Thursday, July 07, 2005

Manusia Mencari Bahagia

Jumat, 08 Juli 2005

Keserakahan adalah Penderitaan
Jakob Sumardjo

Setiap orang menginginkan hidup bahagia. Setiap orang tidak menginginkan hidup menderita. Selama hidup di dunia ini manusia ingin bahagia, dan sesudah kematian pun ingin hidup bahagia. Kadang manusia rela hidup menderita, dengan harapan dapat hidup bahagia di surga. Tetapi apakah kebahagiaan itu?

Kebahagiaan, seperti halnya kebenaran, keadilan, keindahan, kebaikan, adalah nilai kualitas. Kebahagiaan dan kebaikan itu hanya terasakan adanya. Manusia merasakan kebaikan dan kebahagiaan orang lain. Manusia tidak menyadari kebaikan dan kebahagiaannya sendiri. Manusia selalu merasa kurang baik dan kurang bahagia meskipun orang lain mengatakannya sebagai baik dan bahagia.

Sebagaimana kata sifat yang lain, bahagia berada di luar pengalaman manusia. Bahagia itu terlalu besar dan terlalu luas bagi manusia. Bahagia itu berada di luar manusia, tak terbatas. Karena tak terbatas, maka kehadirannya pada manusia juga hanya bagian-bagiannya saja. Keindahan dan kebaikan juga demikian. Selama hidup di dunia ini manusia tidak mungkin mengalami dan memahami kebahagiaan, keindahan, kebaikan, kebenaran, keadilan, yang absolut dan sebenar-benarnya itu. Kebahagiaan adalah kualitas yang begitu akbar.

Inilah sebabnya orang tidak pernah sepakat tentang suatu rumusan apa yang disebut bahagia. Rumusan tentang suatu kualitas keberadaan selalu merupakan reduksi atau pemiskinan kualitas itu sendiri. Itu semua karena kebahagiaan itu hanya hadir sepotong-sepotong pada manusia.

Manusia itu terbatas oleh kodratnya, dan dengan demikian tak mungkin memasuki kualitas yang tidak terbatas itu. Tidak mengherankan apabila manusia cenderung mempunyai agama. Agama-agama menjanjikan hidup bahagia setelah kematian. Kebahagiaan itu kebahagiaan absolut karena akan bersama Tuhan yang Kebahagiaan, Kebaikan, Keadilan, Keindahan, Kebenaran itu sendiri. Semua tanpa batas. Kita pun tak berani membayangkannya.

Kita hanya dapat percaya. Hanya saja agama-agama tidak menjanjikan hidup di dunia ini selalu bahagia. Pepatah rakyat Yugoslavia mengatakan bahwa Tuhan tidak mencintai manusia yang selalu hidup ”bahagia”. Atau pepatah China: kalau tidak ada penderitaan, tak mungkin Sang Budha ada.

Penderitaan di dunia, ketidakbahagiaan di dunia, menjadi salah satu syarat menemukan Kebahagiaan Abadi. Dunia ini samudra air mata, begitu sabda Sang Budha. Berbahagialah hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa. Jadi, untuk tidak bahagiakah manusia hidup? Dan mengapa manusia mengejar apa yang disebut bahagia? Bahagia macam manakah yang ada dalam hidup ini? Apakah hidup bahagia itu sama dengan hidup bersenang-senang? Apakah penderitaan itu juga dapat bahagia?

Ternyata kebahagiaan tidak ada hubungannya dengan kekayaan dan kemiskinan. Kebahagiaan adalah sejenis sikap, suatu cara berpikir dan cara mengada. Kebahagiaan tidak ditentukan oleh hal-hal di luar diri manusia. Kebahagiaan itu ada dalam diri tiap manusia itu sendiri, tinggal memilih apakah saya akan hidup bahagia atau tidak.

Tidak ada bahagia tanpa cinta. Tentu saja berbeda antara cinta dan ”cinta”. Cinta itu sendiri adalah kualitas, begitu besar dan tanpa batas yang jelas. Tetapi tiap manusia merasakan getaran hadirnya Cinta itu. Celakalah manusia yang hatinya tidak tergetar, nuraninya mati, ketika matanya tidak melihat Cinta, ketika telinganya tidak mendengar lagi Cinta. Hiduplah dalam Cinta seperti engkau lihat Cinta itu hadir di sekitarmu.

Tidak ada bahagia tanpa kebenaran dan kebaikan. Kebenaran dan kebaikan juga kualitas yang dapat jadi masalah kalau dirumuskan secara rasional. Yang benar dan yang baik hanya ada di kepala tiap orang. Suatu perbuatan bisa tidak baik dan tidak benar bagi seseorang, tetapi bisa benar dan baik bagi yang lain. Namun sebagaimana kebahagiaan, kebenaran dan kebaikan adalah kehadiran lewat perbuatan. Bahagialah manusia yang matanya mampu melihat kebaikan dan kebenaran, telinganya mampu mendengar kebaikan dan kebenaran, dan hati nuraninya tergetar oleh apa yang dilihat dan didengarnya.

Hiduplah dalam kebaikan dan kebenaran, karena dosa adalah sumber kedukaan. Celakalah mereka yang mati hati nuraninya terhadap kebaikan dan kebenaran, karena kedukaan mereka akan abadi. Tidak ada kebahagiaan tanpa kegembiraan dan suka cita. Suka cita itu juga kualitas. Bobotnya bisa berbeda-beda. Suka cita sejati adalah kebohongan, penuh permainan, tanpa beban, gratis terberi, dan mencukupi diri sendiri. Humor dan ketawa itu mahal harganya. Sebuah suka cita sanggup melenyapkan seribu duka, begitu pepatah China. Manusia harus berlatih diri untuk dapat menguasai sikap suka cita ini.

Suka cita adalah sikap penuh harapan, optimistik, tanpa beban meskipun berbeban, santai penuh permainan. Dalam permainan, kalah dan menang, berhasil dan kegagalan, hanyalah masalah waktu. Untuk itu diperlukan kesabaran, menerima apa yang memang tak terelakkan, karena manusia memang memiliki batas.

Tidak ada bahagia tanpa merasa puas atas kecukupannya. Manusia yang tidak pernah merasa puas dan tidak merasa cukup adalah penderitaan. Ibaratnya ular yang mau menelan gajah. Di sini kemiskinan menjamin kebahagiaan. Manusia yang tidak pernah merasa cukup, manusia serakah, tidak akan puas kalaupun harta seluruh dunia menjadi miliknya; kalaupun seluruh umat manusia di bawah perintahnya. Orang begini, surga pun dicelanya. Kritiknya tiada habis karena orang begini tidak mengenal kesempurnaan dan kesederhanaan.

Tidak ada bahagia tanpa kedamaian dan ketenteraman. Ini juga kualitas, kehadirannya hanya bisa diselami, dirasakan, oleh yang mengalaminya. Hati yang damai menikmati semua yang datang padanya, juga penderitaan. Mereka yang menolak sakit, menolak kematian, menolak kekurangan, menolak kegagalan, adalah penderitaan.

Itulah beberapa rumusan rasional tentang hidup bahagia. Jelas ini tidak memadai. Mereka yang bahagia tentu akan merasakan bahwa banyak aspek bahagia tidak disebabkan di sini. Bahagia itu tidak dapat dirumuskan, tidak dapat dikatakan. Ia ada, hadir, tanpa terasa, tetapi memang ada dan terasa bagi orang lain. Mereka yang bahagia tidak akan merasakan berlalunya waktu. Mereka yang bahagia terjebak dalam kekinian, yakni keabadian. Waktu manusia tidak cukup untuk menampung apa yang disebut manusia bahagia.

Mereka yang bahagia, cerdas dalam nurani, dalam spiritualitas. Spiritualitas berarti berkaitan dengan keseluruhan yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih kaya, sehingga keterbatasan manusia diletakkan dalam cakrawala baru. Bahagia adalah kreatif, bukan konsumtif. Produktif, bukan mandul. Kemandegan adalah ketidakbahagiaan.

Jakob Sumardjo Esais, Tinggal di Bandung

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0507/08/humaniora/1854682.htm


Jumat, 08 Juli 2005

Dari Pengasuh
Standar

Hidup apa yang kita hidupi ini? Ketika tradisi yang selama ini mengikat kita dengannya memupus, acuan-acuan lama mengabur, acuan lama hanya remang dan standar tempat kita bersandar goyah permanen? Apa kemudian yang menjelaskan keberadaan kita, sebagai manusia, orang Indonesia, atau makhluk yang bersituasi?

Keruwetan ukuran, standar-standar yang menjelaskan kekinian kita, membuat sebagian kita lupa atau tak peduli hal-hal sepele yang sebelumnya begitu esensial. Taruhlah seperti ”bahagia”, situasi kemanusiaan yang direnungi oleh penulis ”teroka” kali ini, Jakob Sumardjo.

Esais yang ahli sastra, seni pertunjukan, dan profesor dari Bandung ini mengingatkan kita kembali pada bahagia, yang standar dan rukun-rukunnya terkacaukan oleh ukuran-ukuran material zaman ini. Begitukah? Mari kita renung bersama. Material!

Radhar Panca Dahana

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0507/08/humaniora/1873441.htm