Sunday, September 26, 2004

Definisi problem, Solusi, Evaluasi dan Penghargaan


Saat ini rakyat Indonesia membanjiri calon presiden SBY, yang sedang unggul dalam perhitungan suara, dengan berbagai problematika. Contohnya :

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0409/23/ekonomi/

Yang dibutuhkan dari orang politik saat ini adalah :

  1. Kemampuan secara objektif mendefinisikan problem-2, di semua lapisan masyarakat.
  2. Kemampuan memberi solusi bagi problem yang dipilih untuk diselesaikan.
  3. Kedewasaan untuk mengevaluasi, apakah solusi tersebut menjawab problemnya.
  4. Kedewasaan untuk menghargai solusi problem yang diberikan. Penghargaan itu sifatnya reward dan penalty dalam skala yang sesuai tingkatan problem.

Keempatnya merupakan siklus yang berkelanjutan, untuk merambah pencarian solusi problem-problem berikutnya.

A. Belajar dari sejarah :
Dulu Soekarno-Hatta, dua dari antara founding father kita, melihat bahwa negri kita dijajah oleh nation lain. Oleh karena itu, nenek moyang kita, saat itu perlu memperkuat nation sendiri. Muncullah Nasionalisme, yang dianggap sebagai solusi ketika belum merdeka, menjadi merdeka, atau pun konsolidasi negara beberapa saat setelah merdeka. Apakah sekarang muncul problem nasionalisme ?

Gus Dur, dengan kelompok Ciganjurnya [Gus Dur, Amien Rais, Sultan dan Mega], berusaha keras untuk melebur keanekaragaman faham partai politik tersebut, supaya elemen parpol bisa bersinergi dengan baik, untuk menjawab tantangan masa kini dan masa nanti. Terlepas dari problem Bulog Gate II, Akbar Tanjung banyak membantu dalam pembentukan sinergi ini. Demikian juga bapak-bapak panglima ABRI/TNI/Polri.

Problem nasionalis dan agamis memang rawan, jika itu "dibikin" rawan. Pada tahapan proses berbangsa saat ini, sepanjang aspek nasionalis dan agamis tidak "dibikin menjadi problem rawan", maka sebenarnya lebih banyak problem lain yang perlu lebih diperhatikan sebagai prioritas. Karena kebutuhan untuk menjaga aspek nasionalis dan agamis termasuk kondisi default bagi negri ini.

B. Mudahnya mendefinisikan problem:
Problem itu di antaranya adalah yang seperti yang didefinisikan ataupun yang disampaikan oleh sebagian elemen bangsa melalui Kompas kemaren. Atau seperti yang disampaikan delegasi "karyawan "PT DI" dan guru-guru kemaren, ketika sowan ke Cikeas.

C. Sulitnya memberi solusi:
Siapa yang akan menjadi pemberi solusi problem tersebut ? Lalu siapa yang menjadi evaluator solusi dari problem tersebut ? Apakah kita dengan dewasa menghargai pemberi solusi tersebut ?

D. Ini pendefinisian problem lagi:
Mega dalam pidato di depan MPR, seperti yang termuat dalam media massa hari ini, menggungkapkan
[...]
Meskipun ada sejumlah kemajuan yang dicapai selama pemerintahannya, Megawati juga mengakui ada sejumlah kekurangan. "Harus diakui, masih banyak yang harus kita kerjakan, bahkan untuk hal-hal yang sangat mendasar. Pengangguran, kemiskinan, dan masalah pendidikan adalah contoh hal-hal yang mendasar tadi," katanya.
[...]


E. Ini juga pendefinisian problem:
Menurut Fraksi Reformasi, ada dua hal utama yang menjadi kekurangan pemerintahan Presiden Megawati, yakni penegakan hukum dan pemberantasan korupsi
[...]

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0409/24/utama/1286810.htm

Banyak yang pinter mendefinisikan problem. Yang sulit adalah merumuskan solusi problemnya, karena ini akan diikuti oleh evaluasi dari solusi yang diajukan. Selain itu, problem-2 kita bertumpuk, di dalam ruang masalah bangsa dan negara kita.

F. Konsep nasionalisme dan agamis
Ini adalah contoh solusi yang pernah ditawarkan. Tapi apakah relevan dengan problem yang diuraikan di atas ? Relevan, jika sekarang ada yang mempermasalahkan nasionalisme atau agamis. Tidak relevan dalam penentuan prioritas, jika kita SEMUA selalu menjaganya untuk landasan melangkah ke depan.

G. Bagaimana realita solusi yang dibutuhkan oleh rakyat ?
Itu tercermin oleh hasil PilLeg dan PilPres. Apapun hasilnya. Anda menyalahkan hasil Pemilu, sama dengan menyalahkan solusi yang diinginkan rakyat.

H. Mampukah kita menghargai solusi bagi salah satu problem ?
Dan yang perlu digarisbawahi, Mega telah menjalankan problem solving sesuai dengan nama partainya, Partai Demokrat Indonesia Perjuangan. Beliau telah menjalankan demokrasi yang indah dan cantik.

I. Masih adakah problem di depan kita ?
Buuuuuwaaaanyak. Tinggal problem berikutnya menanti untuk dicarikan solusinya. Gimana solusinya ? Ah, itu kan tugasnya mentri, dirjen, hamba hukum, birokrat, juga yang terhormat wakil-wakil rakyat.

salam,

catatan :
Terminologi problem, adalah terminologi dari salah satu guru saya, Pak Iping. Penjelasan beliau, yang ada adalah problem catur, tidak ada masalah catur. Problem adalah unit-unit atau bagian dari ruang masalah. Problem didefinisikan untuk dicarikan solusinya. Solusi problem catur adalah skak mat atau remis. Kalau masalah, itu lebih luas dan kompleks. Masalah, seringkali hanya untuk didefinisikan atau dipetakan saja, tapi nggak ada solusi tunggalnya. Karena masalah mengandung derajad kompleksitas yang lebih tinggi dari problem. Solusi masalah harus komprehensif, yang disusun oleh rangkaian solusi-2 sekumpulan problem.

Saturday, September 25, 2004

Menunggu orkestrasi yang merdu.

Kompas kemaren, mengajak pembacanya untuk menengok kembali kiprah kabinet gotong royong :

Memimpin di negeri yang sedang mengalami eskalasi demokratisasi demikian cepat tidak mudah. Dalam napas reformasi yang digulirkan, banyak harapan akan perbaikan secara cepat di segala bidang. Masyarakat tak cukup sabar menunggu tahunan menilai dan merespons apa pun yang dikerjakan pemerintah. Itu sebabnya, meski secara umum kondisi makro beberapa aspek pemerintahan Megawati Soekarnoputri cukup stabil dalam tiga tahun ini, kemajuan itu belum cukup memenuhi ekspektasi masyarakat yang demikian tinggi.

Menurunnya aspirasi publik terhadap kinerja pemerintahan Megawati seperti menegaskan pemerntahan ini tak cukup berdaya menyelesaikan segenap persoalan bangsa. Artinya, selama era reformasi, beum satu pemimpin nasional pun yang mampu memuaskan mesyarakat.
[…]

Adakah yang salah ?

Mencoba bangkit dari keterpurukan memang berat. Ketika krismon kemaren ada yang berubah di masyarakat Indonesia. Mereka lebih mudah menghujat dan menyalahkan pihak lain. Performansi Megawati sebagai pemimpin yang pendiam, adalah tepat untuk menghadapi hal itu. Semakin dihujat dan disalahkan, semakin bersinar kekuatan seseorang yang pendiam. Apalagi jika dalam kondisi pendiamnya, setapak demi setapak menyelesaikan sebagian dari berbagai persoalan bangsa ini. Sayangnya, sikap pendiam juga bisa menjadi boomerang.

Pelaksanaan mandat rakyat, berupa apa yang telah dilakukan pemerintah, memerlukan sosialisasi. Berbagai upaya untuk menjelaskan hal ini terlihat kaku dan terlambat dalam pemerintahan Megawati. Adanya semacam kuis Indonesia Sukses dengan Mega Fakta-nya, dinilai banyak pihak sebagai upaya yang tidak tepat waktu, karena disampaikan pada bulan-bulan yang tidak diperbolehkan kampanye.

Adakah solusinya ?

Pemerintahan baru hendaknya memikirkan public relation yang lebih baik dibandingkan pemerintahan Megawati. Menyelesaikan persoalan [problem-problem] di Indonesia perlu dilakukan setapak demi setapak, memerlukan banyak waktu, dan enersi, karena semua itu merupakan proses dan bukan instant.

Upaya Gus Dur ketika memerintah dengan menghidupkan lembaga adhoc semacam juru bicara presiden sangat diperlukan untuk saat ini maupun nanti. Dulu peran ini dilakukan oleh menteri penerangan atau menteri-menteri yang lain. Agaknya pada pemerintahan Megawati, menteri-menterinya ketularan sifat pendiam.

Ada saatnya kita diam. Ada saatnya kita perlu menjelaskan apa yang kita kerjakan. Utamanya bagi pemerintah, saat penjelasan ini diperlukan untuk “melaporkan’ kepada masyarakat atau rakyat apa yang telah dicapai pemerintah. Jangan menunggu problem-problem yang diselesaikan menjadi banyak dulu. Semua perlu sedikit demi sedikit ditabung untuk menjalin jaringan semantik yang positif dalam pikiran masyarakat. Tentunya perlu didasari dengan niat yang baik dan pencapaian prestasi yang nyata.

Saya tidak ingin menghidupkan departemen penerangan yang mempunyai kuasa pembreidelan seperti di masa Soeharto. Tapi saya ingin menekankan perlunya public relation untuk mensosialisasikan problem definition, state of solution, state of evaluation serta perlunya pembelajaran bagi masyarakat kita semua untuk menghargai prestasi orang lain.

Salah satu handicap dalam masyarakat kita.

Masyarakat kita termasuk jenis populasi yang paling tidak suka jika ada orang yang senang menceritakan prestasi dirinya sendiri. Agak beda dengan masyarakat barat.

Oleh karena itu, SBY perlu “orang lain” atau “peran yang dilakukan oleh orang lain’ untuk menceritakan apa yang sudah dicapai oleh pemerintahannya, nanti. Yah, dikombinasi-lah. Kadang sosialisasi itu dilakukan oleh SBY, kadang dilakukan oleh staf juru bicaranya, kadang oleh menteri-menterinya. Jangan senang menjadi pendiam. Nanti kesannya seperti pemerintahan Megawati, bahwa pemerintah diam saja melihat problem-problem yang menggunung.

Atau bisa belajar dari yang dilakukan oleh Roosevelt, yang secara periodik menyapa rakyat Amerika, dengan melaporkan apa yang dia capai, apa saja hambatannya, serta mencoba menggali solusi alternatif dari rakyatnya. Hasilnya ? Roosevelt bisa diterima sebagai pemimpin yang mengangkat Amerika dari lembah Great Depression.

Gaya Roosevelt di alinea terakhir ini pernah disampaikan oleh penulis lain [di media lain dan di waktu yang lain].

salam,

Saturday, September 04, 2004

Catatan Kompas, 04 Sep 2004

1. Jalan Menuju Melek Huruf
MUSIM sekolah telah mulai. Sama seperti setahun lalu, kali ini kita juga menaksir kembali apa yang masih tersisa dari kehancuran pendidikan sekolah di Indonesia. Setiap ratapan berisi kehilangan. Tetapi perihal pendidikan sekolah, tidak jelas benar apa yang sesungguhnya sedang kita ratapi. Tentang biaya sekolah yang menjulang? Tentang mutu yang semakin kampungan? Tentang tidak nyambung-nya pendidikan dengan rekonstruksi Indonesia? Tentang tak terkaitnya persekolahan dengan pertumbuhan ekonomi? Tentang pertanyaan "untuk apa pendidikan sekolah?" Jawabnya: semua!
Lengkapnya...

2. Pendidikan Indonesia : Terpuruk di Tengah Kompetisi
INDIA adalah negara dengan segudang masalah. Kemiskinan, kurang gizi, dan pendidikan yang rendah merupakan persoalan besar di negara berpenduduk lebih dari satu miliar itu. Sekitar 40 persen penduduk India buta huruf. Angka ini melambung tinggi bila masuk lebih khusus kepada kelompok masyarakat miskin, kasta rendah, dan perempuan. Indeks Pembangunan Manusia di situ berada di peringkat 127, jauh di bawah posisi Indonesia: peringkat 111. Namun, India memiliki visi dan arah pendidikan yang jelas.
Lengkapnya...

3. Moral dan Etika Sejak Dini
LEMBARAN kertas putih berisi deretan aksara hangeul (alfabet Korea Selatan) berserakan di atas meja tamu di ruang kerja Jeon Kum-jong. Kertas-kertas berukuran lebar itu rupanya adalah alat peraga yang baru saja ia tunjukkan kepada murid-muridnya di ruang kelas III Shinkwang Elementary School.
"Kalimat-kalimat ini berisi pesan tentang moral dan etika," kata Jeon, sembari menunjukkan lembar demi lembar kertas. Jeon adalah guru sekaligus kepala sekolah di kawasan Yongsan-gu, Seoul, Korea Selatan, yang sangat menekankan penanaman nilai-nilai moral dan etika sejak dini bagi murid-muridnya.
Lengkapnya...

4. Pendidikan di Vietnam : Saudara Muda yang Mencengangkan
Bisa jadi pula, lantaran Soekarno bersama Hatta sekitar sembilan tahun lebih dulu memproklamirkan kemerdekaan RI ketimbang Paman Ho mendirikan negara Vietnam sehingga orang Vietnam pun menganggap Indonesia sebagai saudara tua. Paman Ho yang selalu tampil bersahaja baru berhasil mendirikan negara Vietnam Utara tahun 1954 setelah pasukannya mengusir pemerintahan Perancis dari belahan utara Vietnam.
Lengkapnya...

5. Pendidikan di Korea Selatan : Menyeruak di Antara Dua Saudara Tua
LEE Chong-jae menerawang ke masa 50 tahun lalu, ketika hendak menjelaskan kemajuan pendidikan di negaranya, Korea Selatan. "Setelah Perang Korea, kami hampir tidak punya apa-apa selain murid sekolah. Tidak ada ruang kelas, tidak ada buku paket, tidak ada guru, tetapi kami punya anak-anak yang harus belajar," tuturnya mengenang.
SEMANGAT menjadi kata kunci yang membawa kebangkitan pendidikan Korea Selatan hingga siap bersaing dengan negara lain. Mereka mulai dengan membangun infrastruktur pendidikan yang luluh lantak akibat Perang Korea, lalu membenahi kualitasnya.
Lengkapnya...

6. Pendidikan di India : Pusat Keunggulan Menuju Negara Maju
"Berpikir adalah kemajuan. Tidak berpikir merupakan stagnasi bagi individu, organisasi, dan negara. Berpikir mengarahkan pada tindakan. Pengetahuan tanpa tindakan tidak ada gunanya dan tidak relevan. Pengetahuan dengan tindakan mengubah kesengsaraan menjadi kesejahteraan." Dr Abdul Kalam, Pakar Aeronautika yang Presiden India
Lengkapnya...

7. Pendidikan di Daratan China : Menghadapi Lingkungan Global
BELAJAR sudah menjadi sifat alamiah orang-orang China. Sehingga tidak mengherankan bila sistem pendidikan formal berbentuk sekolah yang kita kenal sekarang ini di daratan China memiliki sejarah panjang 3.500-an tahun. Bahasa China sendiri, baik itu dialek nasional Mandarin atau dialek daerah-daerah (seperti Hokkian, Konghu, Khe, dan lainnya), mengharuskan siapa saja di daratan China harus belajar apakah itu huruf kanji maupun intonasi nada dalam bahasa percakapan.
Lengkapnya...

8. Pendidikan di Singapura : Ditata seperti Sebuah Orkestra
APA yang diharapkan warga dari sebuah sistem pendidikan? Bagi orang awam sekalipun pasti tahu bahwa yang dibutuhkan adalah setidaknya kurikulum yang baik, pengajar yang enak, fasilitas memadai, dan biaya murah, jika bisa. Lalu selebihnya mungkin adalah lingkungan yang kondusif, daya saing yang tinggi, serta segala aspek lain yang ada di luar ruang sekolah.
TAMPAKNYA hal itu tersedia di Singapura. Perbandingan sistem pendidikan di Singapura dengan Indonesia seperti bumi dan langit rasanya. Departemen Pendidikan Singapura (Ministry of Education) tampaknya lebih banyak bekerja dan memberi perhatian besar pada pengembangan pendidikan ketimbang memanfaatkan pendidikan sebagai sumber rezeki bagi oknum atau pegawai-pegawai departemen itu.
Lengkapnya...

Internet Sampai ke Pedesaan

Pikiran Rakyat, Sabtu, 04 September 2004

Internet Sampai ke Pedesaan
Meneg Kominfo Menargetkan Terealisasi pada 2015

BANDUNG, (PR).-
Pemerintah daerah seluruh Indonesia diharuskan sudah memiliki electronic govenrment atau e-govt berupa situs dan e-mail paling lambat tahun 2005. Sedangkan seluruh desa, rumah sakit, sekolah dan perguruan tinggi, serta kantor-kantor pemerintahan harus tersambungkan dengan internet pada tahun 2015.

Hal itu disampaikan oleh Meneg Komunikasi Informasi (Kominfo) Syamsul Maarif dalam sambutan dibacakan staf ahli Meneg Kominfo Drs. Amry, M.Sc, dalam seminar internasional teknologi informasi di Hotel Panghegar, Rabu (1/9), yang diadakan oleh STMIK AMIK Bandung.

Pembicara lain adalah direktur di Universitas Multimedia Malaysia Dr. David Asirvatham, Ketua STMIK AMIK Bandung Yusuf Arifin, S.Si, pakar komunikasi Prof. Dr. Hj. Nina Syam, Kepala Bapesitelda Jabar Drs. Dodo Perdata, dosen FISIP Unpad M. Fadhil Nurdin, M.A., P.Hd., dan pakar multimedia PT Telkom Ir. Rizkan Chandra.

Keharusan memiliki e-govt dan tersambung ke desa-desa, sekolah dan perguruan tinggi, serta kantor-kantor pemerintahan dengan internet merupakan hasil kesepakatan konferensi kepala negara sedunia. "Mau tidak mau Indonesia harus melaksanakannya, padahal kesenjangan digital amat besar hingga kita harus bergerak cepat. Di bidang infrastruktur komunikasi dan informasi kita harus bekerja ekstrakeras," tegasnya.

Menurut Syamsul Maarif, penetrasi komunikasi dan penggunaan internet di Indonesia masih amat rendah bahkan dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara. "Tingkat literasi masyarakat terhadap teknologi informasi dan komunikasi masih amat jauh tertinggal dibandingkan Malaysia dan Thailand. Padahal target dunia pada tahun 2015, 50% penduduk dunia termasuk Indonesia sudah mampu mengakses internet," katanya.

Sedangkan target penetrasi radio dan TV adalah 100% yang secara kuantitas Indonesia sudah bisa memenuhinya. "Dari segi kualitas akses kepada media elektronik apalagi media cetak perlu terus dikembangkan. Tentu saja untuk mengejar target tahun 2005 dan tahun 2015 perlu kerja sama antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat," katanya.

Menurut Yusuf Arifin, Indonesia akan kesulitan mencapai target baik pada tahun 2005 maupun tahun 2015 akibat kendala serius yang menghadang teknologi informasi. "Kesenjangan teknologi informasi amat kentara di Indonesia dibandingkan AS, RRC, Korea Selatan, bahkan Malaysia. Dengan jumlah penduduk Indonesia 212 juta ternyata pengguna telefon hanya 34,4 juta orang, penetrasi telefon hanya 3,5%, dan komputer 1%. Bahkan penetrasi internet cuma 0,5%," katanya.

Fadhil Nurdin menambahkan, pengguna internet di Indonesia baru sekira 4,5 juta (2,5%), pemilik telefon rumah 7 juta (3,5%), dan telefon genggam sekira 6 juta (3%). "Kuantitas dan kualitas prasarana komunikasi masih terbatas baik stasiun TV, radio, satelit, media cetak, dan sebagainya. Masih banyak daerah yang belum bisa mengakses akibat jangkauan jaringan komunikasi yang terbatas," ungkapnya.

Di samping itu, Indonesia masih terbelit dengan masalah perekonomian hingga menganggap teknologi informasi sebagai masalah mahal dan kurang penting. "Belum lagi dengan kualitas SDM kita yang masih rendah ditunjukkan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di peringkat 112 dari 175 negara. Akibatnya, budaya informasi belum tumbuh meluas sebab sebagian besar masyarakat belum terbiasa memanfaatkan teknologi informasi," ujarnya.

Sedangkan David Asirvatham mengatakan, sebanyak 700 juta warga dunia sudah terhubungkan dengan internet termasuk Indonesia dan akan terus tumbuh secara signifikan. "Namun, jumlah tersebut baru mencapai 11% dari seluruh penduduk dunia hingga sebagian besar belum terakses dan mengakses internet. Perkembangan bisnis teknologi informasi diperkirakan mencapai 5 miliar dolar AS pada tahun 2004 di Asia saja," katanya. (A-71)***

sumber:
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0904/04/1101.htm