Tuesday, January 18, 2005

Mar’ie Muhammad

Minggu, 16 Januari 2005

LEBIH JAUH DENGAN : Mar’ie Muhammad

GEMPA bumi dan gelombang tsunami yang menerjang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Minggu, 26 Desember 2004, menyisakan kepedihan mendalam. Lebih dari seratus ribu penduduk tewas, bangunan-bangunan yang diguncang gempa roboh disapu tsunami, banyak orang kehilangan tempat tinggal, sanak keluarga, harta benda, dan mata pencaharian.
Peristiwa pedih di provinsi paling barat itu tak hanya menyentuh hati seluruh masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat internasional. Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dari berbagai negara turut ambil bagian dalam tugas kemanusiaan, termasuk Palang Merah Indonesia (PMI).

Apa saja yang dikerjakan PMI untuk menangani bencana tersebut? Di sela kesibukannya, Ketua Umum PMI Mar’ie Muhammad (65) menyempatkan diri memaparkannya kepada Kompas, Jumat (14/1), sebelum ia kembali ke Aceh untuk waktu sepekan pada Minggu (16/1).
Mar’ie, yang siang itu mengenakan kemeja biru dan tampak letih karena setiap hari harus begadang, membuka percakapan di markas PMI Jalan Gatot Subroto Kav 96, Jakarta, dengan melempar pertanyaan, "Apa sebenarnya yang ingin kita tuju?" yang kemudian dijawabnya sendiri.

"Menurut pendapat saya, secara bertahap tetapi konsisten dan pencapaiannya terukur, yang hendak dituju dalam jangka waktu 5-10 tahun yang akan datang melalui berbagai tahapan adalah membangun kembali masa depan Aceh dengan identitas, budaya, adat-istiadat, tradisi, dan kepercayaan mereka.

Pendekatannya dengan kemanusiaan, dengan mengingat bahwa keluarga adalah fondasi. Apalagi di Aceh, kekerabatan sangat dekat, mereka menyatu dengan kaumnya, sering bertemu dalam meunasah (surau). Itulah komunitas terkecil, mereka itu akar rumput masyarakat Aceh, mereka menyatu dengan meunasah.

Mengapa saya mulai dengan pendapat seperti ini? Karena, kalau hanya tertegun dan terperangkap pada masalah fisik, kita akan kehilangan esensi persoalan yang dihadapi. Saya khawatir kita akan masuk ke "semak-semak". Ini hasil kontemplasi dan ini bukan hanya abstrak.

Apa yang saya kemukakan tadi memang tampak absurd, tetapi ini masalah riil. Membangun masyarakat Aceh keseluruhan dengan fondasi tadi, menyatu dengan lingkungan, hanya bisa kalau kita menciptakan kondisi yang kondusif.

Bagaimana membangun lingkungan yang kondusif?

Kita harus membangun masyarakat Aceh secara bertahap, tetapi pasti dan konsisten dalam jangka waktu 5-10 tahun. Mungkin bisa lebih. Kita harus sabar, tetapi tekun dan konsisten. Sekarang ini masyarakat sudah tercabik-cabik karena kehilangan semuanya, tentu kita harus bantu mereka dalam keadaan darurat ini, seperti membantu makanan, minuman, tempat tinggal tenda, memakamkan mayat, mengobati yang sakit, menyatukan kembali keluarga yang terpisah. Kita mulai suatu kondisi sehingga tercapai sasaran yang tadi.

Sekarang kita membagi tenda besar berwarna biru, tetapi sebenarnya saya lebih suka kita tidak membangun barak besar, tetapi membangun tenda keluarga yang kompak ukuran empat kali enam meter yang di bawahnya kita beri kantong tidur. Kemudian di tempat endemi malaria, kita beri kelambu. Dengan tenda keluarga itu, tentu ada privacy, di situ mulai kita ciptakan kondisi rumah tangga, bukan sekadar shelter atau house. Terus terang mencari tenda seperti ini sulit sekali.

Sekarang pengungsi di Aceh jumlahnya 600.000-700.000 orang. Saya tidak kaget karena 50 persen kota-kota di Aceh hancur. Jadi, saya tidak heran kalau 50 persen orang Aceh tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka ini banyak yang menumpang di rumah keluarga, sisanya 600.000-700.000 pengungsi yang tidak memiliki rumah. Jadi, paling tidak kita memerlukan 200.000 tenda keluarga, dan itu sulit mencarinya.

Banyak orang mengatakan kepada saya bahwa saya ini terlalu idealis. Saya bilang tidak. Saya setuju shelter sementara, tetapi dalam jangka menengah dan panjang sebelum kita membangun rumah besar-besaran, kita perlu tenda keluarga, sedangkan membangun rumah memerlukan waktu. Tenda keluarga ini diperlukan untuk masa transisi sebelum mereka diberi rumah oleh pemerintah.

Sejauh apa upaya mendapatkan tenda keluarga itu?

Terus terang sulit sekali mencari tenda keluarga karena biasanya perusahaan menciptakan tenda-tenda besar. Bukan berarti tidak perlu tenda-tenda besar. Itu tetap perlu daripada kepanasan dan kehujanan. Tetapi, dipisahkannya antara suami dengan istri dan anak-anak itu berarti mereka tidak ada privacy. Kebutuhan mereka sebagai manusia harus dipahami: kebutuhan untuk fisik, yaitu makan, kebutuhan biologis, kebutuhan psikis.

Saya pernah melihat di beberapa tempat penampungan di tempat lain, ada antrean laki-laki dan perempuan. Saya pikir mereka mau ke toilet, ternyata mereka ternyata mau melakukan hajat biologis. Itu manusiawi dan wajar. Kan lebih baik kalau ada tenda keluarga. Di situ mereka bisa menerima tamu keluarga yang akan menengok. Jadi, perlu pendekatan yang betul-betul manusiawi.

Seluruh dunia sudah dihubungi untuk secepatnya mengadakan tenda ini. Uangnya ada, bill internasional, tetapi setengah mati saya mencari tenda keluarga ini. Yang butuh tenda begini bukan hanya Indonesia, tetapi juga India, Thailand dan Sri Lanka. Kalau sudah mendapatkan tenda-tenda itu, sangat gampang memasangnya.

Selain itu apa lagi?

Kalau sudah bisa menyatukan keluarga mereka, kita harus lihat mata pencaharian mereka. Kita tidak mau mereka terus-terusan tergantung pada kita. Aceh itu dikelilingi lautan, di Aceh ada 20 sungai besar. Sebagian besar orang Aceh hidup sebagai nelayan. Mereka juga hidup tambak yang hasilnya bagus dan diekspor. Selain itu, mereka juga hidup dari kebun kecil, seperti sawit dan karet. Baru setelah itu, mereka menjadi petani padi.

Sekarang, orang Aceh yang menjadi nelayan dan mempunyai tambak sudah trauma karena diterjang tsunami. Nelayan di Calang dari 5.000 orang kini tinggal 100 orang. Mereka mengalami trauma psikologis sangat berat. Tidak lagi melaut, alat-alatnya hilang, dan tambaknya hancur. Sawah juga rusak. Oleh karena itu, secara bertahap kita harus pikirkan membantu mereka mendapatkan penghasilan kembali.

Jadi, langkah ke depan juga mulai dipikirkan?

Ya, step by step harus jelas kita mau ke mana sehingga orang Aceh tetap merasa betah di daerahnya. Jika tidak demikian, ini yang saya khawatirkan dan sudah mulai terjadi, mereka keluar dari Aceh. Apalagi mereka kehilangan rumah, keluarga, mata pencaharian, dan tinggal sendiri, mereka sudah mulai pindah ke Sumatera Utara dan sudah sampai ke Batam. Mereka eksodus. Ini berbahaya. Karena itu, kita harus ciptakan suatu lingkungan sedemikian rupa sehingga orang Aceh secara bertahap bisa kembali dan merasa at home.

Sekarang, mereka umumnya merasa tidak nyaman. Itu yang banyak tidak disentuh. Kita harus kembali ke tujuan utama, membangun kembali masyarakat Aceh dengan cara manusiawi dan tetap dengan identitas Aceh, nilai, adat istiadat, dan mata pencahariannya.
Ini pendekatan yang harus mulai dirintis dari sekarang. Jangan sampai kita akhirnya terperangkap dan tertegun melihat pohon-pohon hingga kita kehilangan hutannya.

INI adalah bencana terbesar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia. Bagaimana Anda menangani bantuan yang masuk? Apa prioritasnya?

Prioritas mencari tenda keluarga. Sekarang ini bantuan yang masuk dan sudah kami kirimkan ke Aceh seberat 300 ton, yaitu berupa makanan, biskuit, baju-baju baru dan layak pakai, air minum, dan obat-obatan. Kami juga kirim tenaga dokter, perawat, bekerja sama dengan Palang Merah dari negara-negara lain. Misalnya, di Meulaboh, Palang Merah yang pertama kali masuk.
Kami juga bekerja sama dengan Palang Merah Jepang dan Korea. Rumah sakit yang terbengkalai kemudian ditangani dan dikelola agar bisa berjalan lagi. Kami juga bekerja sama dengan Palang Merah Spanyol. Di Meulaboh juga sudah tersedia air bersih, portable water, 75.000 liter sehari. Sampai kemarin sudah satu juta liter kita produksi.

Mengapa kami banyak bergerak ke arah pantai barat, ke Meulaboh dan sekitarnya, karena semua orang ke Banda Aceh. Gerakan Palang Merah dibagi dalam lima zona. Zona operasi pertama: Banda Aceh, Aceh Jaya, Pidie. Zona kedua: Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya (Calang). Zona ketiga: Lhok Seumawe sampai Bireuen.

Zona pertama sampai tiga bisa dibilang operasi kami sudah jalan. Zona keempat: Pulau Simeulue. Di sana, kami sudah terjunkan dokter karena Simeulue cukup jauh dan tidak banyak ditangani. Di situ, kami sudah terjunkan relawan, bikin pangkalan, dan sudah mulai jalan. Zona kelima, saya minta Ketua Pengurus Daerah PMI Sumatera Utara menyiapkan kemungkinan-yang sudah terjadi-adanya eksodus dari Aceh.

Meskipun kami sudah mendekati, tetapi kalau dia mau eksodus bagaimana? Sekarang sudah ada kantong-kantong kecil pengungsi Aceh di Sumatera Utara. Kalau tidak ditangani dengan baik, ini bisa menimbulkan masalah dengan masyarakat lokal tempat dia mengungsi.

Transparansi bantuan di lapangan bagaimana?

Semua bantuan yang kami terima akan diaudit oleh Pricewater House. Bahkan, ruangan untuk menangani keuangan kami pisahkan supaya tidak campur dengan ruangan (kegiatan) yang lain. Bantuan yang kami terima ada dalam bentuk rupiah, ada dollar AS. Sampai Kamis (13 Januari 2004 pukul 15.20 WIB), kami sudah terima Rp 29 miliar (Rp 29.118.007.211 dan 1.500.000 dollar AS-Red). Tiap hari kami umumkan di papan dan kami perbarui di situ.

Apa yang menjadi kendala distribusi bantuan tersebut?

Pengangkutan. Terus terang, orang masukkan ke sini apa saja, kami tidak mungkin menolak. Terus mengangkutnya bagaimana? Banyak sekali bantuan yang masuk, sampai 300 ton.

Gangguan di jalan apa saja?

Ada kapal kita yang kecelakaan (Ketua PMI Abdul Aziz yang berada di satu ruangan melanjutkan keterangan Mar’ie: Kapal yang mengangkut bantuan PMI hari ini (Jumat, 14/1) dari Banda Aceh ke Meulaboh menabrak kapal yang sudah karam. Untungnya, semua relawan sebanyak 30 orang selamat, tetapi barang-barang dari Jepang, seperti alat-alat berat, tenggelam). Mendengar itu Mar’ie terkejut, "Oh My Goodness! Di kapal kita?"

Koordinasi dengan pemerintah bagaimana?

Kami koordinasi. Apa yang kami kerjakan, pemerintah tahu. Ketua PMI ada di Banda Aceh. Juga ada pendamping dari pusat. Saya katakan, pemerintah tahu apa yang kami kerjakan. Palang Merah tidak bisa evakuasi mayat saja. Sampai sekarang sudah hampir 40.000 mayat yang kami evakuasi dan kuburkan. Untuk daerah sulit kami bekerja sama dengan SAR (search and rescue) sehingga bisa lebih efektif. Kami juga melakukan bantuan kemanusiaan. Untuk evakuasi dari rumah ke rumah, para relawan kami lengkapi dengan linggis dan sekop.

Kalau koordinasi berjalan baik, kok masih ada kesimpangsiuran informasi?

Begini, sekarang ini semua orang dalam keadaan panik karena kita tidak pernah memikirkan ada bencana terbesar selama 60 tahun. Yang kita hadapi bukan lagi manajemen untuk bencana biasa, tetapi ini semikiamat, skenario manajemen. Jadi, demikian beratnya bencana ini sehingga bukan hanya tidak terduga, tetapi lebih dari itu, unprecedented.

Akan tetapi, pemerintah memang tidak terbiasa menangani bencana sebesar itu. Oleh karena itu, saya menawarkan program manajemen bencana berbasis komunitas (community based disaster management). Kami, perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah internasional di bawah koordinasi Federasi Palang Merah Internasional siap memberi pelatihan teknis kepada lembaga atau orang-orang pemerintah yang biasa menangani atau diterjunkan dalam bencana. Enggak gampang, lho menangani bencana. Sungguh.

Selama ini setiap terjadi bencana kalau kita tanya bagaimana kondisi makanan bagi para korban, jawabannya selalu saja beras cukup. Jumlah sekian ton. Lho, orang kan makan nasi, bukan makan beras. Kalau ada beras terus diapakan, mau dimasak di mana? Pakai apa? Rumah tidak ada, minyak tanah tidak ada, air bersih pun susah.

Masak para korban disuruh makan beras, mau perutnya sakit! Masih mendingan kalau makan mi, bisa diremas-remas terus dikunyah, tetapi tetap saja tidak bagus. Belum lagi anak-anak.
Meski begitu, saya lihat komitmen pemerintah tinggi untuk mengatasi bencana, termasuk Satkorlak. Sebenarnya, mereka sudah tahu what- nya, tapi how-nya mereka kurang dan perlu ditingkatkan. Karena itu, kami, Palang Merah, menawarkan latihan khusus dan ternyata itu tak mudah. Kami tegaskan bahwa kami tidak mau mengajari, jangan salah mengerti. Lebih karena penanganan bencana butuh keahlian tersendiri. Para bupati dan gubernur kan tidak dilatih untuk itu.

Justru orang-orang yang di bawahlah yang perlu diberi pelatihan khusus sehingga siap sewaktu-waktu. Kami kerja sama di antara Palang Merah negara-negara di ASEAN dan bisa dikoordinasikan Federasi Palang Merah Internasional. Misalnya, ada alert warning, kita harus mengurangi impact-nya, bagaimana menangani, itu perlu latihan khusus.

Selama ini apa tidak pernah ada pelatihan serupa?

Saya pernah diundang setelah kasus bencana Bahorok (Sumatera Utara) oleh Bakornas dan saya sampaikan pandangan saya. Saya mengerti, pemerintah banyak pekerjaan. Kalau gubernur tidak perlu begitu, tetapi pada tingkat manajemen perlu kepemimpinan dalam soal itu. Jadi, diperlukan latihan pada tingkat kepemimpinannya maupun pada tingkat manajer, dan pada tingkat pelaksana bagaimana kalau ada bencana berskala besar, bagaimana kita menanganinya sehingga lebih terorganisasi. Sekali lagi saya katakan, kami tidak bermaksud mengajari, ini cuma sumbangan pikiran, jadi jangan salah mengerti.

Khusus PMI, bagaimana merekrut relawannya?

Pola perekrutan relawan PMI itu khusus. Yang kami butuhkan perawat, psikolog. Sekarang kami sudah kirimkan 1.200 sukarelawan dan mereka yang sudah tiga minggu kami ganti.
Itu sudah lama merekrutnya dan mereka sudah berpengalaman terjun dalam menangani kasus bom Bali, bencana di Alor, dan lain-lain. Mereka punya keterampilan dasar yang memadai dan tergabung dalam satuan penanggulangan bencana (Satgana-bagian dari Korps Sukarelawan/KSR, tetapi lebih elite).

Hari ini kami kirim lagi 40 orang untuk mengganti relawan yang sudah keletihan di Meulaboh. Besok juga kami kirim 40 orang. Di internal kami akan melipatgandakan kemampuan (capacity building) PMI. Kuantitas dan kualitas relawan akan terus ditambah, terutama dari kalangan generasi muda. Tetapi, terus terang semua itu tidak mudah.

Apakah terkait dengan masalah antusiasme?

Antusiasme itu sebenarnya ada, tetapi kebanyakan orang kita, maaf ya, kadang naik-turun semangatnya. Padahal kan yang namanya relawan itu mesti selalu siap, gerak cepat, turun ke sana-turun kemari. Relawan harus cepat bergerak, bikin tenda, mengobati orang. Itu tidak gampang lho. Kalau relawan tidak terlatih dengan baik, ia justru akan menjadi beban karena tidak bisa mengurusi diri sendiri. Ingat, kita hanya bisa menolong orang kalau kita sendiri bisa survive. Itu prinsipnya.

Kondisi yang ada sekarang bagaimana?

Memang ada relawan yang menjadi beban, tetapi saya kira hanya sedikit. Ada juga relawan yang bekerja dengan sangat baik. Yang jelas, sekarang ini sungguh saya tidak pernah melihat antusiasme menolong orang lain sehebat ini. Ini merupakan hal positif, khususnya bagi masyarakat Aceh sekarang. Solidaritas internasional dan nasional sungguh luar biasa dan ini modal sosial yang besar dan harus kita jaga benar. Tinggal bagaimana caranya kita menjaganya agar ketika ada bencana lagi solidaritas serupa bisa kita tunjukkan.

Caranya?

Pemerintah harus menjaga momentum ini. Saya bilang, ini benar- benar golden period, kesempatan emas. Tinggal bagaimana kita mengapitalisasikan itu semua.

Soal pemberangkatan sukarelawan PMI?

Kami sudah paling efisien. Untuk Satgana kami carter pesawat, dengan Rp 200 juta kami bisa membawa 118 orang dan pulangnya bisa kami isi sukarelawan yang sudah keletihan. Kami juga bisa membawa banyak barang. Unutk pemberangkatan, kami bisa atur. Sukarelawan yang sudah pulang juga harus kami debriefing supaya mereka jangan trauma. Kalau mereka trauma, ada konseling.

Mengenai isu kekurangan stok darah di Aceh?

Mengenai stok darah, saya sudah keluarkan surat dan sudah diatasi. Bukan kekurangan stok, tetapi menipis. Jadi back up, baik di Jakarta maupun Sumatera Utara dimobilisasi. Kemarin sudah akan dikirim 60 kantong darah segar ke Banda Aceh. Selain itu, saya juga sudah minta ke Sumatera Utara untuk lebih memobilisasi donor darah sukarela.

Pewawancara:
GESIT ARIYANTO
ELOK DYAH MESSWATI

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0501/16/naper/1501219.htm

No comments: