Thursday, January 27, 2005

Transmigran vulkanisir

Kamis, 27 Januari 2005

Kisah Transmigran Pencari Ban Bekas...

TIDAK seperti nasib transmigran lainnya yang kebanyakan terpuruk di negeri orang, kisah Yadimin (58) menjadi transmigran mandiri yang datang ke Banjarmasin berakhir dengan gembira. Rintisan transmigran asal Klaten, Jawa Tengah, itu kini membuahkan sukses setelah melewati perjuangan berat.

Yadimin yang hanya pernah sampai kelas dua sekolah dasar datang ke Kalimantan Selatan tahun 1989-an hanya berbekal nekat dan uang Rp 5.000.

"Di Kalsel, Bapak saya pertama kali bekerja sebagai buruh tani, kemudian beralih pekerjaan sebagai buruh vulkanisasi ban," kata Suharno (30), anak ketiga Yadimin.

"Waktu itu gaji Bapak hanya Rp 15.000 per bulan. Tetapi, karena ada keinginan belajar, Bapak terus bertahan, sementara pekerja lainnya berguguran," katanya.

Satu-satu karyawan berguguran hingga usaha vulkanisasi tersebut gulung tikar. Yadimin memulai bisnis vulkanisasi ban tahun 1991 dengan menjadi pencari ban bekas ke sana kemari. Dengan modal tabungan sebesar Rp 3 juta dan didukung lima anak-anaknya, Yadimin memulai usaha vulkanisasi ban bekas.

"Waktu itu produksinya hanya 12 ban sampai 15 ban sehari, kami menjualnya sendiri," kata Suharno.

Usaha vulkanisasi itu mulai berkembang. Namun, tahun 1999 Yadimin mulai kebingungan karena dia membutuhkan modal lebih besar.

"Akhirnya kami pinjam modal ke BRI Banjarmasin, waktu itu nilainya Rp 100 juta," kata Yadimin. Modal itu digunakan untuk membeli bahan baku vulkanisasi (compound) dari Pulau Jawa dengan harga Rp 16.000 sampai Rp 20.000 per kilogram.

Karena harga itu terbilang mahal, timbul ide bagaimana membuat compound sendiri. "Tahun 2001 kami memproduksi compound sendiri menggunakan pinjaman dari BRI," kata Yadimin. Sekarang ini usaha keluarga tersebut bahkan juga mampu memasok kebutuhan compound untuk industri sejenis di Kalsel, Kalteng, Kaltim, dan sebagian Yogyakarta.

Kini perusahaan "Lima Saudara" bisa memproduksi 25 ton compound setiap bulan, dan dari sektor usaha vulkanisasi memproduksi 125 ban setiap hari. "Semua produksi itu habis terjual," kata Suharno.

Jika dulu hanya dipercaya mengelola kredit Rp 100 juta, tahun ini BRI berani mengucurkan kredit hingga Rp 1,1 miliar secara berkala kepada "Lima Saudara".

Usaha itu kini menguasai pasar compound dan pasar ban bekas. Namun, tidak banyak yang tahu jika bisnis itu sebenarnya dikendalikan "transmigran pencari ban bekas" yang tak sempat menamatkan bangku sekolah dasar. (AMR)

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0501/27/ekora/1447733.htm

Potensi Karet Rakyat

Kamis, 27 Januari 2005

Industri "Compound", Memberdayakan Potensi Karet Rakyat di Kalsel

Di sebuah lokasi industri kecil di Bati-Bati, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, wajah para pekerja pembuatan adonan lembaran karet jadi itu tampak hitam berjelaga. Mereka seperti menggunakan topeng hitam, yang terlihat hanya mata dan gigi putih mereka.

MASKER putih yang mereka kenakan pun terlihat kumal tanda jarang diganti. Itu juga hanya mereka gunakan setengah hati, kadang dipasang dan kadang dilepas. Sudah barang tentu mereka "kenyang" menghirup udara yang penuh jelaga.

Para pekerja terus-menerus memasukkan bahan baku karet alam dari jenis lembaran yang telah dikeringkan ke dalam mesin blender. Karet itu digulung terus-menerus oleh mesin hingga membentuk lembaran-lembaran hitam. Lembaran itu kemudian dijadikan bahan baku karet lembaran jadi atau yang biasa disebut compound (adonan). Compound ini merupakan campuran dari berbagai bahan, mulai dari karet alam, minyak, bahan karbon, zat pewarna, dan bahan lainnya.

Lembaran-lembaran compound yang dihasilkan mesin itulah yang kemudian akan dijadikan sebagai bahan baku pembuatan ban. Dalam skala kecil, bahan itu digunakan untuk memvulkanisasi ban bekas. "Beginilah pekerjaan kami setiap hari, selalu hitam terkena asap karbon," kata seorang pekerja.

KEGIATAN menggiling karet lembaran kering atau biasa dikenal sebagai karet SIR (Standard Indonesian Rubber) itu sudah sejak tahun 2001 berjalan di bawah bendera "Lima Saudara". "Memang kami yang berusaha ini ada lima orang bersaudara," kata Suharno (30), penanggung jawab "Lima Saudara" di Banjarmasin.

Lima saudara anak pasangan Yadimin (58) dan Legiyem (50) kini semuanya terjun ke usaha yang bisnis utamanya pembuatan compound dan vulkanisasi ban. Lima saudara para transmigran asal Klaten, Jawa Tengah, ini membuka cabang-cabang baru di berbagai kota.

Anak pertama, Slamet Widodo, ditugaskan mengawasi pembuatan compound di Bati-Bati (Tanah Laut); anak kedua, Sugiarti, ditugaskan membuka cabang di Palangkaraya (Kalimantan Tengah); anak ketiga, Suharno, mengelola cabang di Banjarmasin; anak keempat, Hartono, membuka cabang di Yogyakarta; dan anak kelima, Muhtarno, membuka cabang di Pulau Pinang, Kabupaten Tapin (Kalsel). "Bisnis vulkanisasi ban memang sudah sejak tahun 1989, tetapi pembuatan compound ini baru kami mulai tahun 2001," ujar Suharno.

Ide awal usaha pembuatan compound digunakan untuk menyuplai bahan baku pembuatan vulkanisasi ban yang sudah lebih dulu ditekuni Lima Saudara. "Dulu kami beli compound dari Pulau Jawa, tetapi karena bahan bakunya karet dan di Kalsel berlimpah, kami mulai membuat compound sendiri," kata Suharno.

Jika membeli compound dari Pulau Jawa satu kilogram harganya berkisar Rp 16.000-Rp 20.000 per kilogram. "Dengan membuat sendiri, ternyata bisa mengirit biaya sampai Rp 3.000 per kilogram compound," katanya.

KINI usaha keluarga itu telah menjadi penguasa pasar compound di Kalsel dan Kalteng, serta sebagian Kaltim. "Hanya Kalbar yang sulit kami tembus karena transportasi ke sana terbatas dan lebih dekat dari Jakarta," kata Suharno.

Di sektor usaha vulkanisasi ban bekas, Lima Saudara juga mengaku sudah memimpin pasar walaupun tidak sepenuhnya mereka kuasai. "Ada beberapa pesaing kami di Banjarmasin, tetapi sekarang pesaing itu pun mengambil bahan baku dari kami," kata Suharno.

Tidak banyak yang tahu bahwa usaha ban bekas itu ternyata memiliki perhitungan ekonomi yang menarik. Anak-anak Yadimin membeli ban bekas dengan harga bervariasi. Ban bekas jenis kendaraan Colt dibeli Rp 50.000 hingga Rp 125.000, bergantung pada kondisinya. Setelah divulkanisasi dijual Rp 175.000 hingga Rp 230.000. Ban bekas kendaraan truk dibeli Rp 75.000 hingga Rp 200.000, dan kemudian setelah divulkanisasi bisa dijual Rp 400.000 sampai Rp 600.000.

Yadimin yakin, ban hasil vulkanisasi akan tetap menjadi alternatif pengganti ban bagi sebagian kalangan. Di Banjarmasin diperkirakan pemakai ban vulkanisasi mencapai 30 persen dari seluruh pemilik kendaraan.

Usaha keluarga Yadimin itu terpilih sebagai salah satu usaha mikro yang cukup berhasil di Kalsel. Karena itu, dalam rangka ulang tahun ke-109 BRI, usaha compound dan vulkanisasi Lima Saudara mendapat prioritas pemberdayaan nasabah.

"Memang ini bukan satu-satunya usaha yang sukses di bawah binaan BRI. Tetapi usaha Lima Saudara ini cukup unik dilihat dari perjuangan keluarga ini mencapai keberhasilan," kata M Amenan, Bagian Kredit BRI Banjarmasin. Amenan sejak awal mendampingi keluarga Yadimin untuk menentukan langkah-langkah bisnisnya, terutama terkait dalam hal penentuan investasi menggunakan modal perbankan.

"Bayangkan, modal awal dia ke Banjarmasin ini hanya Rp 5.000, tidak masuk akal. Tapi, itu terjadi dan dilakoni Yadimin yang berniat mengubah nasib keluarganya di Klaten Jawa Tengah, kini mereka bisa menikmati usaha keras mereka itu," kata Amenan.(Amir Sodikin)

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0501/27/ekora/1447731.htm

Monday, January 24, 2005

Perkara Utang II

Senin, 24 Januari 2005

Membaca Hasil Pertemuan CGI Ke-14

APA yang berbeda dari pertemuan ke-14 Consultative Group on Indonesia dibandingkan dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya? Pertama, untuk pertama kalinya pertemuan dipimpin oleh pihak Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Menteri Koordinator Perekonomian.

Kedua, bencana gempa bumi dan tsunami menjadi topik istimewa yang sekaligus memperkuat komitmen negara-negara donor dan lembaga-lembaga keuangan internasional untuk membantu Indonesia sebagaimana yang telah mereka janjikan pada konferensi internasional tentang tsunami yang juga diadakan di Jakarta beberapa minggu sebelumnya.

Ketiga, munculnya kategori baru bantuan yang disalurkan tidak melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Adakah makna dari ketiga perbedaan tersebut? Tampaknya ya, dan cukup dalam. Gempa bumi dan tsunami kembali menempatkan Indonesia sebagai pusat perhatian dunia. Bencana kemanusiaan yang sangat dahsyat ini telah menggugah dan mengedepankan "wajah" kemanusiaan masyarakat dunia nyaris tanpa kecuali.

Bahkan, sampai-sampai boleh jadi bisa mengubah karakter dan titik berat politik luar negeri Amerika Serikat (AS). Salah satu indikasinya tercermin dari pidato inaugurasi Presiden George Walker Bush untuk masa jabatan keduanya pada akhir minggu lalu yang lebih rendah hati dan tak menyebutkan sepatah kata pun tentang terorisme.

Indikasi lainnya ialah berlomba-lombanya negara-negara kaya untuk memperbesar bantuan. Bahkan, beberapa di antaranya terkesan berambisi menjadi yang terbesar atau paling tidak melipatgandakan komitmennya seolah-olah takut dianggap kikir dan tak peka terhadap derita kemanusiaan yang tiada taranya.

Boleh dikatakan, apa pun yang diminta Indonesia dalam rangka penanganan bencana ini hampir selalu dipenuhi oleh komunitas internasional, khususnya negara-negara besar dan atau yang sangat berpengaruh. Mereka seakan sangat menjaga "perasaan" pemerintah dan masyarakat Indonesia.

SEKARANG berpulang pada diri kita: apakah mampu menjaga harkat dan martabat bangsa, mempunyai harga diri, dan berketetapan hati untuk mengubah perangai serta kebiasaan buruk selama ini.

Kehendak untuk memimpin pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI) telah mereka penuhi. Mereka pun turut membantu upaya guna membuat Pemerintah Indonesia memiliki modal yang cukup untuk menjadi pemimpin yang patut. Momentum ini terlalu berharga untuk disia-siakan.

Komitmen kuat masyarakat dunia untuk membantu Indonesia bukannya tanpa keraguan sama sekali. Komisi Darurat Kemanusiaan (KDK) yang dideklarasikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) telah bertemu dengan sejumlah perwakilan negara dan lembaga donor di Jakarta.

Mereka secara eksplisit menyampaikan kepedulian terhadap kemungkinan bocornya arus bantuan. Untuk mengantisipasi hal itu, mereka menyatakan kesediaannya memberikan bantuan dana dan teknis kepada KDK, yang salah satu bidang kegiatannya adalah memonitor seluruh bantuan bagi penanganan bencana di Aceh dan Sumatera Utara.

Perhatian yang sama ditunjukkan pula oleh pihak donor pada pertemuan CGI yang lalu. Hal ini tercermin dalam bentuk komitmen hibah yang besarnya tak kurang dari 1 miliar dollar AS yang akan disalurkan secara langsung melalui jalur di luar APBN, seperti misalnya ke LSM, lembaga-lembaga lainnya, dan masyarakat secara langsung.

Jumlah hibah yang di luar APBN ini mencapai lima kali lipat dari besarnya hibah lewat APBN. Bahkan, tetap lebih besar jika dibandingkan dengan keseluruhan bantuan untuk Aceh yang lewat APBN (sebesar 0,7 miliar dollar AS, terdiri dari 0,5 miliar dollar AS berupa pinjaman proyek dan 0,2 miliar dollar AS berupa hibah).

Sekarang, mari kita hitung besarnya kontribusi bantuan dari CGI bagi penanggulangan bencana. Perhitungan sementara yang dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan, besarnya nilai kerusakan dan kerugian dalam bentuk arus pendapatan yang hilang di dalam perekonomian keseluruhannya berjumlah Rp 41,4 triliun atau 4,45 miliar dollar AS.

Jika diasumsikan bahwa periode tanggap darurat sampai rekonstruksi membutuhkan waktu lima tahun, secara kasar rata-rata kebutuhan dana setiap tahunnya adalah Rp 8,3 triliun. Untuk tahun 2005 saja, CGI mengucurkan bantuan khusus untuk bencana tsunami senilai 1,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 15,8 triliun.

BAGAIMANA memahami perbedaan yang sangat mencolok antara kebutuhan rata-rata setahun dan komitmen bantuan yang besarnya hampir dua kali lipat?
Pertama, tentu saja ada yang mengatakan bahwa asumsi yang digunakan sangat kasar. Mungkin dibutuhkan waktu lebih dari lima tahun untuk menuntaskan rekonstruksi daerah yang terkena bencana. Namun, kita sebagai bangsa harus memancangkan tekad kuat untuk secepat-cepatnya memulihkan daerah bencana.

Kedua, kebutuhan tahun pertama boleh jadi akan lebih besar ketimbang tahun-tahun selanjutnya sehingga pantas jika alokasinya pun jauh lebih besar. Katakanlah besarnya kebutuhan dana tahun pertama dua kali lipat dari rata-rata setahun atau sekitar Rp 16,6 triliun.

Angka ini masih tetap lebih rendah dibanding dengan besarnya komitmen CGI ditambah dengan dana-dana yang berasal dari sumber resmi lainnya dan sumbangan masyarakat dari dalam maupun luar negeri.

Ketiga, bagaimanapun, sudah barang tentu pemerintah telah dan akan terus mengalokasikan dana khusus bagi daerah yang terkena bencana. Sebab, sebesar apa pun dana bantuan yang terkumpul, niscaya tak bisa seluruhnya sesuai dengan kebutuhan dan jadwal penggunaan.

Namun, paling tidak, melimpahnya bantuan tak membuat pemerintah khususnya dan masyarakat umumnya menyurutkan komitmen bagi percepatan proses pemulihan daerah yang terkena bencana. Lebih dari itu, jangan lupa sampai tebersit niatan "menunggangi" bencana untuk tujuan-tujuan yang tidak sepatutnya.

Lebih bermakna lagi jika pemerintah menjadikan penanganan bencana bandang ini sebagai momentum untuk mengembangkan paradigma pembangunan baru yang bersifat holistis, yang menempatkan dimensi manusia sebagai titik sentralnya. Dalam konteks ini, pemulihan di Aceh sejatinya terintegrasi dengan penyelesaian konflik secara tuntas dan menyeluruh.

Harus diingat bahwa bantuan langsung maupun tak langsung diperkirakan masih akan terus mengalir. Yang sudah pasti ialah moratorium (penundaan sementara) pembayaran utang selama tiga bulan (Januari-Maret 2005) sebesar 700 juta dollar AS sebagaimana telah diputuskan di dalam forum Paris Club beberapa waktu yang lalu.

Besarnya nilai pembayaran utang (debt service) yang dijadwalkan kembali diperkirakan akan berlipat ganda sampai miliaran dollar AS pada perundingan Paris Club mendatang setelah Bank Dunia merampungkan perhitungan kerusakan dan kerugian akibat bencana. Bahkan, tak tertutup kemungkinan Indonesia memperoleh beberapa skema pemotongan utang.

Dengan potensi aliran bantuan yang sedemikian derasnya, tidakkah sebaiknya kita meninjau kembali pelibatan utang- dengan persyaratan yang sangat lunak sekalipun-dalam penanggulangan bencana?

Mengapa penegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak menerima utang bagi kebutuhan penanggulangan bencana dianggap sepi para pembantunya? Bukankah komponen pinjaman dari CGI relatif kecil (0,5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 4,6 triliun)?

Tidak bisakah dana sebesar itu berasal dari penyisihan 2,5 persen dana perimbangan untuk daerah sebagai wujud dari komitmen ke-bineka-tunggal- ika-an kita?

Kalau masih kurang juga, rasanya para pejabat tinggi negara, pegawai negeri eselon I dan II, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah tidak keberatan jika setidaknya setengah persen dari gaji mereka disisihkan bagi korban bencana di Aceh dan Sumatera Utara.

Rasanya kita sebagai bangsa akan kehilangan muka seandainya tak menunjukkan komitmen yang proporsional dengan apa yang telah ditunjukkan masyarakat internasional. Mengapa kita tak mau belajar barang sedikit dari India dan Thailand yang menampik pinjaman, padahal dampak terhadap perekonomian di kedua negara itu lebih besar daripada yang dialami Indonesia?

Mengapa pundi-pundi penerimaan pajak ditutup rapat? Bukankah sedemikian sangat mudahnya meningkatkan penerimaan pajak dari Rp 256 triliun sebagaimana yang termaktub di dalam APBN 2005 menjadi sekitar Rp 280 triliun asalkan direktur jenderal pajaknya diganti dengan "orang dalam" yang bersih dan tahu persis berbagai modus operandi "perselingkuhan" pajak? Bukankah langkah serupa bisa pula diterapkan guna meningkatkan penerimaan dari bea dan cukai?

Akhirnya, tidak lengkap kiranya kalau tidak menyinggung barang sekilas posisi konvensional bantuan CGI sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit APBN.

Pemerintah dan DPR telah menyepakati besarnya defisit APBN 2005 adalah satu persen dari produk domestik bruto (PDB) atau setara dengan 3 miliar dollar AS. Berarti, pinjaman plus hibah dari CGI yang jumlahnya 2,8 miliar dollar AS meliputi lebih dari 93 persen defisit.

Karena pada waktu yang sama kita harus membayar angsuran pinjaman, kebutuhan pembiayaan keseluruhan (gross financing needs) haruslah menambahkan besarnya defisit dengan pembayaran angsuran tersebut yang keseluruhannya berjumlah 10,9 miliar dollar AS.

Dengan menggunakan patokan ini, kontribusi pinjaman baru dari CGI terhadap kebutuhan pembiayaan total adalah 25,7 persen. Sisanya ditutup dari penarikan rekening pemerintah di Bank Indonesia, penerbitan obligasi di dalam dan luar negeri, privatisasi, penjualan aset sisa Badan Penyehatan Perbankan Nasional, dan utang luar negeri non-CGI.

Angka-angka ini menunjukkan berlanjutnya komitmen pemerintah untuk mengurangi stok utang, baik secara nominal maupun persentasenya, terhadap PDB sehingga lambat laun ketergantungan kita pada utang luar negeri akan semakin kecil.

Slogan "perubahan" yang diusung Yudhoyono-Kalla akan menjadi kenyataan jika pemerintahannya berhasil mempercepat pembayaran utang dengan sesegera mungkin melakukan pembenahan total aparat pajak serta bea dan cukai. Kita tunggu gebrakan 100 hari yang tinggal seminggu lagi. *

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0501/24/utama/1514687.htm

Perkara Utang I

Senin, 24 Januari 2005

CGI, Utang, dan Kesinambungan Fiskal

Muhammad Chatib Basri*

SAYA ingat sebuah kalimat tua dari Thomas Jefferson, Presiden ketiga Amerika Serikat, "I place economy among the first and important virtues, and public debt as the greatest danger". Menarik, semangat dari kalimat tua itu seperti hidup sampai sekarang. Walau tentunya, kita tak tahu seberapa persis pernyataan itu di era ini. Ini adalah zaman di mana hampir semua negara-bahkan yang maju sekalipun-berutang. Soalnya, bukan berbahaya atau tidaknya utang, tetapi apakah ia dapat mengganggu kesinambungan perekonomian, khususnya fiskal. Sedihnya, inilah satu masalah besar yang dihadapi negeri ini.

MEMANG ada nada masygul ketika kita bicara tentang utang negeri ini. Ada nada kekhawatiran yang dalam di sana. Di sana-sini orang bicara tentang beban yang harus ditanggung generasi mendatang. Orang bicara dengan muram, atau dengan nada marah, tentang "negeri yang tergadai". Lalu sederet pesimisme lainnya. Dan sebagaimana biasanya kekhawatiran, ia mungkin muncul dalam imaji yang lebih buruk dibandingkan dengan kenyataannya.

Tetapi toh, kekhawatiran itu bukan sebuah omong kosong yang direka-reka begitu saja. Ada kebenaran di sana. Itu sebabnya ada sinyal yang masuk ke koridor pengamatan kita. Dan ia datang dengan sebuah pesan: satu masalah krusial yang dihadapi Indonesia adalah utang luar negeri. Pesan ini menjadi semakin terdengar keras ketika pekan lalu diadakan pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI) di Jakarta. Ada beberapa isu penting yang mengemuka.

Pertama, pertemuan yang disebut-sebut sebagai "Indonesia-led CGI" yang pertama ini- di mana Indonesia untuk pertama kalinya menjadi ketua- membahas dengan cukup dalam masalah Aceh dan Sumatera Utara (Sumut). Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani muncul dengan estimasi kerusakan di Aceh dan Sumut 4,5 miliar dollar AS, yang mencakup angka kerusakan sebesar 2,9 miliar dollar AS dan kehilangan 1,6 miliar AS.

Angka ini hanya memperhitungkan biaya penggantian (replacement cost) dan belum menghitung kebutuhan rekonstruksi. Tentu di luar biaya itu, biaya intangible (biaya yang tak bisa dinilai dengan uang) jauh lebih besar. Oleh karena itu, Sidang CGI kali ini memang sarat dengan diskusi penanggulangan dampak bencana di Aceh dan Sumut. Dan sidang ini dengan pledge khusus: bantuan untuk Aceh dan Sumut sebesar 1,7 miliar dollar AS, yang terdiri dari 700 juta dollar AS dana yang disalurkan melalui APBN dan 1 miliar dollar AS yang disalurkan secara langsung.

Dari jumlah tersebut, 1,2 miliar dollar AS adalah hibah dan 500 juta dollar AS adalah pinjaman sangat lunak dengan bunga nol persen atau mendekati nol persen dengan masa pengembalian yang panjang (30-40 tahun). Isu yang mengemuka saya kira adalah soal penggunaannya. Di sini komitmen yang jelas terhadap masalah korupsi menjadi isu besar. Itu sebabnya good governance menjadi isu yang amat krusial.

Selain bantuan untuk tragedi tsunami, CGI juga memberikan bantuan baru kepada pemerintah sebesar 3,4 miliar dollar AS, terdiri dari 2,8 miliar dollar AS yang disalurkan melalui APBN dan 600 juta dollar AS secara langsung. Jika kita melihat kebutuhan pembiayaan fiskal, angka 2,8 miliar dollar AS berada di dalam rentang kebutuhan. Jika dilihat dari defisit anggaran dan sumber pembiayaan, jumlah bantuan yang dibutuhkan pemerintah memang berkisar 2,5-3 miliar dollar AS.

ISU kedua, apakah utang baru yang kita peroleh akan membahayakan? Jawabannya tak semudah retorika perlu atau tak perlu utang. Ia harus dilihat dalam perspektif jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, pertanyaannya: bagaimana kita membiayai defisit anggaran sebesar 1 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahun 2005 bila tak ada utang baru? Mereka yang menolak utang mungkin punya dua pilihan: menaikkan sisi penerimaan atau menurunkan sisi pengeluaran.

Implikasinya: pajak harus dinaikkan dan penerimaan privatisasi harus ditingkatkan dengan tajam. Dua hal yang amat berat dan mendapat tentangan keras saat ini. Di sisi pengeluaran, pengeluaran yang dianggap tak memiliki urgensi tinggi dan juga subsidi harus dipangkas. Ini juga ditentang.

Karena itu, komitmen CGI saya kira harus dilihat sebagai sebuah ruang bagi pemerintah untuk pemulihan ekonomi. Namun, tentu kita harus memberikan catatan kaki di sini: utang baru tak bebas dari masalah. Jika tak hati-hati, ada soal besar dalam jangka panjang. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dengan baik. Salah satu faktor yang dianggap berperan dalam krisis utang adalah rezim perdagangan dan kemampuan untuk melakukan ekspor.

Secara konseptual, jumlah stok utang akan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga kredit luar negeri (untuk pinjaman komersial) dan laju pertumbuhan nilai ekspor. Pertumbuhan ekspor-walaupun membaik-belum sepenuhnya pulih. Pertumbuhan ekspor yang lemah secara teoretis akan mengakibatkan semakin tingginya beban utang luar negeri. Sejarah di Amerika Latin bicara: hanya negara yang berorientasi ekspor yang mampu menghadapi soal beban bunga cicilan utang. Dengan penerimaan ekspor yang tinggi, negeri pengutang mampu memenuhi kewajiban bunga cicilan utangnya.

Studi yang dilakukan Jeffrey Sachs menunjukkan bukti empiris argumen ini. Itu sebabnya rezim perdagangan yang proteksionis harus dihindari, apalagi situasi eksternal tahun 2005 diperkirakan sedikit melemah. Namun, di sisi lain, sebenarnya ada alasan untuk optimistis. Laporan Bank Dunia 2005 menunjukkan bahwa penggunaan kapasitas terpasang pada tahun 2003 merupakan yang tertinggi selama 20 tahun terakhir. Artinya, bila kita melihat pola di masa lalu, investasi riil akan bisa tumbuh relatif tinggi dalam waktu mendatang.

Selain itu, data juga menunjukkan bahwa impor barang modal Januari-November 2004 tumbuh 44,2 persen. Ini adalah indikator positif karena impor barang modal menunjukkan bahwa produksi akan meningkat tahun mendatang. Perhitungan yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) menunjukkan relasi yang kuat antara impor barang modal dan pertumbuhan investasi. Selain itu, depresiasi dari nilai tukar riil memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekspor.

Periode Januari-November 2004, pertumbuhan ekspor nonmigas mencapai 8,8 persen dengan pertumbuhan total ekspor 10 persen. Angka ini-walaupun harus diinterpretasikan dengan hati-hati karena adanya perubahan cara perhitungan-memberikan bukti empiris membaiknya pertumbuhan ekspor. Itu sebabnya target pertumbuhan 5,5 persen saya kira bukan sesuatu yang terlalu sulit dicapai. Artinya, potensi memang ada, tinggal bagaimana perbaikan iklim investasi tak sekadar menjadi jargon, dan pelbagai hambatan birokrasi dapat diatasi dengan seri deregulasi ekonomi.

ISU ketiga, apakah utang baru ini akan mengganggu kesinambungan fiskal? Secara konseptual, kebijakan fiskal dapat dianggap berkesinambungan jika pemerintah tak mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai anggarannya dalam jangka waktu tak terbatas. Implikasinya, kesinambungan fiskal akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah memperoleh sumber penerimaan pajak melalui pertumbuhan ekonomi, efisiensi kebutuhan anggaran melalui peningkatan penerimaan maupun penajaman pengeluaran, sumber pembiayaan melalui penerimaan nonpajak seperti penjualan aset atau privatisasi dan restrukturisasi utang.

Bila pemerintah tidak bisa menjamin adanya kesinambungan fiskal, akan ada ancaman terhadap perbaikan makroekonomi yang berujung pada runtuhnya keuangan negara. Selain itu, masalah dalam kesinambungan fiskal akan berakibat pada meningkatnya country risk Indonesia, yang pada gilirannya akan meningkatkan risiko serta tingkat bunga, yang akhirnya menghambat masuknya investasi ke Indonesia. Itu sebabnya kita harus melihat soal ini dengan perhatian lebih.

Di sini saya kira pertemuan CGI datang dengan berita bagus untuk Indonesia. Tengok saja angka-angka berikut: pledge baru CGI pada tahun 2005 adalah 2,8 miliar dollar AS, sementara pembayaran utang pokok dan bunga adalah 5,5 miliar dollar AS. Artinya, di satu sisi, stok utang mengalami penurunan 2,7 miliar dollar AS. Sementara di sisi lain, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan meningkat 5,5 persen pada 2005. Akibatnya, rasio utang terhadap PDB mengalami penurunan dari 53 persen di 2004 menjadi 48 persen di 2005.

Namun, tentunya kita tidak bisa berpuas diri dan mengatakan persoalan sudah selesai. Fiskal kita tetap masih rentan, terutama bila kita memasukkan faktor contingent liabilities (kewajiban yang harus dipenuhi jika sesuatu hal terjadi)-misalnya bila pemerintah harus menanggung utang BUMN atau proyek yang bangkrut.

Simulasi pada gambar menunjukkan bahwa jika kita memasukkan faktor contingent liabilities, kesinambungan fiskal semakin tidak terjaga. Itu sebabnya risiko fiskal tetap menjadi isu penting dalam beberapa tahun ke depan.

Pertemuan CGI di Jakarta berakhir sudah. Kita memang melihat bahwa ada potensi di sini. Antusiasme yang muncul pada Infrastructure Summit lalu memberikan indikasi tentang hal ini. Jepang, misalnya, secara jelas memberikan komitmennya, di mana sebagian besar bantuannya digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Sesuatu yang amat dibutuhkan negeri ini karena praktis setelah krisis tahun 1997 kualitas infrastruktur menurun tajam.

Itu sebabnya komitmen CGI memberikan ruang untuk memperbaiki ekonomi. Tinggal pengelolaan dan prioritas penggunaan utang yang menjadi isu penting. Sesuatu yang dibahas secara khusus dalam sidang ini. Di sini saya kira isu lama soal good governance menjadi amat krusial untuk tak menjadi jargon. Jika hal itu diantisipasi, kekhawatiran pada kalimat tua Thomas Jefferson mungkin agak sedikit berlebihan.

*Direktur Riset LPEM-FEUI dan Staf Pengajar FEUI

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0501/24/ekonomi/1514445.htm

Kolom Hermawan Kartajaya

Senin, 24 Januari 2005

Strategi Memenangi Persaingan Bisnis

KEHIDUPAN manusia tidak akan bisa dilepaskan dari teknologi. Bahkan, sejak dulu kita selalu memakai bantuannya dalam beragam tingkat kehidupan. Lantas dari sini kemudian muncul pertanyaan, apa inovasi teknologi terbesar yang memengaruhi manusia selama 25 tahun terakhir?

Sejak akhir tahun lalu pertanyaan tersebut tampil sebagai topik pembicaraan hangat karena selalu diulang dalam beragam tayangan CNN. Para pemirsa di seluruh dunia semakin bertambah penasaran sebab CNN dengan sengaja justru telah membocorkan peringkat semua penemuan teknologi termaksud, sejak nomor urut 25 sampai ke nomor 2. Empat besarnya, berturut-turut dari bawah, adalah e-mail, kemudian serat optik, komputer pribadi, dan nomor 2, telepon seluler.

"Mana nomor satunya? Kita boleh saja menebak, tetapi jawaban yang benar baru akan ditayangkan CNN pada hari Minggu 16 Januari pukul delapan malam ET (Eastern Time) dari studio pusatnya," kata Hermawan Kartajaya.

Dengan cepat, orang Surabaya yang kini dijuluki sebagai salah seorang dari 50 guru marketing kelas dunia sekaligus pimpinan puncak MarkPlus & Co ini langsung menambahkan, "Tetapi, apa pun yang minggu depan oleh CNN dinobatkan menjadi penemuan teknologi nomor 1, yang pasti teknologi memang harus bisa dipasarkan agar bermanfaat...."

MarkPlus yang didirikan Hermawan memang sebuah fenomena unik. Desember 1989 dia memutuskan keluar dari posisi mapan dalam jajaran eksekutif produsen rokok Sampoerna.

"Ayah dulu memberi saya nama Tan Tjiu Shiok, artinya selalu mengejar pengetahuan, sebab dia punya obsesi saya harus menjadi guru. Amanat beliau memang saya laksanakan. Selama 20 tahun saya menjadi guru SMA dan karena gaji kecil masih harus merangkap kerja, dari pembuat TV sampai produsen rokok. Tetapi akhirnya saya memutuskan keluar dan kembali menjadi guru," tutur Hermawan.

Memang bukan sekadar guru di lembaga pendidikan formal. Dengan pengalamannya selama bekerja, Hermawan mendirikan MarkPlus, konsultan bisnis dan pemasaran di Surabaya, hanya dibantu dua tenaga staf. Hermawan menjelaskan, "Saya senang naik kapal, maka saya mengibaratkan diri saya sebagai pembangun, kapten kapal sekaligus pemiliknya. Memang kapal sulit sekali bisa langsung ke laut, harus lewat kanal, sungai, teluk, baru nantinya terjun ke laut lepas...."

BERAWAL dari kantor dengan hanya dua tenaga staf, MarkPlus mulai 1994 pindah ke Jakarta tanpa melepaskan kantor di Surabaya. Perpindahan ini dengan tujuan agar bisa menangkap pasar yang lebih luas. Sekarang, sesudah 15 tahun memasyarakat, dengan dukungan sekitar 400 tenaga staf, lembaga konsultan bisnis tersebut semakin berkembang, mencakup juga Semarang, Bandung, dan Medan.

Bahkan, mereka tidak hanya ingin jadi jago kandang sebab tahun lalu telah melebar ke Singapura dan tahun ini akan dilanjutkan dengan membuka cabang di Kuala Lumpur, Malaysia.

Herwaman selalu punya impian besar. "Mulai tahun 2005, MarkPlus punya standar dunia, prespektif regional dan dukungan lokal. Strategi berpikir global dalam langkah lokal jelas sudah tidak memadai untuk pengembangan bisnis masa kini. Semua kawasan berusaha menyatu dalam menemukan peluang, semisal Eropa, Asia Selatan, ASEAN. Maka upaya itu pula yang harus kita gunakan...," tuturnya.

Sebagai orang yang selalu optimistis, nyali Hermawan tidak surut ketika dihadapkan kepada tantangan. Saat krisis ekonomi tahun 1997 merontokkan perekonomian Asia sehingga julukan "macan" berubah menjadi "kucing", dia justru tetap tegar. "Dalam aksara China, krisis gabungan kata wei dan ji, maknanya bahaya dan peluang. Maka saya yakin, krismon (krisis moneter) harus menyadarkan diri untuk menemukan peluang agar bisa tetap berjaya di masa depan. Kuncinya, setelah semua persyaratan terpenuhi, pemasaran harus tetap dilakukan...."

Tahun 1998 Hermawan terpilih sebagai Ketua Federasi Marketing Asia Pasifik, tahun berikutnya ditunjuk menjadi Presiden World Marketing Association. Terobosannya semakin nyata ketika tanpa sengaja dia bertemu Philip Kotler, mahaguru marketing internasional dari Kellogg School of Management, Northwestern University, Chicago, AS.

Kotler terkesan dengan model pemasaran hasil rancangan Hermawan. Mereka berdua langsung sepakat menulis buku, terbit tahun 2000 dengan judul Repositioning Asia: From Bubble to Sustainable Economy. Isinya, beragam langkah strategis agar bisnis kita mampu mengatasi badai krismon di Asia. Selain itu, juga agar sanggup menghadapi datangnya masa ekonomi baru sekaligus persiapan untuk mengatasi terjadinya kemungkinan buruk di masa mendatang.

SESUDAH buku pertama itu terbit, sampai sekarang telah tiga buku mereka tangani bersama, termasuk buku Attracting Investors dengan subjudul A Marketing Approach to Finding Funds for Your Bussiness yang telah diedarkan sejak akhir September tahun lalu. Buku tersebut menunjukkan, business plan hanya merupakan bagian dari business proposal sehingga maknanya, dalam menawarkan proposal bisnisnya, setiap pengusaha wajib melengkapi dengan semua informasi agar memikat kepercayaan investor.

"Maka jelas keliru kalau kita datang ke para calon investor sekadar membagikan rencana dan rancangan bisnis yang seragam. Marketers, para pemasar, harus paham kepada ciri-ciri calon pelanggannya, dalam hal ini calon pemasok modal. Maka mereka harus bisa lebih memfokuskan presentasi berikut rancangan bisnisnya."

Tanggal 22 Desember, persis pada Hari Ibu atau empat hari sebelum badai tsunami mengamuk, Hermawan menyelenggarakan malam dana untuk membantu Unicef, lembaga PBB yang khusus membantu kesejahteraan anak-anak.

"Malam itu terkumpul dana sebesar satu miliar rupiah yang langsung saya serahkan kepada Unicef. Saya rela ngemis demi membantu anak-anak Indonesia agar mereka punya peluang sehingga bisa meraih masa depan lebih baik...," ujar Hermawan. Hermawan sering tersentuh hatinya kepada anak-anak kecil sebab dia sendiri sadar, dulu dia juga berangkat dari keluarga miskin.

Adakah kesulitan yang ditemui Hermawan ketika mulai merintis bisnis dengan menjual konsep pemasaran?

Sambi tergelak dia mengungkapkan, "Waktu itu banyak orang dan rekan saya malah geleng-geleng kepala sambil bertanya, apa sih yang akan kau jual? Tetapi syukurlah, kini situasinya memang sudah berubah. Kompetisi bisnis semakin tajam sehingga mau tak mau para pengusaha memerlukan strategi tersendiri dalam upaya memasarkan produk mereka. Strategi itulah yang saya tawarkan." (Julius Pour)

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0501/24/ekonomi/1513064.htm

Laporan Kemiskinan Bank Dunia

Senin, 24 Januari 2005

Bank Dunia: Lebih dari 110 Juta Penduduk RI Miskin

Jakarta, Kompas - Bank Dunia menyebutkan lebih dari 110 juta jiwa penduduk Indonesia tergolong miskin karena masih hidup dengan penghasilan di bawah 2 dollar AS atau Rp 18.310 per hari. Jumlah penduduk miskin itu setara dengan gabungan dari jumlah penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja sehingga sebagian besar penduduk miskin di Asia Tenggara berada di Indonesia.

Ekonom senior Bank Dunia, Jehan Arulpragasam, mengungkapkan hal tersebut pada pertemuan ke-14 antara Pemerintah Indonesia dengan negara-negara dan lembaga keuangan multilateral anggota Consultative Group on Indonesia (CGI) di Jakarta, Kamis (20/1).

Arulpragasam mengatakan, keputusan Pemerintah Indonesia untuk memasukkan program pengentasan kemiskinan (Poverty Reduction Strategy/ PRS) ke dalam rencana pembangunan jangka menengah merupakan langkah maju dalam membawa masalah kemiskinan pada fokus pemerintah. Sekarang ini, menurut dia, merupakan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk mengimplementasikan seluruh program tersebut.

"Langkah-langkah itu harus dimulai dengan mengintegrasikan target dan program ke dalam rencana kerja tahunan pemerintah, rencana kerja para menteri, dan rencana anggaran," ujar Arulpragasam.

Menurut dia, penciptaan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada orang miskin harus menjadi pilar utama dalam upaya mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Prioritas yang harus menjadi sasaran adalah kawasan pedesaan.

"Pengentasan kemiskinan di pedesaan itu harus diisi dengan program berskala besar pada investasi jalan di pedesaan, karena itu merupakan cara paling efektif dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Sekitar lima persen penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap jalan-jalan yang layak. Pembangunan jalan di pedesaan itu dapat didanai dari dana alokasi khusus," ujarnya.

Arulpragasam menegaskan, pemerintah juga perlu mempercepat sertifikasi lahan di pedesaan karena pemilik lahan di pedesaan yang telah memiliki sertifikat kurang dari 25 persen. Pengamanan terhadap kepemilikan lahan itu sangat penting untuk mendorong produktivitas investasi tanah dan pertanian. "Selain itu, akses terhadap sertifikasi lahan akan dapat membantu orang miskin dalam mengakses sumber-sumber kredit," kata Arulpragasam.

Menurut Arulpragasam, sekitar 50 persen rumah tangga di Indonesia memiliki kelemahan dalam mengakses kredit mikro. Meskipun demikian, solusi terbaik untuk itu adalah bukan dengan menyiapkan subsidi kredit, namun pemerintah dapat menciptakan jalur langsung yang menghubungkan antara sektor perbankan formal dan lembaga-lembaga penyedia jasa keuangan berskala mikro.

"Setelah itu, perlu disiapkan kerangka hukum yang akan mengizinkan lembaga penyedia jasa keuangan berskala mikro itu memberikan kredit kepada masyarakat miskin," kata Arulpragasam.

Sementara itu, Penasihat Senior Bank Dunia Joel Hellman mengatakan, sebagian besar anak-anak yang berasal dari keluarga miskin tidak menyelesaikan pendidikan dasar mereka, bahkan keluar sebelum kelas dua. Pemerintah dapat mencegah masalah itu dengan mendirikan sekolah untuk masyarakat miskin dengan dana alokasi khusus.

"Indonesia telah membelanjakan Rp 74 triliun untuk perlindungan sosial pada tahun 2004, lebih dari anggaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan. Hanya sepuluh persen saja yang benar-benar dialokasikan untuk mengentaskan orang miskin. Beri lebih banyak lagi uang untuk kawasan-kawasan berpenduduk miskin," papar Hellman.

Risiko makroekonomi

Sementara itu, pada bagian lain pertemuan CGI, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia Andrew Steer mengatakan, Indonesia masih akan menghadapi risiko makroekonomi yang terjadi pada tahun 2005. Risiko tersebut adalah masalah profil pembayaran utang luar negeri pemerintah yang masih menjadi beban berat bagi keuangan negara, meskipun stok utang dilaporkan terus menurun.

"Pemerintah masih membutuhkan pinjaman sekitar 10 miliar dollar AS hingga 11 miliar dollar AS per tahun selama empat hingga lima tahun mendatang. Tujuh hingga delapan miliar dollar AS di antaranya merupakan pembayaran kembali utang-utang yang sudah ada. Ini dapat dikelola dengan baik jika makroekonomi Indonesia kuat. Berbagai ketidakstabilan akan membuat utang-utang itu semakin mahal," kata Steer lebih lanjut.

Menurut Steer, untuk menghadapi risiko tersebut, Indonesia diharapkan segera merealisasikan tender atas 91 proyek yang ditawarkan dalam Pertemuan Puncak Infrastruktur Indonesia paling lambat pada 1 Maret 2005. Hal itu perlu dilakukan karena pemegang modal akan terus mengawasi berbagai janji pemerintah yang terkait dengan investasi, mulai dari prosedur bea cukai hingga kemudahan di perizinan.

"Sebuah langkah cepat memang sangat diperlukan, namun harus diikuti dengan proses yang profesional dan transparan," kata Steer.

Menurut Steer, transparansi merupakan masalah utama karena niat baik yang telah disampaikan pemerintah pada tataran birokrasi eselon satu belum diserap oleh birokrat pada eselon dua dan tiga di semua departemen. Dunia usaha belum melihat adanya sikap yang sama baiknya pada pejabat-pejabat di eselon dua dan tiga yang justru bertemu dengan para pengusaha setiap hari.

"Reformasi pelayanan publik, termasuk kemurnian pada pertanggungjawaban birokrat, merupakan keputusan yang harus segera dilakukan oleh pemerintah," ujarnya. (oin)

sumber:

Wednesday, January 19, 2005

Kebijakan yang Tak Jelas

Selasa, 18 Januari 2005

Investor Persoalkan Kebijakan yang Tak Jelas

Jakarta, Kompas - Kalangan investor asing yang mengikuti Pertemuan Puncak Infrastruktur (Infrastructure Summit) 2005 di Jakarta, Senin (17/1), umumnya siap memenuhi ajakan pemerintah untuk membangun infrastruktur di Indonesia. Akan tetapi, hingga saat ini mereka masih ragu menyangkut iklim investasi di Indonesia. Tuntutan kepada pemerintah nyaris seragam dan klasik, yakni persoalan kebijakan yang belum jelas serta belum adanya kepastian hukum dan keamanan berinvestasi.

Pemerintah yang pada pertemuan ini menawarkan 91 proyek infrastruktur senilai 22 miliar dollar Amerika Serikat dinilai belum siap menyangkut kebijakan-kebijakan pendukung investasi.

Tuntutan agar iklim investasi diperbaiki antara lain diungkapkan oleh Presiden Direktur/Chief Executive Officer PT Paiton Energy Ronald P Landry dan Presiden Direktur PT MS Water Peter von Stiegler. Keluhan soal iklim investasi juga diungkapkan oleh kalangan investor dalam negeri, termasuk sejumlah pemimpin badan usaha milik negara (BUMN).

Dalam sesi tanya jawab selama pertemuan, sebagian besar calon investor masih meragukan kesungguhan pemerintah dalam menjamin kepastian usaha, terutama terkait dengan persoalan otonomi daerah. Selain itu, mereka juga menyinggung cap korupsi yang melekat pada Indonesia dan masih adanya praktik monopoli oleh perusahaan BUMN.

"Presentasi yang disampaikan cukup baik, dan semua proyek yang ditawarkan juga cukup menarik, tapi sayangnya kami masih meragukan sejauh mana Pemerintah Indonesia dapat memberikan kepastian usaha. Apalagi dengan adanya otonomi daerah yang menyebabkan sangat banyaknya regulasi yang tumpang tindih," kata salah seorang pejabat Bank Pembangunan Asia.

Ketua Umum Asosiasi Jalan Tol Indonesia (AJTI) Fatchur Rochman dan Direktur Utama PT Jasa Marga Syarifuddin Alambai mencontohkan kasus investasi di sektor jalan tol. Sebanyak 1.500 kilometer proyek jalan tol yang ditawarkan pemerintah ternyata lahannya sama sekali belum dibebaskan.

Yang dilakukan baru sebatas prastudi kelayakan. Hal ini dikhawatirkan akan membuat program investasi jalan tol tidak akan berjalan mulus seperti direncanakan, sebab proses pembebasan tanah dalam proyek pembangunan jalan bebas hambatan biasanya menghabiskan waktu lama dan menyebabkan biaya membengkak beberapa kali lipat.

"Lihat saja, proyek Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (Jakarta Outer Ring Road/JORR) yang ditangani PT Jasa Marga. Ruas Hankam-Cikunir dan Veteran-Ulujami sudah menghabiskan waktu sekitar dua tahun, tetapi proses pembebasan lahan yang tinggal puluhan meter persegi itu belum juga dituntaskan. Sikap pemerintah pusat dan daerah selalu bertolak belakang," kata Fatchur Rochman.

Presiden Direktur/Chief Executive Officer PT Paiton Energy Ronald P Landry yang perusahaannya akan menambah investasi di pembangkit listrik mengaku gembira mendengar pernyataan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Aburizal Bakrie yang mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2005 sebagai payung kontrak listrik di Indonesia.

Akan tetapi dia sangat berharap pemerintah memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai PP tersebut. Landry juga mengatakan, investor membutuhkan arahan yang jelas dari pemerintah. Selain itu, dibutuhkan kepastian hukum, transparansi, perlindungan investasi, serta upaya mengurangi birokrasi atau peraturan yang terlalu panjang dan banyak.

Permintaan yang sama disampaikan Peter von Stiegler, Presiden Direktur PT MS Water, perusahaan Jerman yang akan membangun infrastruktur pengadaan air bersih. "Dulu kami pernah mencoba membantu memberdayakan perusahaan daerah air minum melalui suntikan Bank Pembangunan Asia. Hasilnya gagal. Lalu, kami mencoba bekerja sama lagi dengan sejumlah perusahaan swasta di Jakarta, juga hasilnya sama. Setelah dicari, ternyata masalahnya adalah sistem pengelolaan yang buruk dan tidak transparan," ungkapnya.

Duta Besar Belanda Ruud Treffers mengatakan, minat dunia usaha dari Uni Eropa untuk berinvestasi di Indonesia sebenarnya sangat besar. Bidang yang diminati antara lain konstruksi, pembiayaan untuk jalan, jembatan, suplai air bersih, pembangkit tenaga listrik, pembangunan bandar udara, pelabuhan, dan telekomunikasi.

Minat itu dapat direalisasikan dalam waktu dekat jika didukung kepastian hukum. "Hanya transparan dan kepastian hukum yang dapat menciptakan kepercayaan untuk investasi jangka panjang di Indonesia," kata Treffers.

Hal senada diungkapkan Duta Besar Kanada Randolph Mank yang mengatakan dirinya didampingi para investor dari Kanada sedang menjajaki investasi di Indonesia. Selama tiga bulan terakhir, Kanada telah mengumumkan investasi baru senilai 680 juta dollar AS di bidang pertambangan dan migas di Indonesia.

Tawarkan keuntungan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika membuka Pertemuan Infrastruktur mengajak kalangan investor yang hadir dalam pertemuan untuk ikut mengambil kesempatan berinvestasi di bidang infrastruktur yang ditawarkan pemerintah. "Ini merupakan kesempatan yang sangat bagus bagi para pelaku usaha di bidang infrastruktur," katanya.

Presiden juga menekankan pentingnya kerja sama, baik dunia usaha domestik maupun asing, untuk membantu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. "Terjadinya bencana gempa bumi dan gelombang tsunami di Aceh dan Sumatera Utara membuat Indonesia membutuhkan dana yang cukup besar bagi perbaikannya," kata Presiden.

Mengenai daya tarik investasi di Indonesia, Presiden mengatakan pemerintah telah membuat kebijakan khusus, terutama di bidang perpajakan dan administrasi.

Menko Perekonomian Aburizal Bakrie mengakui, Indonesia memang dikenal sebagai negara yang birokrasinya terlalu panjang dan sarat praktik korupsi. Namun, pemerintah saat ini akan berupaya keras untuk mengurangi praktik korupsi.

Aburizal juga mengatakan, pemerintah akan menyederhanakan birokrasi sehingga berbagai perizinan yang terkait dengan birokrasi bisa lebih dipercepat penyelesaiannya.

Menyangkut investasi jalan tol, Fatchur dan Alambai mengingatkan proses pembebasan lahan di lapangan tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Apa yang disepakati atau diatur pemerintah pusat sejak era reformasi tidak selalu ditaati pemerintah daerah. Daerah biasanya membuat kebijakan sendiri yang umumnya menghambat proses investasi.

Kedua pelaku bisnis jalan tol tersebut meminta pemerintah membuat kebijakan yang tegas yang ditaati semua pihak, mulai dari pusat hingga daerah.

Direktur Sistem Jaringan Prasarana Departemen Pekerjaan Umum (DPU) Eduard T Pauner juga mengakui belum dibebaskannya lahan 1.500 kilometer proyek jalan tol. Namun, menurut dia, biaya pembebasan lahan merupakan bagian dari investasi sehingga harus ditanggung investor. (FAJ/OTW/OIN/HAR/JAN/BOY)

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0501/18/UTAMA/1508039.htm



Tuesday, January 18, 2005

Mar’ie Muhammad

Minggu, 16 Januari 2005

LEBIH JAUH DENGAN : Mar’ie Muhammad

GEMPA bumi dan gelombang tsunami yang menerjang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Minggu, 26 Desember 2004, menyisakan kepedihan mendalam. Lebih dari seratus ribu penduduk tewas, bangunan-bangunan yang diguncang gempa roboh disapu tsunami, banyak orang kehilangan tempat tinggal, sanak keluarga, harta benda, dan mata pencaharian.
Peristiwa pedih di provinsi paling barat itu tak hanya menyentuh hati seluruh masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat internasional. Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dari berbagai negara turut ambil bagian dalam tugas kemanusiaan, termasuk Palang Merah Indonesia (PMI).

Apa saja yang dikerjakan PMI untuk menangani bencana tersebut? Di sela kesibukannya, Ketua Umum PMI Mar’ie Muhammad (65) menyempatkan diri memaparkannya kepada Kompas, Jumat (14/1), sebelum ia kembali ke Aceh untuk waktu sepekan pada Minggu (16/1).
Mar’ie, yang siang itu mengenakan kemeja biru dan tampak letih karena setiap hari harus begadang, membuka percakapan di markas PMI Jalan Gatot Subroto Kav 96, Jakarta, dengan melempar pertanyaan, "Apa sebenarnya yang ingin kita tuju?" yang kemudian dijawabnya sendiri.

"Menurut pendapat saya, secara bertahap tetapi konsisten dan pencapaiannya terukur, yang hendak dituju dalam jangka waktu 5-10 tahun yang akan datang melalui berbagai tahapan adalah membangun kembali masa depan Aceh dengan identitas, budaya, adat-istiadat, tradisi, dan kepercayaan mereka.

Pendekatannya dengan kemanusiaan, dengan mengingat bahwa keluarga adalah fondasi. Apalagi di Aceh, kekerabatan sangat dekat, mereka menyatu dengan kaumnya, sering bertemu dalam meunasah (surau). Itulah komunitas terkecil, mereka itu akar rumput masyarakat Aceh, mereka menyatu dengan meunasah.

Mengapa saya mulai dengan pendapat seperti ini? Karena, kalau hanya tertegun dan terperangkap pada masalah fisik, kita akan kehilangan esensi persoalan yang dihadapi. Saya khawatir kita akan masuk ke "semak-semak". Ini hasil kontemplasi dan ini bukan hanya abstrak.

Apa yang saya kemukakan tadi memang tampak absurd, tetapi ini masalah riil. Membangun masyarakat Aceh keseluruhan dengan fondasi tadi, menyatu dengan lingkungan, hanya bisa kalau kita menciptakan kondisi yang kondusif.

Bagaimana membangun lingkungan yang kondusif?

Kita harus membangun masyarakat Aceh secara bertahap, tetapi pasti dan konsisten dalam jangka waktu 5-10 tahun. Mungkin bisa lebih. Kita harus sabar, tetapi tekun dan konsisten. Sekarang ini masyarakat sudah tercabik-cabik karena kehilangan semuanya, tentu kita harus bantu mereka dalam keadaan darurat ini, seperti membantu makanan, minuman, tempat tinggal tenda, memakamkan mayat, mengobati yang sakit, menyatukan kembali keluarga yang terpisah. Kita mulai suatu kondisi sehingga tercapai sasaran yang tadi.

Sekarang kita membagi tenda besar berwarna biru, tetapi sebenarnya saya lebih suka kita tidak membangun barak besar, tetapi membangun tenda keluarga yang kompak ukuran empat kali enam meter yang di bawahnya kita beri kantong tidur. Kemudian di tempat endemi malaria, kita beri kelambu. Dengan tenda keluarga itu, tentu ada privacy, di situ mulai kita ciptakan kondisi rumah tangga, bukan sekadar shelter atau house. Terus terang mencari tenda seperti ini sulit sekali.

Sekarang pengungsi di Aceh jumlahnya 600.000-700.000 orang. Saya tidak kaget karena 50 persen kota-kota di Aceh hancur. Jadi, saya tidak heran kalau 50 persen orang Aceh tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka ini banyak yang menumpang di rumah keluarga, sisanya 600.000-700.000 pengungsi yang tidak memiliki rumah. Jadi, paling tidak kita memerlukan 200.000 tenda keluarga, dan itu sulit mencarinya.

Banyak orang mengatakan kepada saya bahwa saya ini terlalu idealis. Saya bilang tidak. Saya setuju shelter sementara, tetapi dalam jangka menengah dan panjang sebelum kita membangun rumah besar-besaran, kita perlu tenda keluarga, sedangkan membangun rumah memerlukan waktu. Tenda keluarga ini diperlukan untuk masa transisi sebelum mereka diberi rumah oleh pemerintah.

Sejauh apa upaya mendapatkan tenda keluarga itu?

Terus terang sulit sekali mencari tenda keluarga karena biasanya perusahaan menciptakan tenda-tenda besar. Bukan berarti tidak perlu tenda-tenda besar. Itu tetap perlu daripada kepanasan dan kehujanan. Tetapi, dipisahkannya antara suami dengan istri dan anak-anak itu berarti mereka tidak ada privacy. Kebutuhan mereka sebagai manusia harus dipahami: kebutuhan untuk fisik, yaitu makan, kebutuhan biologis, kebutuhan psikis.

Saya pernah melihat di beberapa tempat penampungan di tempat lain, ada antrean laki-laki dan perempuan. Saya pikir mereka mau ke toilet, ternyata mereka ternyata mau melakukan hajat biologis. Itu manusiawi dan wajar. Kan lebih baik kalau ada tenda keluarga. Di situ mereka bisa menerima tamu keluarga yang akan menengok. Jadi, perlu pendekatan yang betul-betul manusiawi.

Seluruh dunia sudah dihubungi untuk secepatnya mengadakan tenda ini. Uangnya ada, bill internasional, tetapi setengah mati saya mencari tenda keluarga ini. Yang butuh tenda begini bukan hanya Indonesia, tetapi juga India, Thailand dan Sri Lanka. Kalau sudah mendapatkan tenda-tenda itu, sangat gampang memasangnya.

Selain itu apa lagi?

Kalau sudah bisa menyatukan keluarga mereka, kita harus lihat mata pencaharian mereka. Kita tidak mau mereka terus-terusan tergantung pada kita. Aceh itu dikelilingi lautan, di Aceh ada 20 sungai besar. Sebagian besar orang Aceh hidup sebagai nelayan. Mereka juga hidup tambak yang hasilnya bagus dan diekspor. Selain itu, mereka juga hidup dari kebun kecil, seperti sawit dan karet. Baru setelah itu, mereka menjadi petani padi.

Sekarang, orang Aceh yang menjadi nelayan dan mempunyai tambak sudah trauma karena diterjang tsunami. Nelayan di Calang dari 5.000 orang kini tinggal 100 orang. Mereka mengalami trauma psikologis sangat berat. Tidak lagi melaut, alat-alatnya hilang, dan tambaknya hancur. Sawah juga rusak. Oleh karena itu, secara bertahap kita harus pikirkan membantu mereka mendapatkan penghasilan kembali.

Jadi, langkah ke depan juga mulai dipikirkan?

Ya, step by step harus jelas kita mau ke mana sehingga orang Aceh tetap merasa betah di daerahnya. Jika tidak demikian, ini yang saya khawatirkan dan sudah mulai terjadi, mereka keluar dari Aceh. Apalagi mereka kehilangan rumah, keluarga, mata pencaharian, dan tinggal sendiri, mereka sudah mulai pindah ke Sumatera Utara dan sudah sampai ke Batam. Mereka eksodus. Ini berbahaya. Karena itu, kita harus ciptakan suatu lingkungan sedemikian rupa sehingga orang Aceh secara bertahap bisa kembali dan merasa at home.

Sekarang, mereka umumnya merasa tidak nyaman. Itu yang banyak tidak disentuh. Kita harus kembali ke tujuan utama, membangun kembali masyarakat Aceh dengan cara manusiawi dan tetap dengan identitas Aceh, nilai, adat istiadat, dan mata pencahariannya.
Ini pendekatan yang harus mulai dirintis dari sekarang. Jangan sampai kita akhirnya terperangkap dan tertegun melihat pohon-pohon hingga kita kehilangan hutannya.

INI adalah bencana terbesar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia. Bagaimana Anda menangani bantuan yang masuk? Apa prioritasnya?

Prioritas mencari tenda keluarga. Sekarang ini bantuan yang masuk dan sudah kami kirimkan ke Aceh seberat 300 ton, yaitu berupa makanan, biskuit, baju-baju baru dan layak pakai, air minum, dan obat-obatan. Kami juga kirim tenaga dokter, perawat, bekerja sama dengan Palang Merah dari negara-negara lain. Misalnya, di Meulaboh, Palang Merah yang pertama kali masuk.
Kami juga bekerja sama dengan Palang Merah Jepang dan Korea. Rumah sakit yang terbengkalai kemudian ditangani dan dikelola agar bisa berjalan lagi. Kami juga bekerja sama dengan Palang Merah Spanyol. Di Meulaboh juga sudah tersedia air bersih, portable water, 75.000 liter sehari. Sampai kemarin sudah satu juta liter kita produksi.

Mengapa kami banyak bergerak ke arah pantai barat, ke Meulaboh dan sekitarnya, karena semua orang ke Banda Aceh. Gerakan Palang Merah dibagi dalam lima zona. Zona operasi pertama: Banda Aceh, Aceh Jaya, Pidie. Zona kedua: Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya (Calang). Zona ketiga: Lhok Seumawe sampai Bireuen.

Zona pertama sampai tiga bisa dibilang operasi kami sudah jalan. Zona keempat: Pulau Simeulue. Di sana, kami sudah terjunkan dokter karena Simeulue cukup jauh dan tidak banyak ditangani. Di situ, kami sudah terjunkan relawan, bikin pangkalan, dan sudah mulai jalan. Zona kelima, saya minta Ketua Pengurus Daerah PMI Sumatera Utara menyiapkan kemungkinan-yang sudah terjadi-adanya eksodus dari Aceh.

Meskipun kami sudah mendekati, tetapi kalau dia mau eksodus bagaimana? Sekarang sudah ada kantong-kantong kecil pengungsi Aceh di Sumatera Utara. Kalau tidak ditangani dengan baik, ini bisa menimbulkan masalah dengan masyarakat lokal tempat dia mengungsi.

Transparansi bantuan di lapangan bagaimana?

Semua bantuan yang kami terima akan diaudit oleh Pricewater House. Bahkan, ruangan untuk menangani keuangan kami pisahkan supaya tidak campur dengan ruangan (kegiatan) yang lain. Bantuan yang kami terima ada dalam bentuk rupiah, ada dollar AS. Sampai Kamis (13 Januari 2004 pukul 15.20 WIB), kami sudah terima Rp 29 miliar (Rp 29.118.007.211 dan 1.500.000 dollar AS-Red). Tiap hari kami umumkan di papan dan kami perbarui di situ.

Apa yang menjadi kendala distribusi bantuan tersebut?

Pengangkutan. Terus terang, orang masukkan ke sini apa saja, kami tidak mungkin menolak. Terus mengangkutnya bagaimana? Banyak sekali bantuan yang masuk, sampai 300 ton.

Gangguan di jalan apa saja?

Ada kapal kita yang kecelakaan (Ketua PMI Abdul Aziz yang berada di satu ruangan melanjutkan keterangan Mar’ie: Kapal yang mengangkut bantuan PMI hari ini (Jumat, 14/1) dari Banda Aceh ke Meulaboh menabrak kapal yang sudah karam. Untungnya, semua relawan sebanyak 30 orang selamat, tetapi barang-barang dari Jepang, seperti alat-alat berat, tenggelam). Mendengar itu Mar’ie terkejut, "Oh My Goodness! Di kapal kita?"

Koordinasi dengan pemerintah bagaimana?

Kami koordinasi. Apa yang kami kerjakan, pemerintah tahu. Ketua PMI ada di Banda Aceh. Juga ada pendamping dari pusat. Saya katakan, pemerintah tahu apa yang kami kerjakan. Palang Merah tidak bisa evakuasi mayat saja. Sampai sekarang sudah hampir 40.000 mayat yang kami evakuasi dan kuburkan. Untuk daerah sulit kami bekerja sama dengan SAR (search and rescue) sehingga bisa lebih efektif. Kami juga melakukan bantuan kemanusiaan. Untuk evakuasi dari rumah ke rumah, para relawan kami lengkapi dengan linggis dan sekop.

Kalau koordinasi berjalan baik, kok masih ada kesimpangsiuran informasi?

Begini, sekarang ini semua orang dalam keadaan panik karena kita tidak pernah memikirkan ada bencana terbesar selama 60 tahun. Yang kita hadapi bukan lagi manajemen untuk bencana biasa, tetapi ini semikiamat, skenario manajemen. Jadi, demikian beratnya bencana ini sehingga bukan hanya tidak terduga, tetapi lebih dari itu, unprecedented.

Akan tetapi, pemerintah memang tidak terbiasa menangani bencana sebesar itu. Oleh karena itu, saya menawarkan program manajemen bencana berbasis komunitas (community based disaster management). Kami, perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah internasional di bawah koordinasi Federasi Palang Merah Internasional siap memberi pelatihan teknis kepada lembaga atau orang-orang pemerintah yang biasa menangani atau diterjunkan dalam bencana. Enggak gampang, lho menangani bencana. Sungguh.

Selama ini setiap terjadi bencana kalau kita tanya bagaimana kondisi makanan bagi para korban, jawabannya selalu saja beras cukup. Jumlah sekian ton. Lho, orang kan makan nasi, bukan makan beras. Kalau ada beras terus diapakan, mau dimasak di mana? Pakai apa? Rumah tidak ada, minyak tanah tidak ada, air bersih pun susah.

Masak para korban disuruh makan beras, mau perutnya sakit! Masih mendingan kalau makan mi, bisa diremas-remas terus dikunyah, tetapi tetap saja tidak bagus. Belum lagi anak-anak.
Meski begitu, saya lihat komitmen pemerintah tinggi untuk mengatasi bencana, termasuk Satkorlak. Sebenarnya, mereka sudah tahu what- nya, tapi how-nya mereka kurang dan perlu ditingkatkan. Karena itu, kami, Palang Merah, menawarkan latihan khusus dan ternyata itu tak mudah. Kami tegaskan bahwa kami tidak mau mengajari, jangan salah mengerti. Lebih karena penanganan bencana butuh keahlian tersendiri. Para bupati dan gubernur kan tidak dilatih untuk itu.

Justru orang-orang yang di bawahlah yang perlu diberi pelatihan khusus sehingga siap sewaktu-waktu. Kami kerja sama di antara Palang Merah negara-negara di ASEAN dan bisa dikoordinasikan Federasi Palang Merah Internasional. Misalnya, ada alert warning, kita harus mengurangi impact-nya, bagaimana menangani, itu perlu latihan khusus.

Selama ini apa tidak pernah ada pelatihan serupa?

Saya pernah diundang setelah kasus bencana Bahorok (Sumatera Utara) oleh Bakornas dan saya sampaikan pandangan saya. Saya mengerti, pemerintah banyak pekerjaan. Kalau gubernur tidak perlu begitu, tetapi pada tingkat manajemen perlu kepemimpinan dalam soal itu. Jadi, diperlukan latihan pada tingkat kepemimpinannya maupun pada tingkat manajer, dan pada tingkat pelaksana bagaimana kalau ada bencana berskala besar, bagaimana kita menanganinya sehingga lebih terorganisasi. Sekali lagi saya katakan, kami tidak bermaksud mengajari, ini cuma sumbangan pikiran, jadi jangan salah mengerti.

Khusus PMI, bagaimana merekrut relawannya?

Pola perekrutan relawan PMI itu khusus. Yang kami butuhkan perawat, psikolog. Sekarang kami sudah kirimkan 1.200 sukarelawan dan mereka yang sudah tiga minggu kami ganti.
Itu sudah lama merekrutnya dan mereka sudah berpengalaman terjun dalam menangani kasus bom Bali, bencana di Alor, dan lain-lain. Mereka punya keterampilan dasar yang memadai dan tergabung dalam satuan penanggulangan bencana (Satgana-bagian dari Korps Sukarelawan/KSR, tetapi lebih elite).

Hari ini kami kirim lagi 40 orang untuk mengganti relawan yang sudah keletihan di Meulaboh. Besok juga kami kirim 40 orang. Di internal kami akan melipatgandakan kemampuan (capacity building) PMI. Kuantitas dan kualitas relawan akan terus ditambah, terutama dari kalangan generasi muda. Tetapi, terus terang semua itu tidak mudah.

Apakah terkait dengan masalah antusiasme?

Antusiasme itu sebenarnya ada, tetapi kebanyakan orang kita, maaf ya, kadang naik-turun semangatnya. Padahal kan yang namanya relawan itu mesti selalu siap, gerak cepat, turun ke sana-turun kemari. Relawan harus cepat bergerak, bikin tenda, mengobati orang. Itu tidak gampang lho. Kalau relawan tidak terlatih dengan baik, ia justru akan menjadi beban karena tidak bisa mengurusi diri sendiri. Ingat, kita hanya bisa menolong orang kalau kita sendiri bisa survive. Itu prinsipnya.

Kondisi yang ada sekarang bagaimana?

Memang ada relawan yang menjadi beban, tetapi saya kira hanya sedikit. Ada juga relawan yang bekerja dengan sangat baik. Yang jelas, sekarang ini sungguh saya tidak pernah melihat antusiasme menolong orang lain sehebat ini. Ini merupakan hal positif, khususnya bagi masyarakat Aceh sekarang. Solidaritas internasional dan nasional sungguh luar biasa dan ini modal sosial yang besar dan harus kita jaga benar. Tinggal bagaimana caranya kita menjaganya agar ketika ada bencana lagi solidaritas serupa bisa kita tunjukkan.

Caranya?

Pemerintah harus menjaga momentum ini. Saya bilang, ini benar- benar golden period, kesempatan emas. Tinggal bagaimana kita mengapitalisasikan itu semua.

Soal pemberangkatan sukarelawan PMI?

Kami sudah paling efisien. Untuk Satgana kami carter pesawat, dengan Rp 200 juta kami bisa membawa 118 orang dan pulangnya bisa kami isi sukarelawan yang sudah keletihan. Kami juga bisa membawa banyak barang. Unutk pemberangkatan, kami bisa atur. Sukarelawan yang sudah pulang juga harus kami debriefing supaya mereka jangan trauma. Kalau mereka trauma, ada konseling.

Mengenai isu kekurangan stok darah di Aceh?

Mengenai stok darah, saya sudah keluarkan surat dan sudah diatasi. Bukan kekurangan stok, tetapi menipis. Jadi back up, baik di Jakarta maupun Sumatera Utara dimobilisasi. Kemarin sudah akan dikirim 60 kantong darah segar ke Banda Aceh. Selain itu, saya juga sudah minta ke Sumatera Utara untuk lebih memobilisasi donor darah sukarela.

Pewawancara:
GESIT ARIYANTO
ELOK DYAH MESSWATI

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0501/16/naper/1501219.htm

Rencana PBB untuk Kemiskinan

Rabu, 19 Januari 2005

PBB Mengajukan Rencana untuk Atasi Kemiskinan

New York, Senin - Sebuah tim internasional yang disponsori oleh PBB, Senin (17/1), mengusulkan sebuah rencana yang terinci dan ambisius. Rencana itu disebutkan bisa mengurangi kemiskinan global hingga setengah dan menyelamatkan jutaan nyawa anak- anak dan ratusan ribu ibu tiap tahunnya sebelum tahun 2015.

Dalam laporan yang disebut sebagai "Proyek Milenium" Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu dikatakan, kemiskinan dalam berbagai bentuknya- kelaparan, buta huruf, dan penyakit-dapat dikurangi secara drastis. Untuk mencapai tujuan itu, negara-negara industri harus menggandakan bantuan bagi negara-negara miskin, dari seperempat persen selama ini menjadi setengah persen dari pendapatan nasionalnya.

"Yang kita bicarakan adalah mengenai negara-negara kaya agar memberikan 50 sen dari tiap 100 dollar pendapatan untuk membantu rakyat termiskin di dunia mendapatkan tempat berpijak di tangga pembangunan," kata Prof Jeffrey D Sachs dari Columbia University, yang ditunjuk Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan tahun 2002 untuk mengepalai proyek itu.

Kemiskinan global, menurut laporan yang disponsori PBB itu, dapat dikurangi menjadi setengahnya sebelum tahun 2015 dan dihapus sebelum tahun 2025 apabila negara-negara terkaya di dunia-termasuk AS, Jepang, dan Jerman-lebih dari sekadar melipatduakan bantuan bagi negara-negara paling miskin.

Ini adalah urusan hidup mati bagi puluhan juta rakyat miskin dunia, demikian tertulis dalam laporan yang disiapkan oleh 265 ahli pembangunan terkemuka dunia itu.

"Apa yang kami usulkan adalah sebuah strategi penanaman modal untuk membantu memberdayakan kehidupan orang- orang yang paling miskin, yang tidak memiliki alat, dan kadang-kadang bahkan tak punya cukup untuk bertahan hidup, jangankan menjadi anggota ekonomi dunia yang produktif," kata Sachs yang memimpin upaya antikemiskinan PBB, seperti dikutip The New York Times terbitan Selasa (18/1).

Penanaman modal itu berkisar dari sekolah, klinik, air minum dan sanitasi sampai pupuk, jalan, listrik, dan transportasi untuk membawa barang-barang itu ke pasar.

Laporan itu menyebutkan angka harapan hidup di negara-negara termiskin adalah setengah dari angka harapan hidup di negara-negara berpendapatan tinggi, yaitu sekitar 40 tahun. Dan, setiap bulan, misalnya, 150.000 anak-anak Afrika meninggal karena malaria karena mereka tak punya kelambu untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk, sebuah tragedi yang disebut Sachs sebagai "tsunami bisu".

Bukan khayalan

Rencana yang ditulis oleh para ahli dunia itu menyebutkan, dana harus dipakai untuk proyek-proyek jangka panjang maupun proyek jangka pendek, seperti menyediakan kelambu dan membuat program makan siang gratis di sekolah. Hal ini akan memungkinkan negara-negara mencapai tujuan global untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit yang dijanjikan semua negara pada pertemuan puncak PBB tahun 2000.

Kofi Annan, yang menerima laporan itu dari Dr Sachs, mengatakan, sasaran dari proyek itu bukanlah khayalan, tetapi bisa diwujudkan.

"Sasaran Pembangunan Milenium" yang disepakati semua negara tahun 2000 itu antara lain mengurangi kemiskinan dan kelaparan menjadi setengahnya, menghentikan penyebaran AIDS dan malaria, serta menyediakan pendidikan dasar sebelum tahun 2015.

Sedangkan laporan yang baru adalah menjabarkan rencana-rencana untuk mencapai sasaran-sasaran itu dengan menetapkan batas waktu bagi proyek-proyek spesifik yang kerap kali sederhana, yang menurut para ahli telah terbukti berjalan.
Hal itu antara lain dengan menyediakan pupuk bagi petani, membetulkan jalan, menghapus uang sekolah, serta membuka pasar bagi barang-barang dari negara-negara miskin.

Laporan itu akan disampaikan pada pertemuan negara- negara G8 bulan Juli dan pada pertemuan para pemimpin dunia bulan September di Sidang Umum PBB, yang diharapkan menjadi ajang penetapan agenda pembangunan global.

AS ketinggalan

Tahun 1970, negara-negara dunia bersepakat untuk menyediakan 0,7 persen dari produk nasional bruto (GNP) mereka untuk bantuan pembangunan. Angka itu ditegaskan kembali dalam konferensi PBB mengenai pendanaan pembangunan di Monterey, Meksiko, tahun 2002.

Sejauh ini, hanya lima negara yang telah mencapai atau melewati target itu, yaitu Denmark, Luksemburg, Belanda, Norwegia, dan Swedia. Lima negara lainnya, yaitu Belgia, Finlandia, Perancis, Irlandia, Spanyol, dan Inggris, telah menyatakan akan mencapai target itu sebelum tahun 2015.

Namun, 11 dari 22 negara donor terkaya, menurut Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan yang bermarkas di Paris, jauh dari target dan belum menetapkan batas waktu untuk mencapai itu, termasuk AS, Jepang, dan Jerman.

Bantuan pemerintah dari negara-negara kaya seharusnya mencapai 135 miliar dollar AS tahun 2003. Pada tahun 2005 seharusnya meningkat menjadi 195 miliar dollar AS atau sekitar 0,54 persen dari GNP negara-negara itu, sekitar dua kali dari tingkat yang sekarang untuk mencapai sasaran-sasaran Milenium.

Namun, AS dengan perekonomiannya yang sebesar 12 triliun dollar AS ternyata harus betul-betul meningkatkan kontribusinya. Walau AS merupakan donor terbesar di dunia, di antara 22 negara industri, AS memberikan kontribusi paling kecil dari proporsi GNP-nya pada bantuan pembangunan.

Washington memberikan sekitar 0,16 persen atau 25 miliar dollar AS. Untuk mencapai target 0,7 persen dari GNP-nya, AS harus memberikan 80 miliar dollar AS.

Sachs mengatakan, jajak-jajak pendapat memperlihatkan warga AS mengira 25 persen dari anggaran federal AS dan 5 persen dari GNP telah disumbangkan bagi bantuan asing.

Jepang, raksasa ekonomi nomor dua dunia, juga rendah kontribusinya dengan 0,20 persen, seperti juga Italia dengan 0,17 persen dan Jerman dengan 0,27 persen.

Menurut laporan itu, apabila semua 22 negara kaya dunia memberikan uang yang mereka janjikan, lebih dari 500 juta orang dapat lepas dari kemiskinan dan puluhan juta lainnya dapat terhindar dari kematian pada dekade mendatang.

Jika negara-negara itu menepati janji mereka memberikan bantuan sebesar 0,7 persen untuk satu dekade lagi, kata laporan itu, sebelum tahun 2025 kemiskinan parah dapat dihapuskan untuk 500 juta orang.

"Generasi kita untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia benar-benar dapat mengusahakan bahwa kemiskinan parah di planet ini berakhir, tidak hanya dikurangi setengahnya, tetapi dihapus sebelum tahun 2025," kata Sachs.

Laporan itu akan merekomendasikan agar beberapa negara miskin yang berpemerintahan baik-seperti Mali, Burkina Faso, Etiopia, Ghana, dan Yaman-diberi bantuan cepat dan negara-negara yang bercatatan HAM buruk-seperti Belarus, Myanmar, Korea Utara, dan Zimbabwe-agar tak mendapat bantuan skala besar.

Negara-negara menengah dengan kantong-kantong kemiskinan parah, seperti China, Brasil, Malaysia, Meksiko, dan Afrika Selatan, harus menghapus kantong-kantong kemiskinan itu.(AP/REUTERS/DI)

sumber: