Monday, June 27, 2005

Pencuri Hak Intelektual

Senin, 27 juni 2005

SETELAH pergolakan reformasi 1998, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, terjadi peristiwa langka tapi luput dari perhatian publik. Mulanya adalah ide kunjungan informal Perdana Menteri Israel kala itu, Yitzhak Rabin ke Gus Dur sebagai rekan intelektualnya. Ide itu tentu saja mendapat tentangan keras banyak pihak dan akhirnya teraborsi.

Pilihan itu bukan hanya cerdik, bervisi, dan srategis, tapi juga sudah mengandaikan keikutsertaan negara Timur Tengah itu dalam kompetisi kekuatan dan kekuasaan masa depan yang berbasis data.

Peradaban mutakhir memperlihatkan, adanya perseteruan hingga konflik fisik, persaingan usaha, dominasi satu negara pada negara lain, ditentukan oleh kemampuan satu negara mengakses dan mengoleksi data (lawan khususnya). Apa yang terjadi di Rusia, Eropa Timur, Irak, adalah bukti keampuhan data sebagai arsenal utama perang masa kini.

Maka terbayanglah apa yang hendak didapat Israel melalui misi dagangnya ke Indonesia. Karena kesadaran tentang kekuatan data memang rendah, akhirnya kita dibenturkan pada realitas baru bahwa siapa menguasai data, ia berkuasa.

Kita pun mafhum (sebagaiman biasanya), kita tidak cukup berdaya, lalu menerima kenyataan kita (sebagaimana biasanya) sebagai korban, dengan apologi bahwa itulah nature perubahan adap manusia. Mengenaskan. Memang.

SEBENARNYA, peristiwa di atas hanya runtutan atau kelanjutan dari kebijakan Menteri Perindustrian Tungky Ariwibowo di masa pemerintahan Soeharto. dalam pertemuan tahunan WTO di Singapura, ia menyetujui gerakan yang diprakarsai Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Demi satu konsesi: AS dan Jepang berjanji tidak mengangkat keburukan perburuhan Indonesia, penahanan pemimpin serikat buruh, juga penganiayaan buruh pejuang di WTO. Kesepakatan itu berupa pasar bebas untuk produk informasi dan teknologi.

Luar biasa. Mengapa? Karena hampir semua negara menolak kesepakatan yang hendak dijejalkan dalam keputusan WTO itu. Seluruh negara Eropa tak ada yang tanda tangan. Begitupun negara ASEAN. Bahkan Menteri Industri Malaysia sempat menyindir keberanian Indonesia masuk kerangka penuh jebakan itu. Asal tahu saja, selain Jepang dan Amerika sebagai penggagas, hanya empat negara lain yang setuju kala itu: Kanada, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, yang satelit kepentingan AS.

Akibat dari kebijakan di atas sudah dapat kita lihat belakangan ini. Bukan hanya industri teknologi-informasi dalam negeri ”perangkat lunak maupun kerasnya” yang tergilas habis korporasi global, namun juga peluang mengalirnya data-data vital dan rahasia negeri ini, baik data politik, militer, ekonomi-bisnis, maupun kultural. Dengan dikuasainya database negeri ini, soal penyubordinasian atau penaklukan tinggal masalah waktu.

Selain itu, terdapat satu keributan kecil yang juga kurang terperhatikan, apalagi membayangkan dampak besarnya ke depan.

Belakangan ini, pengusaha warnet dan berbagai kantor besar di Indonesia resah karena ada rencana razia software oleh pihak kepolisian. Lebih dari 60 persen perangkat lunak di negeri ini memang ilegal.

Bahkan di bisnis warnet, statistik itu mungkin hampir 100 persen. Jika razia benar-benar dilaksanakan, sebagian besar usaha kecil itu akan gulung tikar. Bayangkan jika untuk satu PC saja, pengusaha warnet harus membayar 350 dollar AS demi satu software yang legal.

Namun, hal lain yang terbayang adalah penghasilan yang dapat berangka triliunan rupiah bagi Microsoft, korporasi global yang ditengarai berandil besar dalam aksi ini.

Memang di pasar hak intelektual Indonesia kerap masuk daftar maling alias negeri pencuri hak intelektual. Cap legam seperti ini dianggap sebagai satu hal wajar karena kita (mau tak mau) menerima standar hukum dan moral dunia baru. Standar, yang oleh para elite pun disadari, melulu direkayasa melalui penetrasi paham-paham kapitalisme, liberalisme, dan globalisme.

Rekayasa yang terjadi begitu intensnya, hingga kita jadi begitu mafhum dan ikhlas menjadi korbannya.

SOAL maling atau pencurian hak intelektual ini pernah memunculkan berbagai pembelaan, terutama mengenai karya-karya tertulis dan cetakan. Namun propaganda hebat yang disponsori korporasi global menggugurkannya.

Nyata sesungguhnya, kepentingan apa yang bersembunyi di balik propaganda anti pencurian hak-intelektual. Bukan hanya soal hak-hak para pekerja intelektual, tapi juga kepentingan bisnis triliunan dolar, pemberlakuan pasar bebas, hidup liberal beserta segala risikonya, dan pada akhirnya juga dominasi politik, ekonomi, militer, dan kultural oleh negara-negara produsen utama produk teknologi itu atas negara-negara konsumennya.

Kita tahu, negara-negara kapitalis kaya tersebut juga memiliki sejarah kolonialisme awal. Mereka, selama masa kolonial telah menjarah begitu luar biasa, bukan hanya sumber daya alam negara jajahannya, tapi juga produk budaya, yang tak lain adalah karya intelektual rakyat jajahan.

Museum-museum besar, perpustakaan-perpustakaan, pusat studi atau Universitas di Eropa dan Amerika, menyimpan karya-karya intelektual dari Asia, Afrika, atau Amerika Latin, dari masa purba hingga modern. Bahkan Neopoleon Bonaparte mengabadikan penjarahan ini dalam satu diorama tentang proses pencurian dan pemindahan megalit dari Mesir ke Perancis.

Megalit itu kini jadi landmark kota Paris. Maka kultur Eropa (dan barat pada umumnya) harus berterima kasih pada negara jajahannya karena mereka berkembang, bertambah kaya, antara lain dari penjarahan-penjarahan ini.

Sehingga kemudian muncul Matisse, Picasso, Debussy, hingga Peter Gabriel atau arsitektur posmodernis yang karya-karya monumentalnya berkat profit penjarahan di atas.

Kultur pop Amerika Serikat (AS) juga sebagai misal, sungguh-sungguh harus berterima kasih pada benua hitam Afrika atas kontribusinya membuat produk-produk budaya AS begitu hebat dan menghasilkan bisnis hiburan yang hanya bisa ditandingi bisnis senjata.

Maka sesungguhnya soal maling-malingan, soal curi-curian, sudah menjadi tabiat umum dari warga bumi. Kita, juga negeri berkembang lainya, tak dapat berbuat banyak ketika kekayaan intelektual nenek moyang menjadi harta warisan di negara maju.

Kita tahu, karya-karya intelektual yang dijarah itu benar-benar mengisap habis esensi atau substansi dari peradaban kita. Kita tinggal terima sisa, sehingga untuk mendapatkan substansi, mengetahui jati diri, kita pun harus bertanya pada mereka.

Kini, ketika kita hanya mengambil atau katakanlah mencuri software, yang sebenarnya cuma kulit dari karya intelektual bernama teknologi, kita sudah dikecam dan diancam habis-habisan.

Apa kita lalu kembali mafhum, dan menerima diri kita sebagai korban. Korban yang ikhlas?

Radhar Panca Dahana Sastrawan

sumber :
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/27/humaniora/1844195.htm

Friday, June 17, 2005

SMS Pak Presiden

Sabtu, 18 Juni 2005

Oleh Riswandha Imawan

TIBA-tiba Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki ide membuka layanan SMS langsung untuk masyarakat. Ide ini semula dipakai dan sukses dilakukan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad. Namun, sukses di tingkat provinsi belum tentu sukses di tingkat nasional, bahkan bisa kontraproduktif karena berpotensi memunculkan masalah baru.

Melalui para pembantunya, Presiden menyatakan, metode ini untuk mendekatkan kembali dirinya dengan rakyat. Bila disimak, alasan ini bisa jadi merupakan pengakuan diam-diam bahwa sejak dilantik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mulai terasing dari rakyatnya. Setidaknya Presiden sadar, akibat berbagai kebijakan yang kontroversial, popularitasnya menurun tajam. Tampaknya citra diri ini yang ingin dikoreksi. Tapi upaya ini membawa konsekuensi serius.

IDE membuka hubungan langsung dengan rakyat pernah dilakukan (mantan) Presiden Soeharto melalui Kotak Pos 5000. Bedanya Kotak Pos 5000 disediakan hanya untuk pengaduan kasus-kasus korupsi; sedangkan metode SMS untuk apa saja. Mengingat kekecewaan rakyat terhadap performa (aparat) pemerintahan saat ini, bisa diduga fasilitas SMS yang disediakan akan mengalami overloaded. Masalah teknis ini bisa diatasi, misalnya, melalui metode hypertext yang secara otomatis membantu membagi masukan data ke dalam klasifikasi tertentu.

Meski demikian, metode ini sulit bekerja sempurna mengingat pesan yang disampaikan melalui fasilitas SMS umumnya memakai singkatan yang tidak lazim. Misalnya, kata "dan" yang ditulis dengan huruf "n", kata "dirjen" ditulis dengan singkatan "dj".

Masalah teknis lain adalah soal validitas pengirim SMS. Presiden SBY meminta agar tiap SMS dilengkapi identitas diri, seperti nama dan alamat jelas. Pertanyaannya, apakah benar orang itu yang menulis, mengingat demikian mudahnya kartu telepon diperoleh? Bagaimana bila isinya fitnah, misalnya menghina Presiden, yang terbukti membawa konsekuensi hukum di negeri ini? Metode interaksi melalui SMS bisa berubah menjadi arena saling memfitnah, dikhawatirkan bisa menambah kebimbangan Presiden untuk memutuskan.

Persoalannya, Presiden SBY tidak bisa mengabaikan hal-hal yang dikirimkan. Alasannya, pertama, bila selama ini pemerintah bisa menggunakan ungkapan klasik "aspirasi rakyat yang mana?", kini jelas jawabnya. Tidak boleh lagi Presiden menyatakan tidak jelas kelompok masyarakat penyampai aspirasinya. Kedua, sebagai konsekuensi, rakyat berharap tiap kebijakan Presiden mengacu pada SMS-SMS itu. Apalagi rakyat merasa sudah "membayar" melalui pengorbanan pulsa. Ini berbahaya bagi wibawa dan legitimasi Presiden, atau kelangsungan pemerintahan SBY secara keseluruhan.

Berbahaya sebab rakyat sudah merasa langsung menyampaikan aspirasinya kepada otoritas tertinggi negeri ini, dan Presiden berjanji akan membaca seluruh SMS yang dikirimkan. Ini janji pertama Presiden, sebelum kemudian sedikit dianulir juru bicara dengan menyatakan akan dilakukan klasifikasi dan disortir (dipilih) SMS-SMS yang layak dibaca Presiden. Apa pun wujud mekanismenya mengundang masalah.

Bila dilakukan sortir oleh pembantunya, tidak ada jaminan, informasi yang disampaikan ke Presiden adalah hal-hal yang harus didengar. Kultur politik kita masih terpaku pada penyampaian informasi yang "enak didengar" oleh patron. Dampaknya patron selalu mendapat informasi keliru mengenai situasi yang dihadapi. Kalaupun sortir dilakukan atas dasar arti pentingnya isu terkait program pemerintah, orang akan bertanya "siapa Presiden Indonesia saat ini?" Apalagi secara realistis mustahil Presiden memiliki waktu luang untuk membaca seluruh SMS yang masuk.

DILAKUKAN atau tidak dilakukannya sortir jelas melambungkan harapan (ekspektasi) masyarakat kepada pemerintah. Mengikuti teori Relative Deprivation (Gurr, 1970) peningkatan ekspektasi tanpa diimbangi peningkatan kemampuan (kapabilitas) akan membuat rakyat frustrasi, melakukan tindak kekerasan, bahkan melakukan revolusi. Mengapa? Karena bila pengaduan sudah sampai ke Presiden dan tak juga ditanggapi, kepada siapa lagi mereka harus mengadu di dunia ini?

Situasi internal kabinet pun bisa dibuat repot SMS ke Presiden. Selain unsur fitnah, metode SMS langsung ke Presiden bisa dibaca sebagai ketidakpercayaan Presiden kepada pembantunya. Presiden bisa dinilai memotong (encompassing) alur politik sistemik yang harus dilalui. Kelanjutan bacaan ini cukup berat. Bisa saja melalui metode ini Presiden dinilai sedang merekonstruksi pemerintahan yang sentralistis. Semua urusan langsung diurus Presiden. Bila tidak mampu, baru didelegasikan ke pembantunya. Sebuah ironi politik di saat pemerintah bertekad mewujudkan politik desentralisasi agar mekanisme politik yang mengalir dari bawah ke atas (bottom-up) terwujud.

Kalau penilaian berhenti di sini saja, tidak terlalu merepotkan. Menjadi repot bila dikaitkan dengan kemungkinan banjir fitnah dengan muara situasi sosial-politik yang tidak menentu, tidak kondusif bagi upaya peningkatan kualitas kehidupan demokrasi (deepening democracy) sebagai fokus utama bidang politik dalam program Indonesia Bangkit. Tidak adanya paradigma alternatif memaksa pemerintah secara diam-diam melanjutkan paradigma "stabilitas politik untuk pembangunan ekonomi" era Soeharto. Ini membuat kekacauan sosial-politik yang terjadi dengan mudah menggoda dan mengarahkan pemerintah kembali ke era otoritarianisme.

Repotnya bila muncul penilaian miring bahwa SMS saling fitnah itu dilakukan oleh orang-orang suruhan atau operator negara untuk menciptakan kondisi bagi tindakan-tindakan represif. Ini mudah dilakukan, mengingat media yang digunakan, handphone dan SMS, sifatnya anonim serta mudah didapatkan dalam jumlah tak terbatas. Mirip kontes Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Bahkan lebih gawat, sebab di AFI bila satu nomor terpakai tidak bisa mengirim lagi, sementara di SMS langsung ke Presiden bisa berkali-kali tanpa terdeteksi.

Kalau begitu untuk apa Presiden SBY mencetuskan ide ini? Niatnya baik. Hanya, seperti petuah para ulama "niat baik bila menggunakan metode yang salah akan menghasilkan mudarat bagi kita", demikian pula dengan niat Presiden. Bisa jadi rakyat menilai, metode SMS langsung hanya upaya memperbaiki citra Presiden yang cenderung menurun akhir-akhir ini. Sama sekali tidak ada jaminan terkait substansi kebijakan yang akan diambil.

Riswandha Imawan Guru Besar Ilmu Politik UGM

sumber:

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/18/opini/1823266.htm

Penamaan pulau terpencil

MIOL - HANKAM Kamis, 16 Juni 2005 15:01 WIB

Para Bupati Diminta Menamai Pulau-Pulau di Perbatasan

AMBON—MIOL: Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu meminta para bupati agar sesegera mungkin memberi nama pulau-pulau di wilayah perbatasan, terutama yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia.

"Para bupati secepatnya memberi nama pulau-pulau agar bisa segera dilaporkan ke Depdagri guna diterbitkan dalam Lembaran Negara sehingga bisa diantisipasi hal-hal yang tak diinginkan terhadap kedaulatan NKRI," katanya pada sela-sela rakor dengan bupati/wali kota se-Maluku, di Ambon, Kamis.

Di Maluku terdapat 632 pulau dengan wilayahnya seluas 712.479 kilometer persegi.

Gubernur Ralahalu mengingatkan kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang telah menjadi milik Malaysia, termasuk blok Ambalat yang sempat menimbulkan ketegangan dengan negara tetangga tersebut.

"Karena itu, hendaknya kita proaktif memberi nama bagi pulau-pulau di wilayah perbatasan sehingga tidak menimbulkan masalah di masa mendatang," katanya.

Gubernur mengingatkan, terutama dengan Timor Leste dan Australia yang berbatasan langsung dengan Maluku Tenggara Barat(MTB) dan Kepulauan Aru.

Bupati MTB SJ Oratmangun, ketika dikonfirmasi Antara, secara terpisah mengakui di kabupatennya terdapat 135 pulau.

"Hanya saja, untuk pulau-pulau di wilayah perbatasan, terutama dengan Timor Leste itu berupa karang-karang yang tidak berpenghuni dan menjadi tempat tinggal aneka jenis burung sehingga kesulitan memberi nama karena jumlahnya mencapai ratusan," tambahnya.

Sementara itu, penjabat Bupati Aru Jopie Patty, secara terpisah mengemukakan di wilayahnya terdapat 187 pulau dan 96 buah di antaranya telah berpenghuni.

"Saat ini tinggal beberapa pulau saja yang berbatasan dengan Australia belum diberi nama," ujarnya.

Patty menambahkan, pemekaran Kepulauan Aru dari Maluku Tenggara, 7 Januari 2004 lalu sangat bermanfaat dalam menjaga wilayah perbatasan dengan Australia.

Terutama untuk pengawasan di kawasan Laut Arafura yang merupakan "surga" bagi kegiatan illegal fishing, katanya.

"Bantuan dari Departemen Kimpraswil melalui Dinas PU Maluku dan Dinas PU dan Perhubungan Kepulauan Aru saat ini akan dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana, terutama jalan dan jembatan di wilayah perbatasan," katanya. (Ant/Ol-1)

sumber :
http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=67847

Tuesday, June 14, 2005

Ctt: Dino Patti I

Senin, 13 Juni 2005

SBY dan "Soft Power"

Oleh Dino Patti Djalal

SBY punya mainan baru ya?" tanya seorang wartawan. "Mainan apa?" tanya saya heran. Ia menjawab setengah berkelakar, setengah serius , "Soft power!"

Dewasa ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang sering berpikir dan berbicara mengenai soft power, dan memang sudah waktunya.

Setelah perang di Afganistan dan Irak, dan berlangsung ketegangan strategis di berbagai penjuru dunia termasuk Semenanjung Korea, Presiden SBY memandang perlu mengingatkan masyarakat dunia tentang pentingnya elemen power yang lain, selain kekuatan militer dan diplomasi koersif (apa yang disebut hard power). Berbeda dari hard power yang mengandalkan kekuatan, konsep soft power mengandalkan pendekatan persuasif dengan menggunakan aset ekonomi, kemasyarakatan, budaya, humaniter, pendidikan, iptek, dan sebagainya.

Presiden SBY memilih tempat menarik untuk pertama kali menyampaikan pandangannya mengenai soft power, di Washington DC, ibu kota Amerika Serikat. Dalam pidato resmi di depan elite politik AS yang diorganisasi US-Indonesia Society (USINDO), Presiden SBY mengimbau AS agar lebih menekankan soft power ketimbang hard power dalam kiprahnya di kancah internasional.

Di depan anggota Kongres, pejabat tinggi, pengusaha, dan pakar AS, Presiden SBY menyatakan, meski AS adalah negara adidaya yang kekuatan militernya tidak tertandingi, AS perlu lebih memproyeksikan soft power ketimbang hard power: "The US has no shortage of soft power: in terms of culture, values, sports, entertainment, business, education, science and technology, living standard, media, the US has tremendous appeal to the international community." SBY mengingatkan, "Remember: the use of soft power charms and disarms. Hard power, on the other hand, if it is used incorrectly, provokes resistance and, sometimes, resentment."

Presiden SBY juga mengingatkan, governance tidak kalah penting dibanding demokrasi, dan toleransi-bahkan kadang lebih penting-dari freedom. Itulah bentuk-bentuk soft power yang perlu dikembangkan AS di masa depan.

Uniknya, pidato SBY itu mendapat apresiasi luar biasa dari elite politik AS. Seusai pidato, Presiden SBY mendapat standing ovation hadirin, termasuk Senator Kitt Bond yang langsung bangkit dari kursi, memberi selamat Presiden SBY yang baru turun panggung.

Terus menggema

Dalam konferensi internasional komunitas pertahanan (dikenal dengan "The Shangrila Dialogue") di Singapura 3-5 Juni lalu, PM Lee Hsien Loong juga menyerukan agar AS lebih menekankan soft power. PM Lee Hsien Loong menyatakan, AS perlu lebih menggunakan potensi soft power-nya dalam menarik opini internasional, memperbaiki mispersepsi, serta membangun kepercayaan dan kredibilitasnya, khususnya di kalangan dunia Islam. Keesokan harinya Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld dalam konferensi yang sama menyatakan sepenuhnya setuju, AS perlu mengedepankan soft power dalam pergaulan internasionalnya meski tetap bersikeras bahwa opsi militer tetap merupakan opsi terakhir. Diskusi setelahnya dengan Menteri Pertahanan Jepang dan Menteri Pertahanan Korea Selatan juga diselingi tema soft power.

Tampak, soft power akan menjadi tema yang kian disorot dalam wacana strategis internasional.

Indonesia dan "soft power"

Banyak kalangan menilai pesan Presiden Indonesia di Washington DC itu amat strategis dan fundamental, khususnya di tengah situasi dunia yang terus bergolak dan selalu dihantui politik kekerasan.

Namun, pesan yang terkandung dalam pidato SBY itu sebenarnya juga berlaku bagi diri kita, yakni Indonesia perlu terus mengembangkan potensi soft power di masa datang.

Dalam pemikiran Presiden SBY, stabilitas internasional akan lebih terjamin jika negara-negara dunia berlomba mengembangkan soft power ketimbang bersaing menumbuhkan hard power.

Saya pernah menanyakan, mengapa soft power penting dalam pergaulan internasional. Jawab Presiden, "Hard power menimbulkan aneka benturan, namun soft power menimbulkan jaringan-jaringan. Hard power dapat mengakibatkan persaingan negatif, namun soft power dapat menghasilkan sinergi positif."

Pengembangan soft power memang cocok bagi politik bebas aktif yang kita anut karena tampaknya di sinilah letak kekuatan diplomasi kita serta daya tarik Indonesia dalam pergaulan internasional.

Pengaruh dan reputasi Indonesia di masyarakat internasional lebih banyak ditentukan oleh prestasi, pesona, persuasi kita ketimbang karena faktor kekuatan militer.

Reputasi Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, misalnya, menempatkan kita sebagai negara panutan dalam pergaulan dunia. Status Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar memberi kita kredibilitas dalam menjembatani antara dunia Islam dan Barat. Keberhasilan kita membantu proses perdamaian untuk konflik Kamboja, Filipina Selatan, dan Laut Cina Selatan meningkatkan reputasi kita sebagai juru damai. Potensi pasar kita dengan jumlah penduduk 220 juta juga banyak diperhitungkan orang. Sementara politik bebas aktif kita mengukuhkan citra Indonesia sebagai negara independent-minded tidak terikat siapa pun.

Dan jangan lupa, ketangguhan dan ketabahan rakyat Indonesia yang jatuh bangun setelah krisis moneter, kerusuhan Timor Timur 1999, konflik etnis dan separatis, serangan teror, tsunami dan sebagainya banyak diperhatikan bahkan dikagumi masyarakat internasional.

Berbicara ihwal contoh soft power, saya teringat kunjungan Presiden SBY ke Australia beberapa waktu lalu. Presiden SBY datang tidak dengan membusungkan dada atau berteriak lantang, tetapi dengan apa yang dinamakan seorang wartawan Australia membawa charm offensive, menampilkan sosok yang simpatik, rendah hati, bersahabat, dan penuh ide.

Dalam berbagai kesempatan-gayanya yang rileks terhadap PM John Howard, kiprahnya menjemput jenazah perwira Australia yang gugur di Nias di bandara Sydney, kunjungan ke makam pahlawan, pidato di Parliament House-Presiden SBY dalam sekejap mengubah citra Indonesia di mata mainstream Australia, dan mengubah suasana dan substansi hubungan RI-Australia.

Akibat kunjungan itu, hubungan RI-Australia dapat dikatakan mencapai titik tertinggi, yang ditandai pencanangan Comprehensive Partnership antara kedua negara. Dan Presiden SBY konon dianggap sebagai salah satu negarawan asing terpopuler di Australia.

Saya teringat komentar Presiden saat saya tanyakan apa yang memberi nilai tambah bagi soft power suatu negara. Jawab Presiden, "Yang penting kita menjadi bangsa yang dihormati, bukan ditakuti, bangsa yang disegani, bukan dihindari; bangsa yang didengar suaranya karena kita menyuarakan sesuatu yang bernilai."

Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htm