Monday, January 24, 2005

Perkara Utang I

Senin, 24 Januari 2005

CGI, Utang, dan Kesinambungan Fiskal

Muhammad Chatib Basri*

SAYA ingat sebuah kalimat tua dari Thomas Jefferson, Presiden ketiga Amerika Serikat, "I place economy among the first and important virtues, and public debt as the greatest danger". Menarik, semangat dari kalimat tua itu seperti hidup sampai sekarang. Walau tentunya, kita tak tahu seberapa persis pernyataan itu di era ini. Ini adalah zaman di mana hampir semua negara-bahkan yang maju sekalipun-berutang. Soalnya, bukan berbahaya atau tidaknya utang, tetapi apakah ia dapat mengganggu kesinambungan perekonomian, khususnya fiskal. Sedihnya, inilah satu masalah besar yang dihadapi negeri ini.

MEMANG ada nada masygul ketika kita bicara tentang utang negeri ini. Ada nada kekhawatiran yang dalam di sana. Di sana-sini orang bicara tentang beban yang harus ditanggung generasi mendatang. Orang bicara dengan muram, atau dengan nada marah, tentang "negeri yang tergadai". Lalu sederet pesimisme lainnya. Dan sebagaimana biasanya kekhawatiran, ia mungkin muncul dalam imaji yang lebih buruk dibandingkan dengan kenyataannya.

Tetapi toh, kekhawatiran itu bukan sebuah omong kosong yang direka-reka begitu saja. Ada kebenaran di sana. Itu sebabnya ada sinyal yang masuk ke koridor pengamatan kita. Dan ia datang dengan sebuah pesan: satu masalah krusial yang dihadapi Indonesia adalah utang luar negeri. Pesan ini menjadi semakin terdengar keras ketika pekan lalu diadakan pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI) di Jakarta. Ada beberapa isu penting yang mengemuka.

Pertama, pertemuan yang disebut-sebut sebagai "Indonesia-led CGI" yang pertama ini- di mana Indonesia untuk pertama kalinya menjadi ketua- membahas dengan cukup dalam masalah Aceh dan Sumatera Utara (Sumut). Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani muncul dengan estimasi kerusakan di Aceh dan Sumut 4,5 miliar dollar AS, yang mencakup angka kerusakan sebesar 2,9 miliar dollar AS dan kehilangan 1,6 miliar AS.

Angka ini hanya memperhitungkan biaya penggantian (replacement cost) dan belum menghitung kebutuhan rekonstruksi. Tentu di luar biaya itu, biaya intangible (biaya yang tak bisa dinilai dengan uang) jauh lebih besar. Oleh karena itu, Sidang CGI kali ini memang sarat dengan diskusi penanggulangan dampak bencana di Aceh dan Sumut. Dan sidang ini dengan pledge khusus: bantuan untuk Aceh dan Sumut sebesar 1,7 miliar dollar AS, yang terdiri dari 700 juta dollar AS dana yang disalurkan melalui APBN dan 1 miliar dollar AS yang disalurkan secara langsung.

Dari jumlah tersebut, 1,2 miliar dollar AS adalah hibah dan 500 juta dollar AS adalah pinjaman sangat lunak dengan bunga nol persen atau mendekati nol persen dengan masa pengembalian yang panjang (30-40 tahun). Isu yang mengemuka saya kira adalah soal penggunaannya. Di sini komitmen yang jelas terhadap masalah korupsi menjadi isu besar. Itu sebabnya good governance menjadi isu yang amat krusial.

Selain bantuan untuk tragedi tsunami, CGI juga memberikan bantuan baru kepada pemerintah sebesar 3,4 miliar dollar AS, terdiri dari 2,8 miliar dollar AS yang disalurkan melalui APBN dan 600 juta dollar AS secara langsung. Jika kita melihat kebutuhan pembiayaan fiskal, angka 2,8 miliar dollar AS berada di dalam rentang kebutuhan. Jika dilihat dari defisit anggaran dan sumber pembiayaan, jumlah bantuan yang dibutuhkan pemerintah memang berkisar 2,5-3 miliar dollar AS.

ISU kedua, apakah utang baru yang kita peroleh akan membahayakan? Jawabannya tak semudah retorika perlu atau tak perlu utang. Ia harus dilihat dalam perspektif jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, pertanyaannya: bagaimana kita membiayai defisit anggaran sebesar 1 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahun 2005 bila tak ada utang baru? Mereka yang menolak utang mungkin punya dua pilihan: menaikkan sisi penerimaan atau menurunkan sisi pengeluaran.

Implikasinya: pajak harus dinaikkan dan penerimaan privatisasi harus ditingkatkan dengan tajam. Dua hal yang amat berat dan mendapat tentangan keras saat ini. Di sisi pengeluaran, pengeluaran yang dianggap tak memiliki urgensi tinggi dan juga subsidi harus dipangkas. Ini juga ditentang.

Karena itu, komitmen CGI saya kira harus dilihat sebagai sebuah ruang bagi pemerintah untuk pemulihan ekonomi. Namun, tentu kita harus memberikan catatan kaki di sini: utang baru tak bebas dari masalah. Jika tak hati-hati, ada soal besar dalam jangka panjang. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dengan baik. Salah satu faktor yang dianggap berperan dalam krisis utang adalah rezim perdagangan dan kemampuan untuk melakukan ekspor.

Secara konseptual, jumlah stok utang akan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga kredit luar negeri (untuk pinjaman komersial) dan laju pertumbuhan nilai ekspor. Pertumbuhan ekspor-walaupun membaik-belum sepenuhnya pulih. Pertumbuhan ekspor yang lemah secara teoretis akan mengakibatkan semakin tingginya beban utang luar negeri. Sejarah di Amerika Latin bicara: hanya negara yang berorientasi ekspor yang mampu menghadapi soal beban bunga cicilan utang. Dengan penerimaan ekspor yang tinggi, negeri pengutang mampu memenuhi kewajiban bunga cicilan utangnya.

Studi yang dilakukan Jeffrey Sachs menunjukkan bukti empiris argumen ini. Itu sebabnya rezim perdagangan yang proteksionis harus dihindari, apalagi situasi eksternal tahun 2005 diperkirakan sedikit melemah. Namun, di sisi lain, sebenarnya ada alasan untuk optimistis. Laporan Bank Dunia 2005 menunjukkan bahwa penggunaan kapasitas terpasang pada tahun 2003 merupakan yang tertinggi selama 20 tahun terakhir. Artinya, bila kita melihat pola di masa lalu, investasi riil akan bisa tumbuh relatif tinggi dalam waktu mendatang.

Selain itu, data juga menunjukkan bahwa impor barang modal Januari-November 2004 tumbuh 44,2 persen. Ini adalah indikator positif karena impor barang modal menunjukkan bahwa produksi akan meningkat tahun mendatang. Perhitungan yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) menunjukkan relasi yang kuat antara impor barang modal dan pertumbuhan investasi. Selain itu, depresiasi dari nilai tukar riil memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekspor.

Periode Januari-November 2004, pertumbuhan ekspor nonmigas mencapai 8,8 persen dengan pertumbuhan total ekspor 10 persen. Angka ini-walaupun harus diinterpretasikan dengan hati-hati karena adanya perubahan cara perhitungan-memberikan bukti empiris membaiknya pertumbuhan ekspor. Itu sebabnya target pertumbuhan 5,5 persen saya kira bukan sesuatu yang terlalu sulit dicapai. Artinya, potensi memang ada, tinggal bagaimana perbaikan iklim investasi tak sekadar menjadi jargon, dan pelbagai hambatan birokrasi dapat diatasi dengan seri deregulasi ekonomi.

ISU ketiga, apakah utang baru ini akan mengganggu kesinambungan fiskal? Secara konseptual, kebijakan fiskal dapat dianggap berkesinambungan jika pemerintah tak mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai anggarannya dalam jangka waktu tak terbatas. Implikasinya, kesinambungan fiskal akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah memperoleh sumber penerimaan pajak melalui pertumbuhan ekonomi, efisiensi kebutuhan anggaran melalui peningkatan penerimaan maupun penajaman pengeluaran, sumber pembiayaan melalui penerimaan nonpajak seperti penjualan aset atau privatisasi dan restrukturisasi utang.

Bila pemerintah tidak bisa menjamin adanya kesinambungan fiskal, akan ada ancaman terhadap perbaikan makroekonomi yang berujung pada runtuhnya keuangan negara. Selain itu, masalah dalam kesinambungan fiskal akan berakibat pada meningkatnya country risk Indonesia, yang pada gilirannya akan meningkatkan risiko serta tingkat bunga, yang akhirnya menghambat masuknya investasi ke Indonesia. Itu sebabnya kita harus melihat soal ini dengan perhatian lebih.

Di sini saya kira pertemuan CGI datang dengan berita bagus untuk Indonesia. Tengok saja angka-angka berikut: pledge baru CGI pada tahun 2005 adalah 2,8 miliar dollar AS, sementara pembayaran utang pokok dan bunga adalah 5,5 miliar dollar AS. Artinya, di satu sisi, stok utang mengalami penurunan 2,7 miliar dollar AS. Sementara di sisi lain, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan meningkat 5,5 persen pada 2005. Akibatnya, rasio utang terhadap PDB mengalami penurunan dari 53 persen di 2004 menjadi 48 persen di 2005.

Namun, tentunya kita tidak bisa berpuas diri dan mengatakan persoalan sudah selesai. Fiskal kita tetap masih rentan, terutama bila kita memasukkan faktor contingent liabilities (kewajiban yang harus dipenuhi jika sesuatu hal terjadi)-misalnya bila pemerintah harus menanggung utang BUMN atau proyek yang bangkrut.

Simulasi pada gambar menunjukkan bahwa jika kita memasukkan faktor contingent liabilities, kesinambungan fiskal semakin tidak terjaga. Itu sebabnya risiko fiskal tetap menjadi isu penting dalam beberapa tahun ke depan.

Pertemuan CGI di Jakarta berakhir sudah. Kita memang melihat bahwa ada potensi di sini. Antusiasme yang muncul pada Infrastructure Summit lalu memberikan indikasi tentang hal ini. Jepang, misalnya, secara jelas memberikan komitmennya, di mana sebagian besar bantuannya digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Sesuatu yang amat dibutuhkan negeri ini karena praktis setelah krisis tahun 1997 kualitas infrastruktur menurun tajam.

Itu sebabnya komitmen CGI memberikan ruang untuk memperbaiki ekonomi. Tinggal pengelolaan dan prioritas penggunaan utang yang menjadi isu penting. Sesuatu yang dibahas secara khusus dalam sidang ini. Di sini saya kira isu lama soal good governance menjadi amat krusial untuk tak menjadi jargon. Jika hal itu diantisipasi, kekhawatiran pada kalimat tua Thomas Jefferson mungkin agak sedikit berlebihan.

*Direktur Riset LPEM-FEUI dan Staf Pengajar FEUI

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0501/24/ekonomi/1514445.htm

No comments: