Friday, November 05, 2004

Mesin Pemotong Rumput Mengubah Dadang

Kompas, Jumat, 05 November 2004

SAAT tengah termenung di sebuah taman, ia memerhatikan gerakan pemotong rumput. Lalu matanya terusik oleh mesin pemotong rumput yang berada di sebelah si pengguna. "Mesin itu terpisah, tetapi bisa menggerakkan pisau pemotongnya," kata Dadang yang langsung membayangkan membuat sebuah motor dengan mesin pemotong rumput. Karena tak ada uang, ia mencobanya pada sebuah sepeda. Dipasangnyalah mesin pemotong rumput pada sepeda. Sepedanya pun berubah menjadi sepeda bermotor.

Keberhasilan percobaannya itu membuat Dadang ingin membuat motor sungguhan. Akan tetapi, dalam ukuran kecil karena motor mini belum banyak dikenal orang. Lagi pula, kalau membuat motor besar, ia harus mempunyai izin usaha dan menguruskan surat-surat kepemilikan untuk para calon pembelinya. "Saya sih cukup bikin motor buat bermain anak-anak di taman," ucap Dadang. Panjang motor mini buatan Dadang itu sekitar satu meter, sementara lebarnya sekitar 25 sentimeter.

Dengan modal uang tabungan sebesar Rp 1,25 juta, ia pun memulai pekerjaannya. Dadang membeli mesin pemotong rumput dan plat eser ukuran 0,8 milimeter. Plat ia potong-potong di rumahnya. Lalu diketok dan dilas untuk membentuk tubuh motor, termasuk tangki bensin. Motor-motor mini itu memiliki bentuk seperti motor sport. Untuk membuat sebuah motor mini dengan sempurna, Dadang membutuhkan waktu satu bulan. Motor mini pertamanya ia berikan untuk anaknya, Sendy Widiutama.

Di hari Minggu, Sendy sering berkeliling di sekitar Gasibu dan Monumen Perjuangan, Jalan Dipati Ukur, Bandung. Kedua tempat itu berjarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya di Jalan Setia.
Karena motor mini ini menggunakan bensin, Sendy kemudian menyewakan motor itu di Taman Monumen Perjuangan. Uangnya ia pakai untuk membeli bensin.

>small 2small 0<>Harga sebuah motor mini 30 cc dengan mesin baru dijual Rp 4,5 juta. Sementara untuk motor dengan mesin bekas harganya Rp 3,5 juta. Biaya membuat sebuah motor bermesin baru sekitar Rp 3,1 juta. "Tetapi, saya belum bayar asisten saya. Biasanya saya beri dua asisten saya Rp 50.000 atau 100.000 dari harga penjualan," kata Dadang.

Semua motor buatan Dadang itu memiliki transmisi otomatik. Karena tidak ada kopling, pengendara cukup memutar gas ke belakang untuk menjalankan kendaraan dan memutar ke depan untuk menghentikan kendaraan.

"Asik," komentar Maula (10) ketika ditanya tentang kesannya mengendarai motor mini tersebut. Sejak kecil, Maula sangat tertarik mengendarai motor. Bahkan, ia suka mencuri kesempatan membawa keluar motor orangtuanya. Dalam sehari, Maula menghabiskan uang Rp 10.000 untuk menyewa motor mini. Harga sewa satu kali lintasan 100 meter dikendarai bolak-balik hanya Rp 1.000. Anak biasanya menyewa lebih dari sekali.

Selain yang bertenaga 30cc, Dadang juga membuat motor berukuran lebih besar seperti motor-motor bebek yang dikenal umum. Kekuatannya pun 110 cc. Kendaraan mini buatan Dadang tidak hanya bisa digunakan anak-anak, orang dewasa pun bisa memakainya. Untuk membuat sebuah kendaraan mini, Dadang membutuhkan waktu sebulan dibantu dua asisten. Asistennya adalah anak-anak putus sekolah.

"Sebetulnya, di dekat rumah saya ada empat anak putus sekolah. Secara bergiliran, saya ajak mereka membantu saya membuat kendaraan ini," kata Dadang.

Dadang menjual gokar yang menggunakan mesin baru Rp 4.5 juta dan yang bermesin bekas Rp 3,5 juta. Sementara motor 110cc bermesin baru dijual Rp 7,75 juta dan yang bermesin bekas Rp 5,5 juta.
Penghasilan Dadang memang belum besar, pekerjanya pun belum banyak. Tetapi, ia bisa mewujudkan mimpinya berdiri di atas kaki sendiri. Apakah Anda terinspirasi? (Y09)

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0411/05/Jabar/1367563.htm


Tuesday, November 02, 2004

Investasi dalam kompleksitas Indonesia

Membenahi Indonesia, semua orang tahu : membutuhkan kearifan dalam menghadapi kompleksitas berbangsa dan bernegara.

Saat ini, agaknya solusi ekonomi masih menjadi primadona, melanjutkan prioritas sejak jaman pembangunan dari era orba kemaren.

Jika kita menggunakan paradigma Alvin Tofler, ada tiga gelombang perkembangan budaya manusia, maka rakyat Indonesia tersebar, hidup di ketiga gelombang tersebut. Apakah peningkatan upaya di bidang ekonomi sebagai solusi tunggal akan menjadi jawaban untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia ? Sementara itu perkembangan datangnya teknologi ke Indonesia, apakah bisa dianggap sebagai pendukung penerapan solusi ekonomi tersebut ?

Gap gotong-royong vs Man-hours, gap mengetahui vs memahami

Di Indonesia terdapat gap antara budaya gotong royong [kekerabatan] dengan budaya Man-hours [penerapan upah per jam atau per hari], serta adanya gap kompetensi antara mengetahui [to know] dan memahami [to comprehensive].

Gap itu terlihat nyata dipaksakan untuk dihapus melalui solusi ekonomi oleh pemerintah di era orde baru. Mungkin maksudnya baik. Tapi tidak semua rakyat siap. Banyak kejutan kebudayaan yang terjadi di sana-sini, yang di antaranya menganggap korupsi adalah perilaku wajar, menganggap kroni adalah kepanjangan dari kekerabatan. Salah kaprah.

Dibutuhkan pakar yang mau mengkaji masalah sosial-budaya untuk ikut berkontribusi, bukan sekedar menyediakan paket-paket wisata belaka, demi menjaring devisa. Namun perlu dikaji, setidaknya dari segi budaya, seberapa jauh kesiapan rakyat di suatu daerah, jika solusi ekonomi dan teknologi diberlakukan. Jangan sampai hanya segelintir oknum yang tiba-tiba menjadi kaya-raya, sementara mayoritas anggota masyarakat lainnya terbelenggu oleh kartu kredit.

Membedakan kepentingan publik dan kepentingan pribadi

Mengubah reward dalam konteks gotong-royong tidak bisa serta merta dipaksakan menjadi budaya rewards dalam konteks Man-hours. Jika salah kelola, akan muncul banyak pak Ogah di seluruh pelosok tanah air. Sebaiknya dilakukan secara komprehensif antara solusi ekonomi dengan solusi lain, seperti solusi politik [Daoed Jusuf], solusi budaya, solusi hukum dan solusi pendidikan.

Perlu disosialisasikan di sekolah-sekolah, di kantor-kantor pemerintah pusat maupun daerah, di lingkungan dunia usaha, untuk mempertegas perbedaan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik. Sepele, tapi bisa potensial menjadi masalah nantinya. Tidak semua hal di Indonesia hanya bisa dilihat dari kacamata pasar, investasi uang, dan berlakunya hukum permintaan dan penawaran. Meminjam istilah Aa Gymn, perlu juga dilakukan investasi moral, investasi budaya, investasi kompetensi untuk berusaha, investasi perilaku mencari nafkah dengan santun, investasi kesadaran bela negara, investasi kesadaran untuk berbangga pada penggunaan produk dalam negeri, serta investasi dalam berbagai aspek lainnya.

Perlu dikaji lagi sistem reward-penalty yang tepat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, maupun saat nanti, dengan merujuk kasus-kasus masa lalu. Perlu dikaji lagi, bagaimana hukum persaingan usaha yang wajar, dan sesuai dengan norma-norma masyarakat kita, yang taat beragama. Yah, semua memang mempunyai kompleksitas yang tinggi. Tapi itulah Indonesia.

Sumber: http://www.mediaindo.co.id/100hari/default.asp?tanggal=11%2F2%2F2004

Antara gotong royong dan Man-hours

Era yang serba terkwantisasi

Dulu orang membangun rumah, cukup memanggil tetangga, lalu secara rukun saling bergotong royong ikut membangunnya. Selamatan dan sedekah diadakan sebagai tanda terimakasih kepada yang membantu membangun rumah. Di daerah, masih banyak acara hajatan seperti pesta perkawinan dihadiri oleh keluarga, handai taulan maupun kenalan. Ada kenalan yang menyumbang ayam [hidup] 5 ekor. Eh, ketika pulang membantu hajatan, dia malah kembali sambil dibekali ayam [hidup] 8 ekor. Nilai tukar berbaur dengan nilai kekerabatan yang kental.

Orde baru membawa kita ke era yang serba terkwantisasi. Mau lewat perempatan pun, sekarang ada ongkosnya. Mau memakamkan jenasah, sudah banyak orang yang mulai mengupah sekelompok orang. Man-hours. Jika kita menggunakan jasa seseorang mulai dihargai dengan hitungan per jam, per hari dst. Yang dikonversi ke nilai rupiah.

Mana yang perlu dihargai pada jaman seperti saat ini ? Ada yang bilang, tergantung profesinya. Nah, kalau berdiri di perempatan lalu menganggap itu adalah profesinya, apakah dia salah ? Kalau menyampaikan permohonan perijinan ke atasan untuk disahkan, dianggap sebagai profesi, apakah sudah selayaknya perlu dihargai dengan Man Hours. Lalu gaji yang diperolehnya untuk apa ? Apakah cukup dan di atas garis kemiskinan ? Ada permintaan ada penawaran. Jika yang minta ijin banyak dan melimpah, semacam pergantian STNK dan SIM, apakah itu perlu mengikuti hukum pasar ?


Kepentingan pribadi dan layanan publik

Upaya di republik ini sedang berubah. Perlu ditata lagi, mana yang merupakan layanan publik, mana yang wilayah pribadi. Jangan sering dicampur aduk. Mana yang bisa dihargai dengan Man Hours, mana yang cukup dengan salary bulanan, atau mana yang memang sudah kewajibannya.

Kita juga perlu memperhatikan, belum semua budaya di pelosok tanah air yang menerapkan budaya Man Hours. Masih banyak anak muda yang secara sukarela berkesenian, tanpa harus dibayar. Tapi di daerah lain, ada juga anak muda yang mengandalkan hidupnya dari berkesenian.

Kita juga perlu memperhatikan, masih banyak orang yang menolong orang lain yang akan tenggelam di laut, kalau perlu dia nggak jadi mencari ikan. Yang penting orang yang tenggelam itu selamat. Tapi di pojok lain negeri ini, sudah mulai ada yang suka membiarkan “kompetitor”nya tenggelam.


sumber: http://www.mediaindo.co.id/100hari/default.asp?tanggal=11/2/2004&page=1



Monday, November 01, 2004

Bank Dunia: Penduduk Miskin Indonesia 16 Juta

Senin, 01 November 2004
Jakarta, Kompas - Sekitar 16,09 juta jiwa atau 7,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia dilaporkan masih hidup dengan daya beli kurang dari 1 dollar Amerika Serikat per hari atau berada di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia saat ini. Masalah kemiskinan tersebut merupakan masalah utama perekonomian Indonesia yang harus dihadapi. Keadaan itu diperparah oleh tingkat pengangguran pada angkatan kerja muda yang semakin meningkat.
Hal tersebut terungkap dalam Laporan Pembangunan Dunia 2005 yang merupakan hasil survei yang dilakukan oleh International Finance Corporation (IFC) terhadap 30.000 perusahaan di 53 negara di dunia, dan 700 perusahaan di antaranya berada di Indonesia.

Dalam laporan yang disampaikan di Jakarta, Jumat (29/10), disebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia hingga tahun 2003 tercatat sebanyak 214,5 juta jiwa, dan sebanyak 52,4 persen di antaranya atau sekitar 112,398 jiwa merupakan penduduk yang hanya memiliki daya beli di bawah 2,15 dollar AS per hari.

Sementara itu, secara global, menurut Presiden Bank Dunia James D Wolfensohn, separuh dari jumlah penduduk dunia saat ini hidup dengan daya beli di bawah 2 dollar AS per hari. Pada saat yang sama, sekitar 1,1 miliar jiwa lainnya berada pada kondisi yang lebih parah karena hanya memiliki daya beli di bawah 1 dollar per hari.

"Sementara pada saat yang sama, angkatan muda di hampir seluruh wilayah di dunia tengah menghadapi masalah pengangguran yang meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tingkat rata-rata pengangguran di tahun sebelumnya. Padahal, jumlah penduduk dunia akan bertambah sekitar dua miliar jiwa dalam 30 tahun mendatang, terutama di negara-negara berkembang," kata Wolfensohn.

Menurut Wolfensohn, di tengah kondisi muram kependudukan dunia, muncul kabar gembira, yakni mulai muncul sikap dari banyak pemerintahan di dunia yang menyadari kesalahan kebijakan dan sikap mereka terhadap upaya perbaikan iklim investasi. Beberapa pemerintah yang menyadari hal itu dan mulai mengubah strategi perbaikan iklim investasi mereka antara lain adalah China dan India.

"Sementara pada pemerintahan di beberapa negara lain memang telah mengagendakan perubahan kebijakan, namun implementasinya masih sangat lambat dan tidak seimbang. Mereka pada umumnya masih membebani para pengusaha dengan biaya yang tidak perlu, menciptakan ketidakpastian, dan menimbulkan risiko, serta tetap melakukan hambatan untuk berkompetisi," kata Wolfensohn.

Masih lemah
Sementara itu, Ekonom Bank Dunia Yoichiro Ishihara mengatakan, laporan survei IFC tersebut menunjukkan bahwa iklim investasi di Indonesia tetap lemah. Lemahnya iklim investasi tersebut telah menjadi penyebab utama rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional.

"Tingkat pengangguran Indonesia justru meningkat dari 9,1 persen di tahun 2002 menjadi 9,5 persen di tahun 2003. Itu terjadi pada saat pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 4,3 persen di tahun 2003. Itu menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3 persen tidak cukup menekan tingkat pengangguran," kata Ishihara.

Saat ini pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia lebih digerakkan oleh konsumsi swasta dan pemerintah. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai tingkatan yang mampu mengurangi tingkat pengangguran dalam jumlah besar, maka pertumbuhan ekonomi harus lebih digerakkan oleh investasi dan ekspor ketimbang konsumsi tadi.

"Itu harus menjadi fokus pemerintah baru karena rasio investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) antara tahun 1996 hingga 2003 terus menurun dari 29,6 persen menjadi 19,7 persen. Hal itu merupakan rasio terendah dalam 30 tahun terakhir. Investasi swasta merupakan penyebab utama terjadinya penurunan investasi nasional, antara 1996 hingga 2002, investasi swasta menurun dari 20,5 persen menjadi 13 persen saja," kata Ishihara.

Sinyal positif terhadap perbaikan iklim investasi di Indonesia, menurut Ishihara, mulai muncul di paruh pertama tahun 2004 yang terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi yang mencapai delapan persen. Kondisi itu juga diiringi meningkatnya angka investasi dan bertambahnya modal asing ke dalam negeri hingga mencapai 33 persen antara Januari hingga Agustus 2004.

"Kondisi itu diharapkan akan makin menguat dengan dicanangkannya perbaikan iklim investasi sebagai salah satu prioritas tertinggi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terutama dengan adanya fokus terhadap agenda jangka pendek dan menengah pada peningkatan produktifitas dan daya saing produk dalam negeri," kata Ishihara. (OIN)

sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0411/01/ekonomi/1357576.htm

Antara mengetahui dan memahami

Mengetahui: dengan salah satu indera kita bisa mengetahui apa yang terjadi di sekitar kita. Apa yang terjadi itu suatu kecenderungan menuju kesuksesan atau suatu ancaman yang bisa menjadi potensi kegagalan bagi usaha kita.

Memahami: tidak sekedar mengetahui. Memahami membutuhkan kemampuan "mengetahui" secara komprehensif. Perlu effort yang lebih besar untuk memahami yang ada di sekitar kita, dibandingkan dengan upaya sekedar untuk mengetahui.

1. Melalui "mengetahui", bisa memudahkan kemunculan perilaku "uang dengar".
Selama 32 tahun, dengan modal "mengetahui" banyak "penonton" yang telah berhasil meroketkan biaya uang dengar dari 5% di awal orde baru menjadi lebih dari 95% di paska orde baru. Akibatnya, yang benar-benar bekerja, berkeringat dan berfikir keras untuk kesuksesan suatu upaya, menjadi "kalah" penghargaannya dibandingkan dengan yang sekedar "mengetahui".

Anak bupati, kemenakan kabiro, istri muda pejabat, dengan mudah bisa mengendalikan kue fee-proyek, bukan ngurusin kualitas dan bukan pula care terhadap penyelesaian proyek. Ada ketidakadilan di sini. Karena upaya memahami membutuhkan 'investasi' yang jauh lebih besar daripada "penonton" yang sekedar "mengetahui", namun justru "penonton" yang dekat dengan pengambil keputusan itulah, yang berpesta atas penghargaan yang seharusnya bukan menjadi hak-nya. Lalu dengan "bijak-nya" para pakar saat itu menyebutnya sebagai ekonomi biaya tinggi. Maunya mengkritik secara santun, namun nggak pernah kena sasaran. Karena yang dikritik cuman manggut-manggut.

2. Melalui "mengetahui", bisa muncul para pembisik.
What is the realy needs ? adalah starter yang baik untuk suatu problem solving.
Untuk mudahnya, dicari "mereka" yang "serba mengetahui", kalau bisa instant sekalian dengan solusinya. Uenak tenan. Jadinya akan muncul kebijaksanaan yang dianggap sebagai solusi, padahal menambah polusi keruwetan tata kelola bangsa ini.
Sebaiknya dalam mengambil keputusan, jangan terlalu tergantung kepada pembisik. Sebaiknya pengambilan keputusan itu perlu diback-up dengan survei data sendiri.

3.Melalui "mengetahui", kita bisa menjemput fakta, untuk dicatat menjadi data guna mengambil keputusan dengan lebih pasti.
Menjemput fakta bisa dilakukan dengan survei, atau pengamatan aparat. Survei akan mahal jika itu dilakukan oleh para technical assistance asing. Aparat bisa diberdayakan dengan reward-penalty yang wajar, serta ditunjukkan tentang apa yang perlu diamati, dan dibekali dengan pemahaman yang cukup. Data historis harus dicatat dengan baik dan rapi, agar langkah kita tidak terantuk batu yang sama.

Dengan data historis, langkah "mengetahui" bisa dilanjutkan dengan memahami. Dicari elemen dan struktur arsitektur persoalannya. Dicari state-state antara yang bisa dicapai dari suatu titik awal, dalam rangka menuju state tujuan. Dibutuhkan sikap komprehensif, untuk tidak hanya melihat perilaku normalnya saja, namun kemungkinan handycap atau perkecualian yang bisa muncul untuk diantisipasi.

Dibutuhkan sikap open-mind untuk membandingkan fakta aktual dengan fakta yang terekam dalam data historis. Jangan menunggu "disodori" fakta yang menyakitkan, sehingga kita merasa disetir oleh keadaan.

4. Menjemput fakta, ya harus melalui survei atau "mengetahui" langsung.
Masalahnya, yang "mengetahui" langsung itu apakah bisa dipercaya ? Ini suatu seni dalam tata kelola. Menjemput fakta harus bisa membedakan, apakah ini gejala awal, atau indikasi akibat dari rangkaian penyebab yang panjang. Jika kita sering menunda menjemput fakta, yang kita temui adalah indikasi akibat, yang seolah bertubi-tubi menerpa kita.

Menjemput fakta dengan deteksi dini, ibarat medetaksi kemungkinan terjadinya kanker di bangunan sistem tubuh manusia. Deteksi dini bisa dibudayakan, jika tidak ingin "menjadi proyek" yang menghamburkan uang. Survei, riset, standard operating procedure, Plan A, Plan B, serta banyak metodologi manajemen bisa diterapkan.

5. Mengetahui, perlu dipadukan dengan memahami.
Contohnya, peningkatan upah minimum di satu sisi memang "memberatkan" bagi pengusaha. Ini benda macam apa pula, kata peneliti. Tapi anehnya para pengusaha kok "tega" menyogok kepada penguasa dengan nilai yang berlipat kali. Mungkin para pengusaha lupa, bahwa meningkatkan upah minimum, adalah juga berarti meningkatkan daya beli.

Meningkatkan daya beli akan memutar roda pasar kehidupan ekonomi. Karena itu sama dengan menanam benih munculnya konsumen produknya.

6. Perlu data yang terpercaya melalui pemberdayaan generasi muda
Mari kita percaya dan kita berdayakan seluruh lapisan masyarakat, khususnya para anak-anak muda yang potensial.

Jangan sampai mereka hanya memperhatikan dugem melulu. Adalah sedikit perhatian mereka terhadap aktivitas riset dan inovasi, jika para orang tua juga menghargainya. Marilah kita berdayakan tempat-tempat pengajian ilmu pengetahuan, agar ikut berkontribusi bagi pemutaran roda ekonomi dan penegakan hukum. Agar di hari tua nanti, kita akan lebih tenang, karena tunas-tunas muda telah ikut tumbuh dengan lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan yang kita alami semua.

7. Hati-hati menepuk dada.
Riya, itu bukan sikap yang dianjurkan oleh agama. Yang dikhawatirkan, jika suatu upaya mulai menunjukkan keberhasilan, akan menggoda kita untuk bersikap riya. Lebih baik mulai sekarang dipikirkan, bagaimana caranya kegairahan untuk serius bekerja, yang ditunjukkan oleh kabinet saat ini, bisa ditularkan ke seluruh rakyat. Tanpa kecuali. Jangan sampai ada yang diabaikan, supaya nanti tidak tergoda untuk menjadi "makelar" seperti di jaman orba, atau tergoda untuk menjadi kroni di jaman Pak Habibie, atau tergoda menjadi pembisik, seperti di jaman Gus Dur, atau tergoda menjadi "pengganggu" seperti di jaman Bu Mega, atau tergoda menjadi preman di setiap perempatan.

sumber: http://www.mediaindo.co.id/100hari/default.asp?tanggal=10%2F31%2F2004

Berita lain yang menarik:
LOMBA KARYA CIPTA TEKNOLOGI MAHASISWA UNTUK INDUSTRI KECIL MENENGAH (LKCTMI) bisa di lihat di http://www.dikti.org/lkctmi2004.htm