Sunday, December 19, 2004

Disintermediasi Perbankan

Kompas, Senin, 20 Desember 2004

Stiglitz dan Disintermediasi Perbankan

SANGAT jarang negara kita menyelenggarakan seminar bertaraf internasional dengan pembicara yang berkaliber pengguncang jagat, yang mampu menggoyah tatanan sekuat Dana Moneter Internasional. Pergelaran inilah yang ditampilkan Bank Indonesia pada 15 Desember dan 16 Desember dengan menghadirkan tokoh kondang peraih hadiah Nobel 2001, Joseph E Stiglitz, sebagai maskot dalam seminar yang membicarakan masalah sentral yang menerpa Indonesia, yakni "disintermediasi perbankan".

SELAIN dari Dr Stiglitz, peserta seminar juga mendapatkan informasi yang bermanfaat dari ekonom lokal bertaraf global, Dr Iwan Jaya Azis, Country Director ADB, Senior Director Bank Dunia, Washington, dan juga dari pejabat teras papan atas yang berasal dari Bank Sentral Argentina, Korea, Jepang, Thailand, dan-yang tak kalah kualitasnya-dari Bank Indonesia (BI) sendiri. Topiknya pun sangat relevan bagi Indonesia.

Bagaimana cara kita merajut ulang negara ini amat bergantung pada bagaimana kita mendiagnosis permasalahan yang melilit negara kita sebelum kita bisa merumuskan resep pemecahannya. Pada tahap diagnosis, dari sudut mana kita menatap permasalahan memainkan peran kunci. Sudut yang terbatas menghasilkan dimensi pandang yang cupet sehingga diagnosanya pun keliru. Alhasil, resep penyembuhan yang ditulis dari diagnosis yang keliru bukannya meringankan derita sang pasien, malah lebih menyengsarakan dan membahayakan sang pasien.

Itulah prahara yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997- 1998 akibat kekeliruan diagnosis dan resep yang disadurkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan kesimpulan tentang kekeliruan diagnosis IMF ini pula yang menjadi tema utama yang mengantar Stiglitz menjadi maestro ekonomi.

Stiglitz menyimpulkan bahwa resep IMF untuk menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) hingga 70,7 persen pada 1998 di kala perusahaan-perusahaan tengah sekarat akibat ketidakmampuan membeli bahan baku impor pada kurs yang melambung dari Rp 2.500 ke sekitar Rp 15.000 per dollar AS merupakan pangkal utama dari munculnya gelombang gulung tikarnya perusahaan dan pemutusan hubungan kerja. Untuk membeli bahan baku saja sudah setengah mati, apalagi harus membayar beban bunga yang jauh lebih tinggi. Bagi pengusaha, lebih baik bubar jalan.

PHK massal pun terjadi bersahutan, seolah ada kesepakatan bersama dari banyak pengusaha untuk menciutkan skala perekonomian nasional dan memaksimalkan risiko kebangkrutan nasional (default risks).

Indonesia mengalami lebih dari stagflasi (munculnya stagnasi dan inflasi secara bersamaan) karena yang terjadi bukan stagnasi perekonomian, tetapi depresi perekonomian. Produk Domestik Bruto (PDB=GDP) kita menciut jadi minus 13,13 persen pada tahun 1998.

Disintermediasi

IMF berpikir dengan menaikkan suku bunga setinggi langit, modal yang lari bersama dengan pemiliknya yang cemas akan keselamatan dirinya akan kembali. Cukup naif tetapi fatal akibatnya. Gelombang gulung tikar dan PHK ini menghancurkan prospek berusaha, memangkas daya beli, dan menciutkan pasar dan industri. Akibatnya, perusahaan yang masih sehat pun jadi tidak sehat. Proses pemburukan keadaan ini berlangsung secara cepat dan menyeluruh, dan berujung pada penggembungan kredit bermasalah (non performing loans). Bank-bank jadi trauma, kapok dan enggan mengalami nasib serupa. Keengganan serupa juga berlaku bagi dunia usaha. Terjadilah disintermediasi perbankan, atau macetnya fungsi utama bank sebagai perantara dari penyimpan dan peminjam.

Perilaku bank sebelum dan sesudah krisis sangat bertolak belakang. Bila sebelum krisis bank teramat agresif dalam menyalurkan kredit, setelah krisis malah terkesan teramat enggan. Grafik 1 menunjukkan sikap jorjoran dari bank. Rasio kredit terhadap dana yang dihimpun (loan to deposit ratio/LDR) sejak 1989 hingga Februari 1999 berada di atas 100 persen. Aneh tetapi nyata! Ini mungkin yang merupakan awal petaka nasional. Praktik KKN terwujud melalui pemberian kredit tanpa peduli pada kelayakan usaha yang dibiayainya. Akibatnya, industri perbankan limbung semasa krisis. Kini, setelah krisis, bank terkesan tidak bergairah menjalankan fungsi utamanya.

Beberapa panelis menyebut bank (dari sisi suplai) sebagai penyebab disintermediasi perbankan, sementara panelis lain menyebut kurangnya permintaan akan kredit (lack of underlying bankable activity). Yang datang ke bank minta dana adalah mereka yang tidak bankable (tidak layak dibiayai bank), yang dicurigai memiliki niat tidak terpuji, sementara pengusaha yang bankable, yang usahanya sehat lebih memilih menggunakan dana sendiri atau mengeluarkan obligasi yang tenornya lebih panjang dari yang bank minati.

Tudingan kepada bank lebih banyak dilandaskan kenyataan bahwa dana di sistem perbankan berlimpah, tetapi tidak disalurkan ke dunia usaha. Krisis tidak membuat dana pihak ketiga berkurang, malah bertambah setiap tahun, dari Rp 535,5 triliun pada 1998 hingga Rp 889,5 triliun per Oktober 2004.

Stiglitz pun mengamati secara cermat fenomena ini. Sewaktu krisis yang terjadi cuma flight to quality, yang punya dana memindahkan depositonya ke bank yang lebih sehat. Dana dari penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pun diperkirakan kembali pula ke sistem perbankan. Ini dari sisi pasiva neraca bank. Di sisi aktivanya, terjadi penurunan drastis dari Rp 512,7 triliun pada 1998 ke Rp 226,5 triliun pada 1999, atau turun Rp 286,2 triliun berupa NPL yang pindah ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), meski BPPN memberi catatan berbeda tentang jumlah NPL yang dikelola divisi AMC-nya, yaitu Rp 346,7 triliun.

Penurunan akibat NPL ini kemudian ditutup obligasi pemerintah pada 1999 tanpa aliran dana segar. Klaim perbankan pada pemerintah naik dari Rp 0,7 triliun pada 1998 ke Rp 268,7 triliun pada 1999. Secara neraca berimbang, tetapi secara cash-flow, dana masih melimpah di sistem perbankan, tetapi bank masih belum menjalankan fungsi utamanya untuk membiayai perputaran roda usaha.

Risiko usaha dianggap masih tinggi. Lebih enak menaruh dananya, antara lain, di SBI. Suku bunga SBI masih lebih tinggi dari suku bunga deposito, dan spreadnya (antara suku bunga SBI dan deposito) pun kian melebar selama kuartal keempat 2004. Tanpa risiko dan tanpa kerja keras, bisa memastikan keuntungan. Selain pada SBI, dana dari pihak ketiga pun bisa disalurkan untuk obligasi.

Stiglitz mengusulkan untuk meninjau ulang kebijakan yang membolehkan bank menggunakan dana untuk membeli obligasi. Memang tampaknya ada alasan untuk menyalahkan bank juga sebagai penyebab disintermediasi perbankan, tetapi lebih banyak lagi alasan kurangnya permintaan kredit sebagai penyebab utamanya.

Catatan

Langkah paling aman dan termudah untuk menyikapi kontroversi penyebab disintermediasi perbankan adalah menyimpulkan keduanya (baik bank selaku penyuplai dana dan pengusaha yang minta kredit) sama-sama berkontribusi pada macetnya fungsi intermediasi perbankan.

Sikap demikian mengaburkan peran bank dalam perekonomian. Peran bank senantiasa sebagai pendukung dan tidak memegang kemudi. Bank tidak bisa beroperasi tanpa perusahaan selaku pengguna kredit, tetapi perusahaan bisa beroperasi tanpa bank.

Hasil penelitian dari Profesor Stiglitz di 11 negara sumber dana bagi pembentukan modal berasal dari dalam (91,9 persen), yaitu dari laba yang disimpan (retained earnings). Untuk Indonesia, dana investasinya diperoleh dari sumber internal sebesar 99,98 persen. Kredit bank hanya berperan sebagai dana pendukung bagi perusahaan yang berniat untuk memperluas skala operasinya atau investasi.

Prinsip utamanya adalah banks follow the business dan tidak pernah terbalik. Kausalitas berawal dari sisi permintaan ke penawaran. Karenanya, disintermediasi perbankan mesti diurut dari kurangnya aktivitas bisnis yang layak dibiayai atau underlying bankable activity (domestic demand deficiency) akibat dari iklim usaha yang kurang mendukung.

Pemerintah harus berperan aktif menciptakan katalis (terutama penciptaan proyek-proyek infrastruktur) guna menggairahkan permintaan domestik. Bangkitnya gairah usaha akan meningkatkan permintaan akan kredit. Tetapi, ini perlu dukungan kebijakan suku bunga pinjaman yang rendah.

Kebijakan penurunan suku bunga SBI (easing policy bias) sejak 2002 berhasil meningkatkan PDB dan sejak Februari 2004 berhasil menurunkan spread suku bunga antara pinjaman dan deposito. Yang tersisa, hanya tugas membuat suku bunga SBI lebih rendah dari suku bunga deposito sehingga bank juga terpacu untuk menjalankan fungsi utamanya sebagai pendukung sektor bisnis.

Disintermediasi perbankan niscaya akan lenyap. Tidak perlu men-"tabu"-kan yang tidak perlu karena sang maestro Joseph Stiglitz pun mengakhiri seminar ini dengan berpesan bahwa suku bunga SBI yang sedikit di bawah angka inflasi (negative real rate) bisa bermanfaat bagi Indonesia.

[Steve Susanto Head of Danareksa Research Institute]

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0412/20/finansial/1446531.htm

Wednesday, December 15, 2004

Pengusaha "Gurem" ke Mabes PBB New York

Selasa, 14 Desember 2004

Titik Winarti, Pengusaha "Gurem" ke Mabes PBB New York

KOTA New York hari Kamis pagi 18 November 2004 terasa dingin bagi Nyonya Titik Winarti (34), asal Wonocolo, Surabaya, Jawa Timur. Namun, dingin itu berubah menjadi hangat ketika pengusaha mikro lulusan sekolah lanjutan tingkat atas itu memasuki Ruang Konferensi II Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di tepi Sungai New York."Saya deg-degan ketika mulai bicara. Penerjemah saya Pak Ruslan Prijadi dari Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia," tutur Ny Titik. "Saya mengatakan, modal saya untuk usaha cuma kendel (berani) dan pasrah kepada Yang di Atas. Saya juga cerita sekitar 80 persen orang yang kerja di tempat saya adalah penyandang cacat tubuh."

Waktu yang diberikan untuk Ny Titik adalah lima menit, tetapi akhirnya dia berbicara sampai 11 menit karena hadirin ingin mendengar lebih jauh ibu beranak tiga orang ini berkisah tentang usahanya yang berawal tahun 1998 dengan modal Rp 500.000. Hadirin bertepuk tangan sampai lima kali.

Seusai dia bicara, wartawan yang sehari-hari meliput di Markas Besar (Mabes) PBB merubung Ny Titik. Istri Sekjen PBB, Nane Annan, Putri Mathilda dari Belgia, Ketua United Nations Development Program Mark Malloch, dan duta besar negara-negara di PBB juga menghampiri Ny Titik, memberi salam serta menciumnya.

"Putri dari Belgia mengatakan ia akan selalu berdoa untuk usaha saya. Dia bilang agar saya terus maju, jangan takut walau melakukan usaha seorang diri," tutur Ny Titik.

Ny Titik berada di PBB untuk menghadiri pencanangan Tahun Internasional Kredit Mikro 2005 tanggal 18 November 2004 setelah memenangi lomba Microcredit Award 2005 yang diselenggarakan Komite Nasional Pencanangan Tahun Mikro Kredit Internasional 2005.

Selama 10 hari, Ny Titik berada di Amerika Serikat. Dia menginap di rumah Perwakilan Tetap RI untuk PBB di New York. "Selama di New York, saya tidak menghitung hari karena saya senang sekali," ujar Ny Titik.

KETIKA kehidupan ekonomi Indonesia hancur berkeping-keping tahun 1998, Ny Titik Winarti bersama suaminya, Yudho Darmawan, memulai usaha membuat pakaian, tas, aksesori, dan barang kerajinan dari kain atau perca. Ny Titik meminjam uang Rp 500.000 dari Koperasi Setia Bhakti Wanita Surabaya sebagai modal awal.

"Untuk membantu usaha, saya minta tenaga kerja dari panti penampungan remaja putus sekolah Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur di Surabaya," kata Ny Titik.

Para remaja itu ditampung di rumahnya seluas 200 meter persegi. Penjualan hasil kerajinan dari usaha ini cukup maju. "Hingga suatu hari tahun 2002 saya mendapat bantuan pinjaman dari PLN Jawa Timur dan bantuan promosi hasil usaha. Kemudian PLN Jatim mengajak pameran ke Arab Saudi. Bagi saya, ini mukjizat," ujarnya. "Jadi, sampai saat ini saya belum pernah berurusan dengan kredit bank."

DUA tahun sebelum mendapat bantuan dari PLN, Ny Titik didatangi beberapa tunadaksa dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur yang meminta pekerjaan.

"Iba hati saya mendengar permintaan mereka. Saya tampung, saya latih menjahit dan membuat kerajinan tangan dari kain. Ternyata orang-orang tunadaksa ini lebih tekun. Kini dari 40 orang yang bekerja di tempat saya, 28 orang di antaranya adalah para tunadaksa itu," ujarnya.

Para pekerja itu, kata Ny Titik, tidur di setiap celah yang ada di rumahnya. Bahkan, ketiga anaknya yang praremaja, Ade Rizal, Aribowo, dan Maulana, tiap malam rela tidur di atas tikar di depan televisi ruang keluarga.

Selama empat tahun ini Ny Titik sudah melatih banyak tunadaksa dan putus sekolah. Selama dua bulan masa latihan, mereka tinggal di rumah Ny Titik. Tidak semua menjadi pegawai Ny Titik. Banyak di antara mereka yang juga bekerja di tempat lain, di perusahaan atau mandiri.

"Sekarang banyak perusahaan pesan tenaga kerja terlatih dari tempat saya. Tetapi, tempat saya kan bukan yayasan atau balai latihan kerja yang ditopang suatu lembaga. Jadi, saya tidak bisa selalu memenuhi permintaan itu," ujarnya.

Tahun 2003 modal usaha Ny Titik mencapai Rp 35 juta dengan penjualan hasil produksi sebesar Rp 120 juta. Penjualan barang kerajinannya sampai ke Bali, Jakarta, beberapa kota di Timur Tengah, dan beberapa negara di Asia Tenggara.

BAGAIMANA Ny Titik sampai ke PBB? Begini ceritanya.

Tanggal 2-4 Februari 1997 di Washington, Amerika Serikat, diadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Mikrokredit. KTT ini mengeluarkan janji bersama menanggulangi kemiskinan global dengan target pengentasan 100 juta orang miskin di seluruh dunia pada tahun 2005. Caranya antara lain dengan pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin untuk mengembangkan usaha melalui kredit mikro.

Sidang Majelis PBB tahun 1998 memutuskan tahun 2005 sebagai Tahun Kredit Mikro Internasional, peluncurannya direncanakan di Markas PBB New York tanggal 18 November 2004. Pada saat yang sama, setiap negara anggota PBB, termasuk Indonesia, juga meluncurkan hal sama.

Beberapa bulan sebelum 18 November 2004, Kantor Menko Perekonomian membentuk Komite Nasional Pencanangan Tahun Mikro Kredit Internasional 2005. Salah satu kegiatannya adalah memberikan Microcredit Award kepada pengusaha mikro di Indonesia dan pelaksanaannya dipercayakan kepada Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LM-FEUI).

Ny Titik mengalahkan sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia. Menurut Ketua Juri Komite Nasional Pencanangan Tahun Mikro Kredit Internasional 2005 Ruslan Prijadi, Ny Titik menang selain karena usahanya memang berkembang profesional juga karena membina tunadaksa dengan membangun rasa percaya diri dalam mencapai kehidupan layak.

Ny Titik menerima hadiah Rp 10 juta. Katanya, uang itu akan digunakan membangun paviliun guna menampung para tunadaksa dan remaja putus sekolah yang dilatih di tempat tinggalnya. "Saya tidak akan menghitung hari untuk ini. Saya hanya pasrah kepada Yang di Atas," ujarnya. (J Osdar)

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0412/14/naper/1429853.htm


Pendapat Stiglitz Desember 2004

Kompas, Rabu, 15 Desember 2004

Stiglitz: Indonesia agar Fokus pada Kepentingan Jutaan Warga

Jakarta, Kompas - Indonesia disarankan agar memfokuskan pengembangan ekonomi yang menjadi landasan utama kehidupan mayoritas penduduk. Apa pun kebijakan industrialisasi yang diambil Indonesia, haruslah memiliki keterkaitan dengan kepentingan mayoritas itu.

Jangan terburu-buru melakukan liberalisasi perdagangan atau hal-hal lainnya, tetapi fokuskan kebijakan pada pertumbuhan yang sudah pasti akan meningkatkan pertumbuhan dan selanjutnya menumbuhkan perdagangan.

Demikian antara lain diutarakan oleh ekonom kaliber internasional Joseph E Stiglitz di Jakarta, Selasa (14/12). Dia lulusan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan kini pengajar di University of Columbia, New York.

Dia memberikan kuliah umum dengan tema “Isu-isu Ekonomi Terkini dan Dampaknya pada Negara-negara Berkembang" yang disponsori oleh Ikatan Sarjana Ekonomi.

Tanpa sadar, Stiglitz juga memperlihatkan bahwa sejumlah kebijakan Indonesia memang telah blunder. "Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga," katanya.

Menurut dia, pendidikan adalah sebuah investasi besar dan berarti dan berdampak jangka panjang. Dia mengatakan, pendidikan elem sukses bagi suatu negara karena itu akan menjadi modal dasar yang penting bagi sebuah negara.

Tak masuk akal

Pernyataan Stiglitz fokus pada pertanian itu muncul menjawab pertanyaan sederhana dari seorang wartawan yang menanyakan, “Apakah resep kebijakan yang menjadi saran Stiglitz sehubungan dengan keberadaan pemerintahan baru di Indonesia?"

Sebenarnya agak disayangkan, untuk keberadaan pembicara sekaliber Stiglitz, kursi-kursi di sebuah ruang seminar Hotel Jakarta itu tidak terisi penuh dan juga tidak dihadiri para pejabat yang seharusnya menjadi target dari kuliah umum Stiglitz.

Stiglitz semakin terkenal setelah meraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001 bersama George A Ackerlof, A Michael Spence, untuk analisa-analisa pasar dengan informasi asimetri. Tidak semua warga sama-sama memiliki informasi yang sempurna tetapi sebagian warga jauh ketinggalan dari pihak lain soal informasi. Akibatnya, yang muncul adalah keuntungan bagi pihak yang mendapatkan informasi ketimbang yang minim informasi. Analisa mereka itu, dianggap sebagai masukan penting bagi ekonom dan para pembuat kebijakan, agar mengerti soal keberadaan informasi asimteri sehingga peluncuran kebijakan pun bisa dimodifikasi dengan adanya faktor-faktor itu.

Kembali ke soal Indonesia, Stiglitz mengatakan bahwa mayoritas penduduk masih tinggal di pedesaan dan mayoritas adalah petani. Indonesia juga sangat kaya dengan sumber daya alam. Karena itu kata Stiglitz, memperhatikan pengembangan pertanian adalah tugas yang mau tak mau harus dilakukan karena Indonesia tidak bisa mengabaikan keberadaan penduduk seperti itu.

Namun dia mengatakan, kebijakan yang akan diterapkan soal pertanian harus didasarkan pada dinamika yang ada. Artinya, dalam konteks pertanian, yang menjadi fokus bukan lagi sekadar memproduksi komoditi tetapi juga harus dilengkapi dengan penciptaan nilai tambah. “Maka dari itu, jenis industrialisasi yang diciptakan juga harus terkait dengan kepentingan petani itu," katanya.

Stiglitz mengkritik Indonesia, karena sebagian besar dari hasil pertanian justru diolah di luar Indonesia. “Tidak ada sebenarnya alasan mengapa hal itu harus terjadi," kata Stiglitz.

Ingat, mayoritas warga Indonesia ada dan hidup dari lingkup ekonomi seperti itu, maka itu untuk pengembangan kehidupan dan perekonomian penduduk mayoritas, menjadi tugas penting. Jika itu terjadi, kata Stiglitz, maka pertumbuhan akan terjadi karena peningkatan pendapatan penduduk di sektor tersebut.

Dia juga memperingatkan Indonesia agar meraih nilai tambah yang lebih besar dari keberadaan kekayaan sumber daya yang lain. Dia mengatakan, tak bisa lagi dilanjutkan keadaan, di mana sumber daya alam itu dijual begitu saja tanpa memberikan sesuatu yang bermanfaat pada kepentingan mayoritas warga.

Stiglitz mengatakan semua itu, atas dasar alasan bahwa sebuah negara harus memperhatikan di mana sebenarnya letak dari kekuatan daya saingnya. “Pikirkanlah di mana

Kaya dan miskin

Namun saat memberikan kuliah umumnya, Stiglitz juga memperingatkan seraya mnemberikan contoh-contoh menggelitik, yang juga sangat penting untuk diperhatikan oleh Indonesia, termasuk pada pembuat kebijakan ekonomi.

Menurut Stiglitz, betapa banyak negara di dunia yang gagal memakmurkan rakyatnya dan hanya menguntungkan kaum kaya karena peluncuran kebijakan yang salah arah.

Dia mengingatkan lagi pada kasus di negara-negara Amerika Latin yang hanya menguntungkan kaum kaya. Venezuela adalah contoh lain yang dia berikan, di mana dua pertiga pertiga warga hidup sangat miskin dan sepertiga kaya raya.

Menurut Stiglitz, semua itu disebabkan kawasan itu adalah murid paling penurut kepada IMF dan Bank Dunia, yang jelas-jelas telah melakukan kesalahan besar dalam resep-resep ekonomi, dan telah pula menjerumuskan Rusia ke dalam resesi ekonomi yang buruk.

Salah satu penyebabnya adalah, resep-resep ekonomi IMF dan Bank Dunia yang fokus kepada stabilisasi, liberalisasi, swastanisasi yang disebut sebagai resep dari Konsensus Washington (IMF, Bank Dunia dan Departemen Keuangan AS).

Dia mengatakan swastanisasi (privatisasi), liberalisasi dan stabilisasi itu penting. Namun, persoalannya, ketiga hal itu seringkali dilakukan terburu-buru dan dipaksakan. Tetapi Konsensus Washington lupa bahwa ada sekelompok masyarakat, pekerja yang tidak siap dengan liberalisasi dan swastanisasi itu.

Di sisi lain, liberalisasi dan swastanisasi tidak serta merta harus meniadakan peran pemerintah, yang justru termasuk menjadi tujuan Konsensus Washington. Akibatnya, hanya yang mampu dan bisa ikut arus yang bisa terciprat dari pembangunan. "Akibatnya, dekade 1980-an adalah dekade yang hilang bagi Amerika Latin dan sekarang ini juga menjadi sebuah kawasan yang memiliki kehilangan," kata Stiglitz.

Krisis Asia

Dengan mudah, Stiglitz juga telah menjelaskan betapa krisis Asia telah menjadi contoh lain dari kegagalan total resep IMF. Indonesia, kata Stiglitz, mengalami krisis justru karena dampak dari liberalisasi dan deregulasi sektor keuangan dan dekade 1980-an.

Deregulasi sektor keuangan terlalu telah melahirkan sejumlah perbankan dengan modal-modal kecil pula. Dari segi saja, deregulasi tersebut telah menciptakan sebuah kerapuhan yang bagaikan bom waktu. Di samping itu, dengan deregulasi yang relatif tanpa kontrol telah melahirkan efek yang menyebabkan sektor keuangan menyerbu sektor yang dianggap lagi berjaya.

Dia memberikan contoh soal pilihan mana yang lebih mudah, yakni memproduksi potato chip (kerupuk kentang) atau micro chips. Lebih mudah dan lebih cepat adalah membuatkan keripik kentang. Karena lebih mudah, maka perbankan mengalokasikan kredit untuk pembuatan kerupuk kentang.

Padahal, kata Stiglitz, pembuatan micro chip akan memberikan dampak lebih luas, bermanfaat dn berperan besar meningkatkan produktivitas. “Misalnya, pengembangan teknologi micro chip telah membuat lahir-lahirnya produk yang menggunakan micro chip seperti telepon genggam, komputer, dan alat lain yang juga menggunakan micro chip dan berperan meningkatkan efisiensi," katanya.

“Bandingkanlah hal itu dengan kerupuk kentang, yang hanya bisa dimakan dan dampaknya hanya akan membuat orang lebih gemuk dan berisiko untuk mennadi lebih sakit," katanya.

Nah, hal-hal seperti itu juga terjadi dengan liberalisasi sektor keuangan. Karena cepatnya, maka kredit disalurkan ke sektor-sektor yang tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Persoalan lain adalah, keberadaan pengawasan yang memang tidak sebanding dengan arus liberalisasi sektor keuangan.

Pernyataan Stiglitz sangat tepat dengan kondisi Indonesia yang sebelum krisis, sebaian besar kredit telah dikucurkan ke sektor properti yang tidak ada pembeli akhir, dan membuat kelayakan kredit menjadi hilang. Hal itu selanjutnya melahirkan fondasi sektor keuangan yang sangat rapuh.

Akan tetapi liberalisasi yang cepat itulah yang menjadi anjuran dari Konsensus Washington.

Dia juga memberi contoh kegagalan resep IMF, jika dilihat dari pola pemulihan ekonomi di Asia. Dia mengatakan Malaysia pulih lebih cepat dari resesi. Di sisi lain, China relatif cukup kuat dari terpaan krisis kawasan. Korea juga puliha dari resesi ekonomi lebih cepat, jika dibandingkan dengan Thailand, apalagi Indonesia.

Alasannyam pemulihan itu ebih cepat justru karena negara-negara yang disebut di atas tidak menjalankan resep IMF. China juga tidak mermiliki program ekonomi yang didasarkan pada resep IMF, tetapi lebih fokus pada liberalisasi di sektor peratnian dan tidak mau meliberalisasikan sektor keuangan dan modal. Akibatnya, China justru tumbuh pesat dan relatif bebas dari krisis.

Indonesia dan Thailand, justru pulih lebih lama dari krisis, justru karena menjalankan resep IMF.

Dia mengingatkan bahwa liberalisasi keuangan yang terlalu cepat memang memiliki akar kuat untuk menghancurkan perkeonomian, dan bukan semata-mata karena korupsi. Untuk itu dia memberikan contoh, Swedia dan Finlandia adalah negara paling transparan dan paling bebas dari korupdi dibandingkan negara mana pun di dunia ini. Namun kawasan di Laut Amerika Utara itu justru sudah paling dulu mengalami krisis perbankan, yakni pada dekade 1980-an. Masalahnya, negara-negara di Laut Utara itu terlalu cepat melakukan liberalisasi sektor keuangan, yang membuat fondasi dari sektor keuangannya menjadi lemah dan akhirna melahirkan krisis.

“Maka dari itu, walau liberalisasi penting, tetapi tetaplah pelihara keseimbangan antara kepentingan pasar dan peran pemerintah, yang justru pentng sebagai pengontrol," katanya.

Dia juga memberikan contohm kegagalan Meksiko karena tidak tumbuh dari segi perekonomian sejak menandatangani Kawasan Pwerdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) sepuluh tahun lalu. “Itu karena Meksiko tidak tahu berbuat apa dengan NAFTA itu pada awalnya, tidak tahu di mana kekuatan daya saingnya. Akibatnya, ketika China muncul sebagai basis produksi manufaktr palng murah di dunia, maka semua pabrik-pabrik milik AS yang ada di Meksiko hengkang langsung ke China dan merugikan Meksiko," katanya.

Dia juga mentatakan, lambatnya pertumbuhan ekonomi Meksiko, kareana negara itu yang mengandalkan komodita peretanian murah, sebenarnya tidak menghadapi askes pasar yang mudah untuk memasuki AS.

Sehubungan dengan itu, dia mengingatkan agar Indonesia mengetahui, apa sebenarnya kekuatan dan strategi apa yang harus dilakukan berhadapan dengan kompetisi dari China. Dia mengingatkan bahwa Korea Utara pun kini dibuat sibuk untuk memikirkan, apa yang harus dilakukan dalam menghadapi persaingan dari China. (MON/OIN)

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0412/15/utama/1441183.htm

Sunday, December 12, 2004

Pentingnya Identifikasi Geografis

Terlambat, Mengurus Identifikasi Geografis

Kompas, Senin, 13 Desember 2004
Bandung, Kompas - Pemerintah Indonesia dinilai sangat terlambat dalam mengurus perlindungan Identifikasi Geografis terhadap produk-produk khas daerah.

Akibatnya, sejumlah produk khas daerah-daerah di Indonesia diakui sebagai produk khas negara lain.

Untuk itu, penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Identifikasi Geografis tengah dilakukan untuk melindungi produsen barang khas daerah.

Demikian dikemukakan Direktur Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia, Emmawati Junus, di sela-sela Seminar Nasional Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia, di Bandung, pekan lalu.

"Pemerintah terlambat dalam memberikan perlindungan terhadap produk-produk khas lokal. Akibatnya, beberapa produk khas daerah telah di-claim sebagai produk khas negara lain. Ini memang kelemahan kami," kata Emmawati.

Sejauh ini, pemerintah menggunakan Undang-Undang Nomor 14/1997 tentang Merek dalam memberikan perlindungan terhadap produsen barang dan jasa di Indonesia.

Akan tetapi, pemerintah belum memiliki aturan tentang perlindungan terhadap produk-produk khas dari daerah-daerah di Indonesia.

Keterlambatan pemerintah dalam mengurus perlindungan terhadap identifikasi geografis mengakibatkan sejumlah produk khas daerah di Indonesia diakui sebagai produk khas oleh negara lain.

Misalnya, Batik sudah terlanjur diakui sebagai produk Malaysia, dan Kopi Toraja diakui produk negara Jepang. (LUQ)


sumber: