada pemerintah.

Sementara itu, sejak Desember 2004, harga-harga kebutuhan pokok beranjak naik, mulai 4 persen hingga 60 persen (Tempo Interaktif, 7/12/2004 dan 26/2/2005). Meski kenaikan harga itu tak selalu berkaitan dengan pengurangan subsidi BBM, namun kenaikan harga BBM sudah pasti akan berdampak langsung pada kenaikan harga bahan pokok dan tarif angkutan umum, dua hal yang menjadi kebutuhan sehari-hari rakyat di negeri ini.

Artinya, pengurangan subsidi BBM pasti akan semakin menyulitkan rakyat. Sementara kompensasinya (beasiswa pendidikan, perbaikan sarana kesehatan, dan bantuan beras murah) belum tentu bisa diwujudkan dengan benar. Karena itu, pemerintah harus kerja keras agar kompensasi kenaikan harga BBM tak sekadar menjadi angin surga di telinga rakyat. Masih banyaknya koruptor dan pejabat bermoral bejat di negeri ini, bukan tidak mungkin, akan menjadikan dana kompensasi sebagai lahan korupsi.

Abd Rohim Ghazali Direktur Eksekutif MAARIF Institute; Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah

sumber :

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0503/02/opini/1594199.htm

Kata : Sri Mulyani

Rabu, 02 Maret 2005

Sri Mulyani: Program Kompensasi BBM Banyak Kerawanan

SETELAH kenaikkan harga bahan bakar minyak rata-rata 29 persen, selain aksi protes di mana-mana, sorotan keras juga tertuju pada program kompensasi untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM. Program itu diragukan efektivitasnya dapat sesuai tujuan, bahkan dinilai rawan korupsi.

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati, kepada Kompas, Selasa (1/3) di ruang kerjanya, mengatakan, sangat mengerti jika banyak orang skeptis terhadap program ini.

"Yang paling sulit memang, mengelola ekspektasi orang, sebab ekspektasinya kan pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Pasti ada yang kecewa," katanya.

Akan tetapi, dia mengakui, langkah ini ibarat biji-biji awal yang ditanamkan pemerintah. Nanti akan diamankan (secure) dalam anggaran tahun 2006. "Jadi, bukan hangat-hangat tahi ayam, supaya orang tidak marah karena adanya kenaikan harga BBM. Jadi ada alasan untuk terus meningkatkan alokasi dana pendidikan, terutama bagi orang miskin," katanya.

Program ini juga juga diakuinya tidak sempurna. Harus sempurna 100 persen terlalu naif juga. Tetapi, kalau kita jujur dan waspada, desain program ini mungkin masih akan sangat rawan terhadap berbagai kemungkinan tingkah laku dari para pelaksananya.

Paling penting, kata dia, pemerintah menjelaskan secara jujur program ini. Siapa yang menjadi sasaran, arahnya, target yang akan dituju, mekanismenya, dan penyalurannya, uang jatuh bagaimana, sehingga targetnya mendapatkan apa.

"Memang ada masalah politik. Ada Parpol yang sudah menggariskan, pokoknya menolak kebijakan ini. Tidak peduli sebagus apa pun argumen kamu.

Bagaimana mekanisme menentukan orang, menyalurkan kepada orang yang bersangkutan dan mengawasinya?

Menentukan orang miskin dari statistik terbaru dan komprehensif, Susenas Badan Pusat Statistik (BPS) 2004. Itu berdasarkan data sampel, dimodelkan, bikin estimasi.

Dengan pemodelan itu, mereka bisa memperkirakan jumlah orang miskin di provinsi dan kabupaten secara akurat, tetapi tidak bisa menentukan siapa orang itu, dan tinggal di mana.

Untuk mengetahui siapa orangnya, pemerintah mengombinasikan dengan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN). Data BKKBN dibuat bidang desa dan petugas KB. Mereka adalah orang yang langsung berhubungan dengan penduduk desa, sehingga punya daftar orang miskin dan tahun kondisi kesejahteraan.

Jadi setiap kali bicara target, kita punya ide bahwa dari seluruh populasi 216 juta penduduk Indonesia, ada 36 juta orang miskin. Kalau kita mau menjadikan orang itu sebagai target, apa konsep kita? Pengentasan kemiskinan yang disebut program partisipatif.

Dulu juga ada program pengentasan kemiskinan?

Strategi nasional pengentasan kemiskinan pada era Pak Kwik Kian Gie (mantan Menneg PPN/Kepola Bappenas) dua tahun lalu sudah. Ada lingkaran setan yang harus dipotong, yaitu pendidikan, kesehatan sanitasi, infrastruktur, kesempatan kerja, modal, tidak pernah berpartisipasi, dan juga dari rasa aman.

Tetapi uang kita cuma pas-pasan. Dari simulasi anggaran, dengan kenaikan harga BBM 29 persen, kita bisa mendapatkan uang Rp 20 triliun. Itu bisa dialokasikan, tidak lagi untuk BBM, tetapi aktivitas lain. Sementara yang Rp 10,5 triliun untuk kompensasi BBM, sekitar Rp 7 triliun untuk mengurangi defisit dan sisanya untuk Aceh.

Nah yang Rp 10,5 triliun kita desain untuk tambahan anggaran dari program yang sudah ada, untuk makin mempercepat atau memperkuat usaha mengurangi kemiskinan. Selain konsep ini yang sudah dibuat, juga menjalankan program tahun 2003 yang sudah diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Daripada susah-susah kasih kepada 9 juta orang miskin, kenapa tidak semuanya orang miskin saja? Kalau mau seluruh sekolah gratis, biayanya Rp 50 triliun. Kita tidak punya duit sebanyak itu.

Akhirnya pemerintah berpikir, tidak semua orang tua siswa tidak mampu. Kita kasih yang paling miskin saja. Juga kepada siswa yang selalu terancam putus sekolah karena tidak mampu beli buku, bayar transpor. Orang yang putus sekolah. Mereka yang sudah usia sekolah, tetapi belum mampu sekolah.

Kita hitung, dapatnya Rp 9,69 juta murid, dari jenjang SD/Madrasah Ibtidaiyah 6,4 juta murid, SMP/Madrasah Tsanawityah 2,353 murid. Angka ini sudah diaudit BPKP dan programnya 90 persen berhasil.

Metodenya bagaimana?

Pihak sekolah bersama persatuan orang tua murid memilih murid yang tidak mampu orang tuanya. Kepala sekolah sampaikan ke bupati, bupati ke provinsi. Pusat memberikan plafon atas data yang dikumpul. Jadi ada kemungkinan anak miskin tercoret karena ada pembatasan alokasi dana. (Contoh mekanisme untuk program pendidikan dan kesehatan, lihat ilustrasi)

Titik rawan di mana? Apakah orang tua subyektif menentukan nama siswa yang bisa dibantu. Pernah kejadian orang mampu dapat beasiswa itu. Di tingkat sekolah, di bawah tingkat bupati, bisa juga di luar daftar itu. Di tingkat provinsi lagi, bisa juga ganti nama.

Jadi implementasinya dari pemerintah, daerah bekerja sama dengan orang tua murid, adalah titik yang akan kita anggap kelemahan atau kekuatan. Tergantung dari mana kita memandang. Kekuatan kalau melibatkan orang-orang yang dapat diandalkan, kalau bisa menentukan secara objektif.

Tetapi bisa jadi kelemahan kalau ada aroma kolusi. Karena jumlahnya relatif besar, Rp 25.000 per bulan untuk setiap anak SD, Rp 65.000 per bulan untuk SMP, dan Rp 120.000 untuk SMA.
Karena itu, kita meletakkan juga di dalam desain itu, sistem monitoring dan evaluasi.

Siapa monitoring?

Pemerintah daerah, provinsi sudah diminta untuk merekrut tim monitoring. Sesuai pengalaman sebelumnya, kerja sama dengan 30 universitas tahun 2003 cukup efektif. LSM, gubernur, bupati, DPR, DPRD, semua terbuka untuk pengawasan itu.

Tetapi dalam sektor pendidikan, dari sisi penyaluran, tidak mungkin bocor, karena dana langsung masuk ke rekening. Salah target mungkin. Jadi kalau dilihat titik lemah, pada penentuan sasaran dan seleksi, sampai mendapat 9,6 juta orang itu.

Ada juga kerawanan yang lain. Misalnya mencari siswa yang sudah putus sekolah. Siapa yang mampu mengambil orang yang sudah di luar. Tim Departemen Pendidikan punya data dan Departemen Agama, untuk identenfikasi di mana orang itu. Provinsi mengalokasi jumlah beasiswa, untuk berapa orang yang masuk daftar penerima. Di titik itu, kita dengan senang hati untuk dimonitoring. Termasuk BPKP sudah dialokasikan dana untuk mengaudit hal itu.

Tetapi saya secara pribadi melihat pendidikan kurang rawan penyelewengan. Persatuan orang tua pasti tidak tega. Yang akan muncul dalam berita, pasti ada anak miskin yang tidak masuk daftar penerima beasiswa, karena memang tidak mungkin seluruhnya dapat. Jadi di antara 9,6 juta, bukan semua populasi orang miskin, pasti ada masyarakat miskin di luar daftar.

Kesehatan bagaimana?

Ini agak lain. Konsepnya masyarakat miskin yang jumlahnya 36 juta, menurut data Suspenas, bisa mendapatkan pelayanan gratis, baik rawat jalan, baik di puskesmas atau rumah sakit atau rawat inap. Di puskesmas atau di rumah sakit.

Jumlah 36,14 juta jiwa masyarakat miskin kan data makro BPS. Mereka hanya tahu provinsi ini punya orang miskin sekian juta orang. Kabupaten bisa diestimasi sensus pakai pemodelan. Dia memetakan tetapi dia tidak tahu benar jumlahnya dan di mana orangnya.

Jadi paling sulit mengindentifikasi yang 36 juta. Kita hanya bisa nenetukan plafon (dananya), provinsi dapat berapa. Jadi setiap 36 juta dikalikan Rp 5.000 premi asuransi dikalikan 12 bulan.
Penduduk miskin ini yang kita dapatkan, kemudian dijumlahkan, kalau ada perbedaan menurut BPS dan lapangan, kan harus ada rekonsiliasi data. Jadi titik rawan kemungkinan rekonsiliasi itu.

Lainnya, kalau mau dapat pengobatan gratis, pasti jumlah orang yang mau mendapatkan kartu miskin jauh lebih besar dari plafon yang pemerintah tentukan. Kalau mengatakan dapat kartu mesti sogok, itu sangat mungkin terjadi. Jadi kita sangat berharap, gubernur dan bupati membuat mekanisme yang tepat. Mereka yang lebih tahu daerahnya.

Mekanisme kartu sekarang adalah, pembuatan dan distribusi dilakukan secara bertahap. Diperkirakan rakyat akan mendapat kartu pada akhir tahun 2005. Kartunya dikeluarkan Askes, Dinas Kesehatan yang dapat menjangkau desa terpencil.

Siapa yang pro aktif?

Departemen Kesehatan dan PT Askes, karena mereka yang dapat anggaran. Mereka kan selama ini menawarkan, jadi departemen kesehatan melalui jaringannya, termasuk Askes.

Bagaimana orang yang tidak punya identitas?

Tidak bisa di-cover. Sebetulnya pemerintah pusat akan sangat senang dengan inisiatif daerah yang memiliki APBD sehat, menggabungkan dengan program inisiatif mereka untuk menguatkan program ini. Itu yang akan kita coba lakukan dengan tim kerja.

Bagaimana tahun berikutnya?

Seperti beasiswa dan kesehatan. Sekali mereka masuk dalam daftar sembilan juta ini, berarti siswa miskin masuk dalam budget, dia diamankan sampai lulus. Ini mendisiplinkan budget kita juga untuk terus berkomitmen terhadap sektor pendidikan. Ini sejalan jumlah budget memang makin diarahkan ke situ. Jadi mengharapkan tingkat kesuksesan yang tinggi, akan terasa dua tahun lagi. Dua bulan masih akan ribut kartu miskin.

Jadi pengucuran dana akhir 2005?

Sekarang ini, ya budget APBN 2005 sudah ada dana Rp 7 triliun untuk kemiskinan, kesehatan. Tetapi ini tidak terserap sekarang. Jadi Menteri Keuangan bilang, saya mau pakai uang ini. Nanti kalau kenaikan subsidi disetujui angka yang Rp 10,5 triliun keluar juga. Jadi sekarang sampai dengan perubahan APBN pertengahan tahun, bisa talangi yang Rp 7 triliun itu.

Itu yang kita gunakan sekarang, apakah program dimulai sekarang, ya sekarang. Tapi kemungkinan ada anggaran yang tidak terserap sampai akhir tahun. (BOY/DIS)
sumber:

Tuesday, March 01, 2005

BBM dan Iklan

Selasa, 01 Maret 2005

BBM dan Iklan Freedom Institute

Oleh Agus Surono

HARI Sabtu (26/2/2005) Freedom Institute mengiklankan diri untuk mendukung pengurangan subsidi disertai sinopsis alasan. Pada kolom bawah tertera nama-nama para pendukung. Ada Andi Mallarangeng (Juru Bicara Presiden), Rizal Mallarangeng (Freedom Institute), M Chatib Basri, M Sadli (ekonom UI), Todung Mulya Lubis (pengacara), Goenawan Mohamad (budayawan), dan lain-lain.

Melihat nama-nama yang ada menunjukkan mereka adalah orang-orang yang memiliki kredibilitas dan integritas.

Ada yang menarik dari iklan dukungan pengurangan subsidi BBM itu. Baru kali ini dalam sejarah BBM mendapatkan dukungan intelektual dan aktivis LSM. Hal ini tidak pernah terjadi dalam sejarah Orde Baru, zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, maupun Megawati.

Dalam sejarah Orde Baru kalangan intelektual justru kritis dan ada dalam posisi out sider dan tokoh LSM tidak berkutik, tetapi peran intelektual tetap mendominasi. Mafia Berkley menjadi contoh paling sahih.

Dalam tiga pemerintahan terakhir pascareformasi, masalah BBM tetap menjadi persoalan yang dilematis. Vis a vis tuntutan neoliberal dengan kenestapaan rakyat sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Dalam konteks Orde Baru intelektual yang masuk birokrasi kekuasaan cenderung terkooptasi. Tugasnya hanya menjadi tukang stempel atau mensahkan program-program kekuasaan. Contoh paling nyata adalah dikenalkannya model developmentalism sebagai model untuk mengonstruksi perkembangan negara, juga model yang akhirnya sekadar mengakumulasi kebangkrutan negara, model pembangunan yang sebenarnya diadaptasi tanpa dasar filosofi yang jelas. Dan seolah tidak mau tahu jika paham pembanguannisme sebenarnya hanya upaya Amerika Serikat dalam memenangkan perang dingin dan melokalisasi meluasnya sosialis-komunis versi Soviet.

Plus minus iklan itu

Apa yang dilakukan Freedom Institute dengan iklan itu dapat dipahami sebagai civic education bagi kita. Bahwa subsidi pada gilirannya harus dikurangi dan kalau mungkin dihapus karena dalam jangka waktu tertentu subsidi yang terus-menerus akan memberatkan negara. Dengan demikian, beban utang negara pun akan bertambah. Ini hanya akan mewariskan utang pada generasi berikut. Belum lagi subsidi yang selama ini ada ternyata banyak salah sasaran. Ini merupakan sebuah logika ekonomi yang bisa dipahami bersama.

Namun, apakah logika seperti itu paralel dengan problem keseharian masyarakat? Ini merupakan pertanyaan yang tidak sekadar perlu dijawab dengan kalkulasi statistik-kuantitatif yang cenderung menyederhanakan realitas seperti iklan Freedom Institute itu. Realitas menunjukkan, rencana kenaikan BBM masih menimbulkan pro dan kontra. Terlalu tergesa-gesa jika kemudian lembaga, orang perseorangan melakukan release publik yang bertujuan menyatakan afirmasinya.

Dengan demikian, apa yang dilakukan Freedom Institute dengan iklannya itu dapat dimaknai sebagai bentuk peneguhan, dukungan, bahkan bisa dimaknai sebagai pressure/intimidasi atau provokasi bagi publik.

Publik kritis dipastikan akan bertanya-tanya ada apa dengan para intelektual dan tokoh LSM yang secara vulgar mengiklankan diri mendukung pengurangan subsidi BBM. Terlebih iklan ini dilakukan atas Nama Freedom Institute yang notabene merupakan lembaga yang secara penuh didanai oleh Aburizal Bakrie yang juga Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu. Bukan bermaksud berprasangka yang berlebihan terhadap apa yang dilakukan Freedom Institute, tetapi tetap saja akan menimbulkan spekulasi bahkan stigmatisasi bahwa iklan yang dimuat satu halaman penuh itu sekadar pesanan dari penyandang dana.

Dengan demikian, jika kemudian iklan itu memunculkan kesan bahwa apa yang dilakukan sekelompok intelektual dan aktivis LSM ini adalah sekumpulan orang yang dengan sadar menjadi "juru bicara" pemerintahan sekarang, bisa menjadi sesuatu yang masuk akal.

Terlebih apa yang dijanjikan dengan pendidikan gratis dan pengobatan murah sebagai kompensasi atas dihapuskannya subsidi juga akan berjalan efektif. Apakah karena ketidaktepatan subsidi yang selama ini terjadi dengan serta-merta dapat dijadikan alasan untuk kemudian menghapus subsidi, sesuatu yang pasti masih mengundang kontroversi. Mengapa justru mereka tidak melihat di mana ketidaktepatan bantuan subsidi itu? Hal ini mengindikasikan jalan pintas dalam memahami persoalan.

Keberpihakan intelektual

Iklan Freedom Institute itu mengajak pada perdebatan tentang peran intelektual dan keperpihakannya. Menyitir teori Gramsci dengan Intelektual Organik, apa yang ada pada iklan beserta pendukungnya itu telah mencederai amanat rakyat. Dengan dalih dan dalil ekonomi membuat justifikasi pengurangan subsidi BBM sebagai sesuatu yang wajar.

Aroma perselingkuhan beberapa intelektual dan aktivis LSM menjadi amat kentara. Kerja sama antara intelektual dan tokoh LSM memang tidak dilarang. Tetapi kerja sama itu seyogianya tidak mematikan nalar kritis dan naluri kemanusiaan.

Sekiranya iklan itu juga dapat memotret peran intelektual dan tokoh LSM, akan diperoleh keterangan sebagai berikut. Pertama, adanya keterjarakan antara aktivitas intelektual dan kesenyataan persoalan masyarakat bawah.

Kedua, mungkin begitulah potret sebagian intelektual/aktivis LSM yang tidak kuasa menghadapi kekuasaan. Sebagaimana ditengarai Heru Nugroho dalam sebuah diskusi yang diberitakan Kompas beberapa hari lalu, LSM Indonesia jika tetap mempertahankan idealisme perjuangannya akan miskin karena tidak ada proyek

Ketiga, menunjukkan begitu kuatnya arus neoliberal dalam tokoh-tokoh pendukung maklumat itu, menjadi amat ironis bagaimana gelombang neoliberal yang terus-menerus dikoreksi dan dipertanyakan keadilannya oleh negara dunia ketiga justru mendapatkan tempatnya di sini. Jangan-jangan hal ini hanya karena merasa berutang budi saja.

Sebenarnya amat disayangkan apa yang dilakukan oleh iklan beserta para pendukungnya itu. Karena hal ini bisa dibaca sebagai bentuk penelingkungan proses demokrasi. Publik seolah didikte sekelompok orang yang memiliki akses media. Peran media telah dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan, satu hal yang semestinya diharamkan dalam era demokrasi.

Agus Surono Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Tinggal di Malang

sumber :

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0503/01/opini/1588138.htm

Mengadili Korupsi : Sulit

Selasa, 01 Maret 2005
Mengadili Korupsi Mengapa Dipersulit?
Oleh Satjipto Rahardjo

JUDUL tulisan ini seharusnya lebih panjang, "Mengapa di Negara Hukum Ini Mengadili Orang yang Diduga Korupsi Dipersulit?" Pertanyaan itu coba mencerminkan kerisauan "publik" dalam menghadapi silang sengketa pendapat di antara orang-orang hukum tentang boleh tidaknya digunakan asas retroaktif untuk mengadili koruptor di pengadilan.

Sebagian orang hukum bisa saja menjawab bahwa itu bukan mempersulit, tetapi aturan dan asas hukumnya demikian. Apa pun alasannya, kenyataannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa menjamah korupsi yang dilakukan pada masa tertentu.

Sudah makin serak suara bangsa ini meneriakkan pemberantasan korupsi. Tetapi akan datang alasan, mengapa macam-macam alasan diajukan dengan efek "menjegal pemberantasan korupsi"? Buat apa dibuat UU Anti-Korupsi yang berkali-kali disempurnakan, buat apa dibuat KPK, jika harus berakhir seperti ini?

KITA ingin menjadi bangsa beradab. Baik. Kita tidak ingin sembarangan memberantas korupsi. Baik. Kita melawan korupsi dengan hukum. Baik. Korupsi menjadi sulit diberantas. Ini tidak baik.

Bahwa Indonesia adalah negara hukum adalah satu hal, sedang menjadikannya negara yang hidup, bersemangat melindungi rakyat, memajukan kesejahteraan rakyat, adalah hal berbeda. Untuk mencapai cita-cita itu, teks UUD saja tidak banyak berguna. Yang lebih diperlukan adalah aksi-aksi progresif guna membuat janji-janji UUD menjadi kenyataan.

Mahkamah Konstitusi (MK) akan menjaga UUD. Bagus. Tetapi, tugas dan pekerjaan menjaga konstitusi menjadi tidak bagus jika tidak diresapi semangat menjadikannya sebagai living constitution. Living di sini berarti penuh semangat dan kegairahan, bervisi ke depan bagaimana membawa bangsa menuju kesejahteraan dan kebahagiaan.

Kepada siapa UUD akan kita percayakan sehingga menjadi dokumen yang hidup, bukan sekadar black-letter constitution? Seluruh bangsa tidak mungkin bersama-sama mengemudikan kapal negara hukum. Hanya ada sekelompok kecil, seperti presiden, pemimpin politik, dan MK. Keadaan menjadi amat dramatis, mengingat nasib 200 juta orang diserahkan kepada kepiawaian dan kearifan sejumlah kecil orang-orang itu. Belum lagi masalah tentang seberapa besar kepiawaian dan kearifan mereka?

Kita ingin agar elite benar-benar terdiri dari mereka yang memiliki vision, pandangan ke depan dan kesadaran amanah (sense of mission). Mereka tidak boleh sekadar menjalankan peran sebagai "pekerja" yang tidak berpandangan ke depan, tidak merasa mengemban amanah ke mana bangsa akan dibawa. Singkat kata, pertama-tama mereka perlu memiliki kualitas kenegarawanan, statesmanship. Jangan kualitas kenegarawanan hanya dituntut dari presiden, tetapi juga yang lain-lain. Bangsa ini akan amat berbahagia jika anggota DPR memiliki legislative statesmanship dan para hakim agung memiliki judicial statesmanship.

MK tidak bisa diserahkan kepada "hakim-hakim biasa", tetapi kepada mereka yang memiliki vision dan kenegarawanan. MK bertugas menjaga konstitusi. Tetapi, masalah yang lebih penting dan mendasar adalah bagaimana para hakim agung menjaga UUD? Apakah mereka akan menerima tugasnya sebagai "pengeja" UUD? Ataukah mereka menerima peran sebagai pejuang yang akan membawa bangsanya mengarungi samudra dunia dengan determinasi cita-cita yang kokoh? Apakah mereka akan menjadi penerjemah yang memberi makna progresif atas UUD?

BARU-baru ini ada seorang psikiater mengutarakan, pendapat MK tentang larangan KPK mengadili kasus-kasus sebelum 27 Desember 2002 akan menjadikan bangsa ini mengidap amnesia, menjadi bangsa amnestik ("Kita Dipaksa Jadi Bangsa Amnestik", Kompas, 19/2/2005). Efek psikiatris dari putusan MK menjadikan kita bangsa pelupa, bangsa yang mudah melupakan kejahatan masa lalu. Kita menerimanya sebagai pendapat pakar di bidangnya. Haruskah hakim MK yang terdiri dari ahli hukum mengabaikan pendapat psikiater itu, semata-mata berdasarkan alasan "bukan ahli hukum"? Mudah-mudahan tidak ada sikap seperti itu. Mudah-mudahan kita bisa menerima, psikiatri yang sudah memasuki ranah hukum akan menjadikan hukum lebih kaya dan sehat.

Apabila diterima, MK perlu memiliki wawasan kenegarawanan (judicial statesmanship), maka sebaiknya MK memikirkan dan memedulikan efek serta tujuan sosiologis, ekonomis, politik, dan kultural dari putusan yang diambil atau pernyataan yang dibuat. Inilah intisari yang ingin dikatakan melalui pandangan jauh ke depan dan judicial statesmanship. Produk MK bukan hanya putusan hukum (judicial legal decision). Tidak bisa putusan hanya dilarikan ke ranah perundang-undangan, doktrin, dan asas yang kaku. Hukum tidak hanya diukur dari penggunaan logika peraturan, tetapi lebih daripada itu, kelayakan sosial (social reasonableness). Apakah ini memberi kesejahteraan, keadilan, menyelamatkan?

Kehadiran MK yang progresif saat ini amat dibutuhkan. Progresif berarti tidak submisif, pasrah bongkokan terhadap kata-kata, terhadap doktrin, dan asas yang dominan. Kata kuncinya adalah berani melakukan pembebasan. UUD akan menjadi living constitution hanya jika penjaganya berdedikasi tinggi untuk membebaskan diri dari absolutisme pikiran dan teori serta dari penjara positivisme yang kaku dan dogmatis. Hukum, UUD, bukan hanya peraturan dan logika, tetapi lebih pada itu memiliki tujuan sosial lebih mulia untuk rakyat.

Kita suka mengobral pendapat, korupsi di negeri ini merupakan kebejatan yang berdimensi luar biasa. Maka, cara-cara yang digunakan untuk menghadapi juga berkualitas luar biasa. Ini berarti tidak tradisional dan konvensional, tetapi terbuka untuk bertindak lebih progresif dan berani melakukan pembebasan. Penjagaan dan pemaknaan terhadap UUD tidak boleh dibelenggu doktrin, asas, dan teori status quo. Alangkah bahagia bangsa ini jika para hakim agung bisa bertindak sebagai pembebas yang hanya peduli terhadap bagaimana bangsanya bangkit kembali dari aneka penderitaan, keterpurukan, dan ketidakadilan.

Keinginan untuk memberantas korupsi bukan hal baru, bukan ditandai garis start 27 Desember 2002, tetapi sudah sejak 1970-an, lebih dari 30 tahun. Lalu, mengapa para terdakwa koruptor harus menikmati kelonggaran release and discharge? Perdebatan tentang penggunaan asas retroaktif tidak menyentuh substansi karena sudah lebih dari 30 tahun kita ingin melakukan pemberantasan korupsi yang kini semakin parah. Jadi, yang kita hadapi dalam kontroversi penggunaan asas retroaktif sebenarnya tidak menyangkut hal substansial.

Penggunaan asas retroaktif memang bisa menjadi masalah besar jika kita memproyeksikannya pada latar belakang alam pikiran hukum liberal. Di situ asas nonretroaktif menjadi salah satu pilar penting untuk mengamankan bastion perlindungan individu. Untuk itu, prosedur menjadi andalan.

Dalam suasana serba luar biasa ini, marilah kita bertindak progresif dengan berani membebaskan diri dari dominasi teknikalitas, prosedur, doktrin, serta asas konvensional, jika itu membelenggu kita untuk keluar dari penderitaan. Aneka putusan MK sebaiknya berkualitas milestone dalam perjalanan negara hukum.
Satjipto Rahardjo Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

sumber :http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0503/01/opini/1592610.htm