Monday, January 24, 2005

Laporan Kemiskinan Bank Dunia

Senin, 24 Januari 2005

Bank Dunia: Lebih dari 110 Juta Penduduk RI Miskin

Jakarta, Kompas - Bank Dunia menyebutkan lebih dari 110 juta jiwa penduduk Indonesia tergolong miskin karena masih hidup dengan penghasilan di bawah 2 dollar AS atau Rp 18.310 per hari. Jumlah penduduk miskin itu setara dengan gabungan dari jumlah penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja sehingga sebagian besar penduduk miskin di Asia Tenggara berada di Indonesia.

Ekonom senior Bank Dunia, Jehan Arulpragasam, mengungkapkan hal tersebut pada pertemuan ke-14 antara Pemerintah Indonesia dengan negara-negara dan lembaga keuangan multilateral anggota Consultative Group on Indonesia (CGI) di Jakarta, Kamis (20/1).

Arulpragasam mengatakan, keputusan Pemerintah Indonesia untuk memasukkan program pengentasan kemiskinan (Poverty Reduction Strategy/ PRS) ke dalam rencana pembangunan jangka menengah merupakan langkah maju dalam membawa masalah kemiskinan pada fokus pemerintah. Sekarang ini, menurut dia, merupakan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk mengimplementasikan seluruh program tersebut.

"Langkah-langkah itu harus dimulai dengan mengintegrasikan target dan program ke dalam rencana kerja tahunan pemerintah, rencana kerja para menteri, dan rencana anggaran," ujar Arulpragasam.

Menurut dia, penciptaan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada orang miskin harus menjadi pilar utama dalam upaya mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Prioritas yang harus menjadi sasaran adalah kawasan pedesaan.

"Pengentasan kemiskinan di pedesaan itu harus diisi dengan program berskala besar pada investasi jalan di pedesaan, karena itu merupakan cara paling efektif dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Sekitar lima persen penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap jalan-jalan yang layak. Pembangunan jalan di pedesaan itu dapat didanai dari dana alokasi khusus," ujarnya.

Arulpragasam menegaskan, pemerintah juga perlu mempercepat sertifikasi lahan di pedesaan karena pemilik lahan di pedesaan yang telah memiliki sertifikat kurang dari 25 persen. Pengamanan terhadap kepemilikan lahan itu sangat penting untuk mendorong produktivitas investasi tanah dan pertanian. "Selain itu, akses terhadap sertifikasi lahan akan dapat membantu orang miskin dalam mengakses sumber-sumber kredit," kata Arulpragasam.

Menurut Arulpragasam, sekitar 50 persen rumah tangga di Indonesia memiliki kelemahan dalam mengakses kredit mikro. Meskipun demikian, solusi terbaik untuk itu adalah bukan dengan menyiapkan subsidi kredit, namun pemerintah dapat menciptakan jalur langsung yang menghubungkan antara sektor perbankan formal dan lembaga-lembaga penyedia jasa keuangan berskala mikro.

"Setelah itu, perlu disiapkan kerangka hukum yang akan mengizinkan lembaga penyedia jasa keuangan berskala mikro itu memberikan kredit kepada masyarakat miskin," kata Arulpragasam.

Sementara itu, Penasihat Senior Bank Dunia Joel Hellman mengatakan, sebagian besar anak-anak yang berasal dari keluarga miskin tidak menyelesaikan pendidikan dasar mereka, bahkan keluar sebelum kelas dua. Pemerintah dapat mencegah masalah itu dengan mendirikan sekolah untuk masyarakat miskin dengan dana alokasi khusus.

"Indonesia telah membelanjakan Rp 74 triliun untuk perlindungan sosial pada tahun 2004, lebih dari anggaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan. Hanya sepuluh persen saja yang benar-benar dialokasikan untuk mengentaskan orang miskin. Beri lebih banyak lagi uang untuk kawasan-kawasan berpenduduk miskin," papar Hellman.

Risiko makroekonomi

Sementara itu, pada bagian lain pertemuan CGI, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia Andrew Steer mengatakan, Indonesia masih akan menghadapi risiko makroekonomi yang terjadi pada tahun 2005. Risiko tersebut adalah masalah profil pembayaran utang luar negeri pemerintah yang masih menjadi beban berat bagi keuangan negara, meskipun stok utang dilaporkan terus menurun.

"Pemerintah masih membutuhkan pinjaman sekitar 10 miliar dollar AS hingga 11 miliar dollar AS per tahun selama empat hingga lima tahun mendatang. Tujuh hingga delapan miliar dollar AS di antaranya merupakan pembayaran kembali utang-utang yang sudah ada. Ini dapat dikelola dengan baik jika makroekonomi Indonesia kuat. Berbagai ketidakstabilan akan membuat utang-utang itu semakin mahal," kata Steer lebih lanjut.

Menurut Steer, untuk menghadapi risiko tersebut, Indonesia diharapkan segera merealisasikan tender atas 91 proyek yang ditawarkan dalam Pertemuan Puncak Infrastruktur Indonesia paling lambat pada 1 Maret 2005. Hal itu perlu dilakukan karena pemegang modal akan terus mengawasi berbagai janji pemerintah yang terkait dengan investasi, mulai dari prosedur bea cukai hingga kemudahan di perizinan.

"Sebuah langkah cepat memang sangat diperlukan, namun harus diikuti dengan proses yang profesional dan transparan," kata Steer.

Menurut Steer, transparansi merupakan masalah utama karena niat baik yang telah disampaikan pemerintah pada tataran birokrasi eselon satu belum diserap oleh birokrat pada eselon dua dan tiga di semua departemen. Dunia usaha belum melihat adanya sikap yang sama baiknya pada pejabat-pejabat di eselon dua dan tiga yang justru bertemu dengan para pengusaha setiap hari.

"Reformasi pelayanan publik, termasuk kemurnian pada pertanggungjawaban birokrat, merupakan keputusan yang harus segera dilakukan oleh pemerintah," ujarnya. (oin)

sumber:

No comments: