Sunday, December 19, 2004

Disintermediasi Perbankan

Kompas, Senin, 20 Desember 2004

Stiglitz dan Disintermediasi Perbankan

SANGAT jarang negara kita menyelenggarakan seminar bertaraf internasional dengan pembicara yang berkaliber pengguncang jagat, yang mampu menggoyah tatanan sekuat Dana Moneter Internasional. Pergelaran inilah yang ditampilkan Bank Indonesia pada 15 Desember dan 16 Desember dengan menghadirkan tokoh kondang peraih hadiah Nobel 2001, Joseph E Stiglitz, sebagai maskot dalam seminar yang membicarakan masalah sentral yang menerpa Indonesia, yakni "disintermediasi perbankan".

SELAIN dari Dr Stiglitz, peserta seminar juga mendapatkan informasi yang bermanfaat dari ekonom lokal bertaraf global, Dr Iwan Jaya Azis, Country Director ADB, Senior Director Bank Dunia, Washington, dan juga dari pejabat teras papan atas yang berasal dari Bank Sentral Argentina, Korea, Jepang, Thailand, dan-yang tak kalah kualitasnya-dari Bank Indonesia (BI) sendiri. Topiknya pun sangat relevan bagi Indonesia.

Bagaimana cara kita merajut ulang negara ini amat bergantung pada bagaimana kita mendiagnosis permasalahan yang melilit negara kita sebelum kita bisa merumuskan resep pemecahannya. Pada tahap diagnosis, dari sudut mana kita menatap permasalahan memainkan peran kunci. Sudut yang terbatas menghasilkan dimensi pandang yang cupet sehingga diagnosanya pun keliru. Alhasil, resep penyembuhan yang ditulis dari diagnosis yang keliru bukannya meringankan derita sang pasien, malah lebih menyengsarakan dan membahayakan sang pasien.

Itulah prahara yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997- 1998 akibat kekeliruan diagnosis dan resep yang disadurkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan kesimpulan tentang kekeliruan diagnosis IMF ini pula yang menjadi tema utama yang mengantar Stiglitz menjadi maestro ekonomi.

Stiglitz menyimpulkan bahwa resep IMF untuk menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) hingga 70,7 persen pada 1998 di kala perusahaan-perusahaan tengah sekarat akibat ketidakmampuan membeli bahan baku impor pada kurs yang melambung dari Rp 2.500 ke sekitar Rp 15.000 per dollar AS merupakan pangkal utama dari munculnya gelombang gulung tikarnya perusahaan dan pemutusan hubungan kerja. Untuk membeli bahan baku saja sudah setengah mati, apalagi harus membayar beban bunga yang jauh lebih tinggi. Bagi pengusaha, lebih baik bubar jalan.

PHK massal pun terjadi bersahutan, seolah ada kesepakatan bersama dari banyak pengusaha untuk menciutkan skala perekonomian nasional dan memaksimalkan risiko kebangkrutan nasional (default risks).

Indonesia mengalami lebih dari stagflasi (munculnya stagnasi dan inflasi secara bersamaan) karena yang terjadi bukan stagnasi perekonomian, tetapi depresi perekonomian. Produk Domestik Bruto (PDB=GDP) kita menciut jadi minus 13,13 persen pada tahun 1998.

Disintermediasi

IMF berpikir dengan menaikkan suku bunga setinggi langit, modal yang lari bersama dengan pemiliknya yang cemas akan keselamatan dirinya akan kembali. Cukup naif tetapi fatal akibatnya. Gelombang gulung tikar dan PHK ini menghancurkan prospek berusaha, memangkas daya beli, dan menciutkan pasar dan industri. Akibatnya, perusahaan yang masih sehat pun jadi tidak sehat. Proses pemburukan keadaan ini berlangsung secara cepat dan menyeluruh, dan berujung pada penggembungan kredit bermasalah (non performing loans). Bank-bank jadi trauma, kapok dan enggan mengalami nasib serupa. Keengganan serupa juga berlaku bagi dunia usaha. Terjadilah disintermediasi perbankan, atau macetnya fungsi utama bank sebagai perantara dari penyimpan dan peminjam.

Perilaku bank sebelum dan sesudah krisis sangat bertolak belakang. Bila sebelum krisis bank teramat agresif dalam menyalurkan kredit, setelah krisis malah terkesan teramat enggan. Grafik 1 menunjukkan sikap jorjoran dari bank. Rasio kredit terhadap dana yang dihimpun (loan to deposit ratio/LDR) sejak 1989 hingga Februari 1999 berada di atas 100 persen. Aneh tetapi nyata! Ini mungkin yang merupakan awal petaka nasional. Praktik KKN terwujud melalui pemberian kredit tanpa peduli pada kelayakan usaha yang dibiayainya. Akibatnya, industri perbankan limbung semasa krisis. Kini, setelah krisis, bank terkesan tidak bergairah menjalankan fungsi utamanya.

Beberapa panelis menyebut bank (dari sisi suplai) sebagai penyebab disintermediasi perbankan, sementara panelis lain menyebut kurangnya permintaan akan kredit (lack of underlying bankable activity). Yang datang ke bank minta dana adalah mereka yang tidak bankable (tidak layak dibiayai bank), yang dicurigai memiliki niat tidak terpuji, sementara pengusaha yang bankable, yang usahanya sehat lebih memilih menggunakan dana sendiri atau mengeluarkan obligasi yang tenornya lebih panjang dari yang bank minati.

Tudingan kepada bank lebih banyak dilandaskan kenyataan bahwa dana di sistem perbankan berlimpah, tetapi tidak disalurkan ke dunia usaha. Krisis tidak membuat dana pihak ketiga berkurang, malah bertambah setiap tahun, dari Rp 535,5 triliun pada 1998 hingga Rp 889,5 triliun per Oktober 2004.

Stiglitz pun mengamati secara cermat fenomena ini. Sewaktu krisis yang terjadi cuma flight to quality, yang punya dana memindahkan depositonya ke bank yang lebih sehat. Dana dari penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pun diperkirakan kembali pula ke sistem perbankan. Ini dari sisi pasiva neraca bank. Di sisi aktivanya, terjadi penurunan drastis dari Rp 512,7 triliun pada 1998 ke Rp 226,5 triliun pada 1999, atau turun Rp 286,2 triliun berupa NPL yang pindah ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), meski BPPN memberi catatan berbeda tentang jumlah NPL yang dikelola divisi AMC-nya, yaitu Rp 346,7 triliun.

Penurunan akibat NPL ini kemudian ditutup obligasi pemerintah pada 1999 tanpa aliran dana segar. Klaim perbankan pada pemerintah naik dari Rp 0,7 triliun pada 1998 ke Rp 268,7 triliun pada 1999. Secara neraca berimbang, tetapi secara cash-flow, dana masih melimpah di sistem perbankan, tetapi bank masih belum menjalankan fungsi utamanya untuk membiayai perputaran roda usaha.

Risiko usaha dianggap masih tinggi. Lebih enak menaruh dananya, antara lain, di SBI. Suku bunga SBI masih lebih tinggi dari suku bunga deposito, dan spreadnya (antara suku bunga SBI dan deposito) pun kian melebar selama kuartal keempat 2004. Tanpa risiko dan tanpa kerja keras, bisa memastikan keuntungan. Selain pada SBI, dana dari pihak ketiga pun bisa disalurkan untuk obligasi.

Stiglitz mengusulkan untuk meninjau ulang kebijakan yang membolehkan bank menggunakan dana untuk membeli obligasi. Memang tampaknya ada alasan untuk menyalahkan bank juga sebagai penyebab disintermediasi perbankan, tetapi lebih banyak lagi alasan kurangnya permintaan kredit sebagai penyebab utamanya.

Catatan

Langkah paling aman dan termudah untuk menyikapi kontroversi penyebab disintermediasi perbankan adalah menyimpulkan keduanya (baik bank selaku penyuplai dana dan pengusaha yang minta kredit) sama-sama berkontribusi pada macetnya fungsi intermediasi perbankan.

Sikap demikian mengaburkan peran bank dalam perekonomian. Peran bank senantiasa sebagai pendukung dan tidak memegang kemudi. Bank tidak bisa beroperasi tanpa perusahaan selaku pengguna kredit, tetapi perusahaan bisa beroperasi tanpa bank.

Hasil penelitian dari Profesor Stiglitz di 11 negara sumber dana bagi pembentukan modal berasal dari dalam (91,9 persen), yaitu dari laba yang disimpan (retained earnings). Untuk Indonesia, dana investasinya diperoleh dari sumber internal sebesar 99,98 persen. Kredit bank hanya berperan sebagai dana pendukung bagi perusahaan yang berniat untuk memperluas skala operasinya atau investasi.

Prinsip utamanya adalah banks follow the business dan tidak pernah terbalik. Kausalitas berawal dari sisi permintaan ke penawaran. Karenanya, disintermediasi perbankan mesti diurut dari kurangnya aktivitas bisnis yang layak dibiayai atau underlying bankable activity (domestic demand deficiency) akibat dari iklim usaha yang kurang mendukung.

Pemerintah harus berperan aktif menciptakan katalis (terutama penciptaan proyek-proyek infrastruktur) guna menggairahkan permintaan domestik. Bangkitnya gairah usaha akan meningkatkan permintaan akan kredit. Tetapi, ini perlu dukungan kebijakan suku bunga pinjaman yang rendah.

Kebijakan penurunan suku bunga SBI (easing policy bias) sejak 2002 berhasil meningkatkan PDB dan sejak Februari 2004 berhasil menurunkan spread suku bunga antara pinjaman dan deposito. Yang tersisa, hanya tugas membuat suku bunga SBI lebih rendah dari suku bunga deposito sehingga bank juga terpacu untuk menjalankan fungsi utamanya sebagai pendukung sektor bisnis.

Disintermediasi perbankan niscaya akan lenyap. Tidak perlu men-"tabu"-kan yang tidak perlu karena sang maestro Joseph Stiglitz pun mengakhiri seminar ini dengan berpesan bahwa suku bunga SBI yang sedikit di bawah angka inflasi (negative real rate) bisa bermanfaat bagi Indonesia.

[Steve Susanto Head of Danareksa Research Institute]

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0412/20/finansial/1446531.htm

Wednesday, December 15, 2004

Pengusaha "Gurem" ke Mabes PBB New York

Selasa, 14 Desember 2004

Titik Winarti, Pengusaha "Gurem" ke Mabes PBB New York

KOTA New York hari Kamis pagi 18 November 2004 terasa dingin bagi Nyonya Titik Winarti (34), asal Wonocolo, Surabaya, Jawa Timur. Namun, dingin itu berubah menjadi hangat ketika pengusaha mikro lulusan sekolah lanjutan tingkat atas itu memasuki Ruang Konferensi II Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di tepi Sungai New York."Saya deg-degan ketika mulai bicara. Penerjemah saya Pak Ruslan Prijadi dari Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia," tutur Ny Titik. "Saya mengatakan, modal saya untuk usaha cuma kendel (berani) dan pasrah kepada Yang di Atas. Saya juga cerita sekitar 80 persen orang yang kerja di tempat saya adalah penyandang cacat tubuh."

Waktu yang diberikan untuk Ny Titik adalah lima menit, tetapi akhirnya dia berbicara sampai 11 menit karena hadirin ingin mendengar lebih jauh ibu beranak tiga orang ini berkisah tentang usahanya yang berawal tahun 1998 dengan modal Rp 500.000. Hadirin bertepuk tangan sampai lima kali.

Seusai dia bicara, wartawan yang sehari-hari meliput di Markas Besar (Mabes) PBB merubung Ny Titik. Istri Sekjen PBB, Nane Annan, Putri Mathilda dari Belgia, Ketua United Nations Development Program Mark Malloch, dan duta besar negara-negara di PBB juga menghampiri Ny Titik, memberi salam serta menciumnya.

"Putri dari Belgia mengatakan ia akan selalu berdoa untuk usaha saya. Dia bilang agar saya terus maju, jangan takut walau melakukan usaha seorang diri," tutur Ny Titik.

Ny Titik berada di PBB untuk menghadiri pencanangan Tahun Internasional Kredit Mikro 2005 tanggal 18 November 2004 setelah memenangi lomba Microcredit Award 2005 yang diselenggarakan Komite Nasional Pencanangan Tahun Mikro Kredit Internasional 2005.

Selama 10 hari, Ny Titik berada di Amerika Serikat. Dia menginap di rumah Perwakilan Tetap RI untuk PBB di New York. "Selama di New York, saya tidak menghitung hari karena saya senang sekali," ujar Ny Titik.

KETIKA kehidupan ekonomi Indonesia hancur berkeping-keping tahun 1998, Ny Titik Winarti bersama suaminya, Yudho Darmawan, memulai usaha membuat pakaian, tas, aksesori, dan barang kerajinan dari kain atau perca. Ny Titik meminjam uang Rp 500.000 dari Koperasi Setia Bhakti Wanita Surabaya sebagai modal awal.

"Untuk membantu usaha, saya minta tenaga kerja dari panti penampungan remaja putus sekolah Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur di Surabaya," kata Ny Titik.

Para remaja itu ditampung di rumahnya seluas 200 meter persegi. Penjualan hasil kerajinan dari usaha ini cukup maju. "Hingga suatu hari tahun 2002 saya mendapat bantuan pinjaman dari PLN Jawa Timur dan bantuan promosi hasil usaha. Kemudian PLN Jatim mengajak pameran ke Arab Saudi. Bagi saya, ini mukjizat," ujarnya. "Jadi, sampai saat ini saya belum pernah berurusan dengan kredit bank."

DUA tahun sebelum mendapat bantuan dari PLN, Ny Titik didatangi beberapa tunadaksa dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur yang meminta pekerjaan.

"Iba hati saya mendengar permintaan mereka. Saya tampung, saya latih menjahit dan membuat kerajinan tangan dari kain. Ternyata orang-orang tunadaksa ini lebih tekun. Kini dari 40 orang yang bekerja di tempat saya, 28 orang di antaranya adalah para tunadaksa itu," ujarnya.

Para pekerja itu, kata Ny Titik, tidur di setiap celah yang ada di rumahnya. Bahkan, ketiga anaknya yang praremaja, Ade Rizal, Aribowo, dan Maulana, tiap malam rela tidur di atas tikar di depan televisi ruang keluarga.

Selama empat tahun ini Ny Titik sudah melatih banyak tunadaksa dan putus sekolah. Selama dua bulan masa latihan, mereka tinggal di rumah Ny Titik. Tidak semua menjadi pegawai Ny Titik. Banyak di antara mereka yang juga bekerja di tempat lain, di perusahaan atau mandiri.

"Sekarang banyak perusahaan pesan tenaga kerja terlatih dari tempat saya. Tetapi, tempat saya kan bukan yayasan atau balai latihan kerja yang ditopang suatu lembaga. Jadi, saya tidak bisa selalu memenuhi permintaan itu," ujarnya.

Tahun 2003 modal usaha Ny Titik mencapai Rp 35 juta dengan penjualan hasil produksi sebesar Rp 120 juta. Penjualan barang kerajinannya sampai ke Bali, Jakarta, beberapa kota di Timur Tengah, dan beberapa negara di Asia Tenggara.

BAGAIMANA Ny Titik sampai ke PBB? Begini ceritanya.

Tanggal 2-4 Februari 1997 di Washington, Amerika Serikat, diadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Mikrokredit. KTT ini mengeluarkan janji bersama menanggulangi kemiskinan global dengan target pengentasan 100 juta orang miskin di seluruh dunia pada tahun 2005. Caranya antara lain dengan pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin untuk mengembangkan usaha melalui kredit mikro.

Sidang Majelis PBB tahun 1998 memutuskan tahun 2005 sebagai Tahun Kredit Mikro Internasional, peluncurannya direncanakan di Markas PBB New York tanggal 18 November 2004. Pada saat yang sama, setiap negara anggota PBB, termasuk Indonesia, juga meluncurkan hal sama.

Beberapa bulan sebelum 18 November 2004, Kantor Menko Perekonomian membentuk Komite Nasional Pencanangan Tahun Mikro Kredit Internasional 2005. Salah satu kegiatannya adalah memberikan Microcredit Award kepada pengusaha mikro di Indonesia dan pelaksanaannya dipercayakan kepada Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LM-FEUI).

Ny Titik mengalahkan sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia. Menurut Ketua Juri Komite Nasional Pencanangan Tahun Mikro Kredit Internasional 2005 Ruslan Prijadi, Ny Titik menang selain karena usahanya memang berkembang profesional juga karena membina tunadaksa dengan membangun rasa percaya diri dalam mencapai kehidupan layak.

Ny Titik menerima hadiah Rp 10 juta. Katanya, uang itu akan digunakan membangun paviliun guna menampung para tunadaksa dan remaja putus sekolah yang dilatih di tempat tinggalnya. "Saya tidak akan menghitung hari untuk ini. Saya hanya pasrah kepada Yang di Atas," ujarnya. (J Osdar)

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0412/14/naper/1429853.htm


Pendapat Stiglitz Desember 2004

Kompas, Rabu, 15 Desember 2004

Stiglitz: Indonesia agar Fokus pada Kepentingan Jutaan Warga

Jakarta, Kompas - Indonesia disarankan agar memfokuskan pengembangan ekonomi yang menjadi landasan utama kehidupan mayoritas penduduk. Apa pun kebijakan industrialisasi yang diambil Indonesia, haruslah memiliki keterkaitan dengan kepentingan mayoritas itu.

Jangan terburu-buru melakukan liberalisasi perdagangan atau hal-hal lainnya, tetapi fokuskan kebijakan pada pertumbuhan yang sudah pasti akan meningkatkan pertumbuhan dan selanjutnya menumbuhkan perdagangan.

Demikian antara lain diutarakan oleh ekonom kaliber internasional Joseph E Stiglitz di Jakarta, Selasa (14/12). Dia lulusan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan kini pengajar di University of Columbia, New York.

Dia memberikan kuliah umum dengan tema “Isu-isu Ekonomi Terkini dan Dampaknya pada Negara-negara Berkembang" yang disponsori oleh Ikatan Sarjana Ekonomi.

Tanpa sadar, Stiglitz juga memperlihatkan bahwa sejumlah kebijakan Indonesia memang telah blunder. "Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga," katanya.

Menurut dia, pendidikan adalah sebuah investasi besar dan berarti dan berdampak jangka panjang. Dia mengatakan, pendidikan elem sukses bagi suatu negara karena itu akan menjadi modal dasar yang penting bagi sebuah negara.

Tak masuk akal

Pernyataan Stiglitz fokus pada pertanian itu muncul menjawab pertanyaan sederhana dari seorang wartawan yang menanyakan, “Apakah resep kebijakan yang menjadi saran Stiglitz sehubungan dengan keberadaan pemerintahan baru di Indonesia?"

Sebenarnya agak disayangkan, untuk keberadaan pembicara sekaliber Stiglitz, kursi-kursi di sebuah ruang seminar Hotel Jakarta itu tidak terisi penuh dan juga tidak dihadiri para pejabat yang seharusnya menjadi target dari kuliah umum Stiglitz.

Stiglitz semakin terkenal setelah meraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001 bersama George A Ackerlof, A Michael Spence, untuk analisa-analisa pasar dengan informasi asimetri. Tidak semua warga sama-sama memiliki informasi yang sempurna tetapi sebagian warga jauh ketinggalan dari pihak lain soal informasi. Akibatnya, yang muncul adalah keuntungan bagi pihak yang mendapatkan informasi ketimbang yang minim informasi. Analisa mereka itu, dianggap sebagai masukan penting bagi ekonom dan para pembuat kebijakan, agar mengerti soal keberadaan informasi asimteri sehingga peluncuran kebijakan pun bisa dimodifikasi dengan adanya faktor-faktor itu.

Kembali ke soal Indonesia, Stiglitz mengatakan bahwa mayoritas penduduk masih tinggal di pedesaan dan mayoritas adalah petani. Indonesia juga sangat kaya dengan sumber daya alam. Karena itu kata Stiglitz, memperhatikan pengembangan pertanian adalah tugas yang mau tak mau harus dilakukan karena Indonesia tidak bisa mengabaikan keberadaan penduduk seperti itu.

Namun dia mengatakan, kebijakan yang akan diterapkan soal pertanian harus didasarkan pada dinamika yang ada. Artinya, dalam konteks pertanian, yang menjadi fokus bukan lagi sekadar memproduksi komoditi tetapi juga harus dilengkapi dengan penciptaan nilai tambah. “Maka dari itu, jenis industrialisasi yang diciptakan juga harus terkait dengan kepentingan petani itu," katanya.

Stiglitz mengkritik Indonesia, karena sebagian besar dari hasil pertanian justru diolah di luar Indonesia. “Tidak ada sebenarnya alasan mengapa hal itu harus terjadi," kata Stiglitz.

Ingat, mayoritas warga Indonesia ada dan hidup dari lingkup ekonomi seperti itu, maka itu untuk pengembangan kehidupan dan perekonomian penduduk mayoritas, menjadi tugas penting. Jika itu terjadi, kata Stiglitz, maka pertumbuhan akan terjadi karena peningkatan pendapatan penduduk di sektor tersebut.

Dia juga memperingatkan Indonesia agar meraih nilai tambah yang lebih besar dari keberadaan kekayaan sumber daya yang lain. Dia mengatakan, tak bisa lagi dilanjutkan keadaan, di mana sumber daya alam itu dijual begitu saja tanpa memberikan sesuatu yang bermanfaat pada kepentingan mayoritas warga.

Stiglitz mengatakan semua itu, atas dasar alasan bahwa sebuah negara harus memperhatikan di mana sebenarnya letak dari kekuatan daya saingnya. “Pikirkanlah di mana

Kaya dan miskin

Namun saat memberikan kuliah umumnya, Stiglitz juga memperingatkan seraya mnemberikan contoh-contoh menggelitik, yang juga sangat penting untuk diperhatikan oleh Indonesia, termasuk pada pembuat kebijakan ekonomi.

Menurut Stiglitz, betapa banyak negara di dunia yang gagal memakmurkan rakyatnya dan hanya menguntungkan kaum kaya karena peluncuran kebijakan yang salah arah.

Dia mengingatkan lagi pada kasus di negara-negara Amerika Latin yang hanya menguntungkan kaum kaya. Venezuela adalah contoh lain yang dia berikan, di mana dua pertiga pertiga warga hidup sangat miskin dan sepertiga kaya raya.

Menurut Stiglitz, semua itu disebabkan kawasan itu adalah murid paling penurut kepada IMF dan Bank Dunia, yang jelas-jelas telah melakukan kesalahan besar dalam resep-resep ekonomi, dan telah pula menjerumuskan Rusia ke dalam resesi ekonomi yang buruk.

Salah satu penyebabnya adalah, resep-resep ekonomi IMF dan Bank Dunia yang fokus kepada stabilisasi, liberalisasi, swastanisasi yang disebut sebagai resep dari Konsensus Washington (IMF, Bank Dunia dan Departemen Keuangan AS).

Dia mengatakan swastanisasi (privatisasi), liberalisasi dan stabilisasi itu penting. Namun, persoalannya, ketiga hal itu seringkali dilakukan terburu-buru dan dipaksakan. Tetapi Konsensus Washington lupa bahwa ada sekelompok masyarakat, pekerja yang tidak siap dengan liberalisasi dan swastanisasi itu.

Di sisi lain, liberalisasi dan swastanisasi tidak serta merta harus meniadakan peran pemerintah, yang justru termasuk menjadi tujuan Konsensus Washington. Akibatnya, hanya yang mampu dan bisa ikut arus yang bisa terciprat dari pembangunan. "Akibatnya, dekade 1980-an adalah dekade yang hilang bagi Amerika Latin dan sekarang ini juga menjadi sebuah kawasan yang memiliki kehilangan," kata Stiglitz.

Krisis Asia

Dengan mudah, Stiglitz juga telah menjelaskan betapa krisis Asia telah menjadi contoh lain dari kegagalan total resep IMF. Indonesia, kata Stiglitz, mengalami krisis justru karena dampak dari liberalisasi dan deregulasi sektor keuangan dan dekade 1980-an.

Deregulasi sektor keuangan terlalu telah melahirkan sejumlah perbankan dengan modal-modal kecil pula. Dari segi saja, deregulasi tersebut telah menciptakan sebuah kerapuhan yang bagaikan bom waktu. Di samping itu, dengan deregulasi yang relatif tanpa kontrol telah melahirkan efek yang menyebabkan sektor keuangan menyerbu sektor yang dianggap lagi berjaya.

Dia memberikan contoh soal pilihan mana yang lebih mudah, yakni memproduksi potato chip (kerupuk kentang) atau micro chips. Lebih mudah dan lebih cepat adalah membuatkan keripik kentang. Karena lebih mudah, maka perbankan mengalokasikan kredit untuk pembuatan kerupuk kentang.

Padahal, kata Stiglitz, pembuatan micro chip akan memberikan dampak lebih luas, bermanfaat dn berperan besar meningkatkan produktivitas. “Misalnya, pengembangan teknologi micro chip telah membuat lahir-lahirnya produk yang menggunakan micro chip seperti telepon genggam, komputer, dan alat lain yang juga menggunakan micro chip dan berperan meningkatkan efisiensi," katanya.

“Bandingkanlah hal itu dengan kerupuk kentang, yang hanya bisa dimakan dan dampaknya hanya akan membuat orang lebih gemuk dan berisiko untuk mennadi lebih sakit," katanya.

Nah, hal-hal seperti itu juga terjadi dengan liberalisasi sektor keuangan. Karena cepatnya, maka kredit disalurkan ke sektor-sektor yang tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Persoalan lain adalah, keberadaan pengawasan yang memang tidak sebanding dengan arus liberalisasi sektor keuangan.

Pernyataan Stiglitz sangat tepat dengan kondisi Indonesia yang sebelum krisis, sebaian besar kredit telah dikucurkan ke sektor properti yang tidak ada pembeli akhir, dan membuat kelayakan kredit menjadi hilang. Hal itu selanjutnya melahirkan fondasi sektor keuangan yang sangat rapuh.

Akan tetapi liberalisasi yang cepat itulah yang menjadi anjuran dari Konsensus Washington.

Dia juga memberi contoh kegagalan resep IMF, jika dilihat dari pola pemulihan ekonomi di Asia. Dia mengatakan Malaysia pulih lebih cepat dari resesi. Di sisi lain, China relatif cukup kuat dari terpaan krisis kawasan. Korea juga puliha dari resesi ekonomi lebih cepat, jika dibandingkan dengan Thailand, apalagi Indonesia.

Alasannyam pemulihan itu ebih cepat justru karena negara-negara yang disebut di atas tidak menjalankan resep IMF. China juga tidak mermiliki program ekonomi yang didasarkan pada resep IMF, tetapi lebih fokus pada liberalisasi di sektor peratnian dan tidak mau meliberalisasikan sektor keuangan dan modal. Akibatnya, China justru tumbuh pesat dan relatif bebas dari krisis.

Indonesia dan Thailand, justru pulih lebih lama dari krisis, justru karena menjalankan resep IMF.

Dia mengingatkan bahwa liberalisasi keuangan yang terlalu cepat memang memiliki akar kuat untuk menghancurkan perkeonomian, dan bukan semata-mata karena korupsi. Untuk itu dia memberikan contoh, Swedia dan Finlandia adalah negara paling transparan dan paling bebas dari korupdi dibandingkan negara mana pun di dunia ini. Namun kawasan di Laut Amerika Utara itu justru sudah paling dulu mengalami krisis perbankan, yakni pada dekade 1980-an. Masalahnya, negara-negara di Laut Utara itu terlalu cepat melakukan liberalisasi sektor keuangan, yang membuat fondasi dari sektor keuangannya menjadi lemah dan akhirna melahirkan krisis.

“Maka dari itu, walau liberalisasi penting, tetapi tetaplah pelihara keseimbangan antara kepentingan pasar dan peran pemerintah, yang justru pentng sebagai pengontrol," katanya.

Dia juga memberikan contohm kegagalan Meksiko karena tidak tumbuh dari segi perekonomian sejak menandatangani Kawasan Pwerdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) sepuluh tahun lalu. “Itu karena Meksiko tidak tahu berbuat apa dengan NAFTA itu pada awalnya, tidak tahu di mana kekuatan daya saingnya. Akibatnya, ketika China muncul sebagai basis produksi manufaktr palng murah di dunia, maka semua pabrik-pabrik milik AS yang ada di Meksiko hengkang langsung ke China dan merugikan Meksiko," katanya.

Dia juga mentatakan, lambatnya pertumbuhan ekonomi Meksiko, kareana negara itu yang mengandalkan komodita peretanian murah, sebenarnya tidak menghadapi askes pasar yang mudah untuk memasuki AS.

Sehubungan dengan itu, dia mengingatkan agar Indonesia mengetahui, apa sebenarnya kekuatan dan strategi apa yang harus dilakukan berhadapan dengan kompetisi dari China. Dia mengingatkan bahwa Korea Utara pun kini dibuat sibuk untuk memikirkan, apa yang harus dilakukan dalam menghadapi persaingan dari China. (MON/OIN)

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0412/15/utama/1441183.htm

Sunday, December 12, 2004

Pentingnya Identifikasi Geografis

Terlambat, Mengurus Identifikasi Geografis

Kompas, Senin, 13 Desember 2004
Bandung, Kompas - Pemerintah Indonesia dinilai sangat terlambat dalam mengurus perlindungan Identifikasi Geografis terhadap produk-produk khas daerah.

Akibatnya, sejumlah produk khas daerah-daerah di Indonesia diakui sebagai produk khas negara lain.

Untuk itu, penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Identifikasi Geografis tengah dilakukan untuk melindungi produsen barang khas daerah.

Demikian dikemukakan Direktur Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia, Emmawati Junus, di sela-sela Seminar Nasional Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia, di Bandung, pekan lalu.

"Pemerintah terlambat dalam memberikan perlindungan terhadap produk-produk khas lokal. Akibatnya, beberapa produk khas daerah telah di-claim sebagai produk khas negara lain. Ini memang kelemahan kami," kata Emmawati.

Sejauh ini, pemerintah menggunakan Undang-Undang Nomor 14/1997 tentang Merek dalam memberikan perlindungan terhadap produsen barang dan jasa di Indonesia.

Akan tetapi, pemerintah belum memiliki aturan tentang perlindungan terhadap produk-produk khas dari daerah-daerah di Indonesia.

Keterlambatan pemerintah dalam mengurus perlindungan terhadap identifikasi geografis mengakibatkan sejumlah produk khas daerah di Indonesia diakui sebagai produk khas oleh negara lain.

Misalnya, Batik sudah terlanjur diakui sebagai produk Malaysia, dan Kopi Toraja diakui produk negara Jepang. (LUQ)


sumber:

Friday, November 05, 2004

Mesin Pemotong Rumput Mengubah Dadang

Kompas, Jumat, 05 November 2004

SAAT tengah termenung di sebuah taman, ia memerhatikan gerakan pemotong rumput. Lalu matanya terusik oleh mesin pemotong rumput yang berada di sebelah si pengguna. "Mesin itu terpisah, tetapi bisa menggerakkan pisau pemotongnya," kata Dadang yang langsung membayangkan membuat sebuah motor dengan mesin pemotong rumput. Karena tak ada uang, ia mencobanya pada sebuah sepeda. Dipasangnyalah mesin pemotong rumput pada sepeda. Sepedanya pun berubah menjadi sepeda bermotor.

Keberhasilan percobaannya itu membuat Dadang ingin membuat motor sungguhan. Akan tetapi, dalam ukuran kecil karena motor mini belum banyak dikenal orang. Lagi pula, kalau membuat motor besar, ia harus mempunyai izin usaha dan menguruskan surat-surat kepemilikan untuk para calon pembelinya. "Saya sih cukup bikin motor buat bermain anak-anak di taman," ucap Dadang. Panjang motor mini buatan Dadang itu sekitar satu meter, sementara lebarnya sekitar 25 sentimeter.

Dengan modal uang tabungan sebesar Rp 1,25 juta, ia pun memulai pekerjaannya. Dadang membeli mesin pemotong rumput dan plat eser ukuran 0,8 milimeter. Plat ia potong-potong di rumahnya. Lalu diketok dan dilas untuk membentuk tubuh motor, termasuk tangki bensin. Motor-motor mini itu memiliki bentuk seperti motor sport. Untuk membuat sebuah motor mini dengan sempurna, Dadang membutuhkan waktu satu bulan. Motor mini pertamanya ia berikan untuk anaknya, Sendy Widiutama.

Di hari Minggu, Sendy sering berkeliling di sekitar Gasibu dan Monumen Perjuangan, Jalan Dipati Ukur, Bandung. Kedua tempat itu berjarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya di Jalan Setia.
Karena motor mini ini menggunakan bensin, Sendy kemudian menyewakan motor itu di Taman Monumen Perjuangan. Uangnya ia pakai untuk membeli bensin.

>small 2small 0<>Harga sebuah motor mini 30 cc dengan mesin baru dijual Rp 4,5 juta. Sementara untuk motor dengan mesin bekas harganya Rp 3,5 juta. Biaya membuat sebuah motor bermesin baru sekitar Rp 3,1 juta. "Tetapi, saya belum bayar asisten saya. Biasanya saya beri dua asisten saya Rp 50.000 atau 100.000 dari harga penjualan," kata Dadang.

Semua motor buatan Dadang itu memiliki transmisi otomatik. Karena tidak ada kopling, pengendara cukup memutar gas ke belakang untuk menjalankan kendaraan dan memutar ke depan untuk menghentikan kendaraan.

"Asik," komentar Maula (10) ketika ditanya tentang kesannya mengendarai motor mini tersebut. Sejak kecil, Maula sangat tertarik mengendarai motor. Bahkan, ia suka mencuri kesempatan membawa keluar motor orangtuanya. Dalam sehari, Maula menghabiskan uang Rp 10.000 untuk menyewa motor mini. Harga sewa satu kali lintasan 100 meter dikendarai bolak-balik hanya Rp 1.000. Anak biasanya menyewa lebih dari sekali.

Selain yang bertenaga 30cc, Dadang juga membuat motor berukuran lebih besar seperti motor-motor bebek yang dikenal umum. Kekuatannya pun 110 cc. Kendaraan mini buatan Dadang tidak hanya bisa digunakan anak-anak, orang dewasa pun bisa memakainya. Untuk membuat sebuah kendaraan mini, Dadang membutuhkan waktu sebulan dibantu dua asisten. Asistennya adalah anak-anak putus sekolah.

"Sebetulnya, di dekat rumah saya ada empat anak putus sekolah. Secara bergiliran, saya ajak mereka membantu saya membuat kendaraan ini," kata Dadang.

Dadang menjual gokar yang menggunakan mesin baru Rp 4.5 juta dan yang bermesin bekas Rp 3,5 juta. Sementara motor 110cc bermesin baru dijual Rp 7,75 juta dan yang bermesin bekas Rp 5,5 juta.
Penghasilan Dadang memang belum besar, pekerjanya pun belum banyak. Tetapi, ia bisa mewujudkan mimpinya berdiri di atas kaki sendiri. Apakah Anda terinspirasi? (Y09)

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0411/05/Jabar/1367563.htm


Tuesday, November 02, 2004

Investasi dalam kompleksitas Indonesia

Membenahi Indonesia, semua orang tahu : membutuhkan kearifan dalam menghadapi kompleksitas berbangsa dan bernegara.

Saat ini, agaknya solusi ekonomi masih menjadi primadona, melanjutkan prioritas sejak jaman pembangunan dari era orba kemaren.

Jika kita menggunakan paradigma Alvin Tofler, ada tiga gelombang perkembangan budaya manusia, maka rakyat Indonesia tersebar, hidup di ketiga gelombang tersebut. Apakah peningkatan upaya di bidang ekonomi sebagai solusi tunggal akan menjadi jawaban untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia ? Sementara itu perkembangan datangnya teknologi ke Indonesia, apakah bisa dianggap sebagai pendukung penerapan solusi ekonomi tersebut ?

Gap gotong-royong vs Man-hours, gap mengetahui vs memahami

Di Indonesia terdapat gap antara budaya gotong royong [kekerabatan] dengan budaya Man-hours [penerapan upah per jam atau per hari], serta adanya gap kompetensi antara mengetahui [to know] dan memahami [to comprehensive].

Gap itu terlihat nyata dipaksakan untuk dihapus melalui solusi ekonomi oleh pemerintah di era orde baru. Mungkin maksudnya baik. Tapi tidak semua rakyat siap. Banyak kejutan kebudayaan yang terjadi di sana-sini, yang di antaranya menganggap korupsi adalah perilaku wajar, menganggap kroni adalah kepanjangan dari kekerabatan. Salah kaprah.

Dibutuhkan pakar yang mau mengkaji masalah sosial-budaya untuk ikut berkontribusi, bukan sekedar menyediakan paket-paket wisata belaka, demi menjaring devisa. Namun perlu dikaji, setidaknya dari segi budaya, seberapa jauh kesiapan rakyat di suatu daerah, jika solusi ekonomi dan teknologi diberlakukan. Jangan sampai hanya segelintir oknum yang tiba-tiba menjadi kaya-raya, sementara mayoritas anggota masyarakat lainnya terbelenggu oleh kartu kredit.

Membedakan kepentingan publik dan kepentingan pribadi

Mengubah reward dalam konteks gotong-royong tidak bisa serta merta dipaksakan menjadi budaya rewards dalam konteks Man-hours. Jika salah kelola, akan muncul banyak pak Ogah di seluruh pelosok tanah air. Sebaiknya dilakukan secara komprehensif antara solusi ekonomi dengan solusi lain, seperti solusi politik [Daoed Jusuf], solusi budaya, solusi hukum dan solusi pendidikan.

Perlu disosialisasikan di sekolah-sekolah, di kantor-kantor pemerintah pusat maupun daerah, di lingkungan dunia usaha, untuk mempertegas perbedaan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik. Sepele, tapi bisa potensial menjadi masalah nantinya. Tidak semua hal di Indonesia hanya bisa dilihat dari kacamata pasar, investasi uang, dan berlakunya hukum permintaan dan penawaran. Meminjam istilah Aa Gymn, perlu juga dilakukan investasi moral, investasi budaya, investasi kompetensi untuk berusaha, investasi perilaku mencari nafkah dengan santun, investasi kesadaran bela negara, investasi kesadaran untuk berbangga pada penggunaan produk dalam negeri, serta investasi dalam berbagai aspek lainnya.

Perlu dikaji lagi sistem reward-penalty yang tepat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, maupun saat nanti, dengan merujuk kasus-kasus masa lalu. Perlu dikaji lagi, bagaimana hukum persaingan usaha yang wajar, dan sesuai dengan norma-norma masyarakat kita, yang taat beragama. Yah, semua memang mempunyai kompleksitas yang tinggi. Tapi itulah Indonesia.

Sumber: http://www.mediaindo.co.id/100hari/default.asp?tanggal=11%2F2%2F2004

Antara gotong royong dan Man-hours

Era yang serba terkwantisasi

Dulu orang membangun rumah, cukup memanggil tetangga, lalu secara rukun saling bergotong royong ikut membangunnya. Selamatan dan sedekah diadakan sebagai tanda terimakasih kepada yang membantu membangun rumah. Di daerah, masih banyak acara hajatan seperti pesta perkawinan dihadiri oleh keluarga, handai taulan maupun kenalan. Ada kenalan yang menyumbang ayam [hidup] 5 ekor. Eh, ketika pulang membantu hajatan, dia malah kembali sambil dibekali ayam [hidup] 8 ekor. Nilai tukar berbaur dengan nilai kekerabatan yang kental.

Orde baru membawa kita ke era yang serba terkwantisasi. Mau lewat perempatan pun, sekarang ada ongkosnya. Mau memakamkan jenasah, sudah banyak orang yang mulai mengupah sekelompok orang. Man-hours. Jika kita menggunakan jasa seseorang mulai dihargai dengan hitungan per jam, per hari dst. Yang dikonversi ke nilai rupiah.

Mana yang perlu dihargai pada jaman seperti saat ini ? Ada yang bilang, tergantung profesinya. Nah, kalau berdiri di perempatan lalu menganggap itu adalah profesinya, apakah dia salah ? Kalau menyampaikan permohonan perijinan ke atasan untuk disahkan, dianggap sebagai profesi, apakah sudah selayaknya perlu dihargai dengan Man Hours. Lalu gaji yang diperolehnya untuk apa ? Apakah cukup dan di atas garis kemiskinan ? Ada permintaan ada penawaran. Jika yang minta ijin banyak dan melimpah, semacam pergantian STNK dan SIM, apakah itu perlu mengikuti hukum pasar ?


Kepentingan pribadi dan layanan publik

Upaya di republik ini sedang berubah. Perlu ditata lagi, mana yang merupakan layanan publik, mana yang wilayah pribadi. Jangan sering dicampur aduk. Mana yang bisa dihargai dengan Man Hours, mana yang cukup dengan salary bulanan, atau mana yang memang sudah kewajibannya.

Kita juga perlu memperhatikan, belum semua budaya di pelosok tanah air yang menerapkan budaya Man Hours. Masih banyak anak muda yang secara sukarela berkesenian, tanpa harus dibayar. Tapi di daerah lain, ada juga anak muda yang mengandalkan hidupnya dari berkesenian.

Kita juga perlu memperhatikan, masih banyak orang yang menolong orang lain yang akan tenggelam di laut, kalau perlu dia nggak jadi mencari ikan. Yang penting orang yang tenggelam itu selamat. Tapi di pojok lain negeri ini, sudah mulai ada yang suka membiarkan “kompetitor”nya tenggelam.


sumber: http://www.mediaindo.co.id/100hari/default.asp?tanggal=11/2/2004&page=1



Monday, November 01, 2004

Bank Dunia: Penduduk Miskin Indonesia 16 Juta

Senin, 01 November 2004
Jakarta, Kompas - Sekitar 16,09 juta jiwa atau 7,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia dilaporkan masih hidup dengan daya beli kurang dari 1 dollar Amerika Serikat per hari atau berada di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia saat ini. Masalah kemiskinan tersebut merupakan masalah utama perekonomian Indonesia yang harus dihadapi. Keadaan itu diperparah oleh tingkat pengangguran pada angkatan kerja muda yang semakin meningkat.
Hal tersebut terungkap dalam Laporan Pembangunan Dunia 2005 yang merupakan hasil survei yang dilakukan oleh International Finance Corporation (IFC) terhadap 30.000 perusahaan di 53 negara di dunia, dan 700 perusahaan di antaranya berada di Indonesia.

Dalam laporan yang disampaikan di Jakarta, Jumat (29/10), disebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia hingga tahun 2003 tercatat sebanyak 214,5 juta jiwa, dan sebanyak 52,4 persen di antaranya atau sekitar 112,398 jiwa merupakan penduduk yang hanya memiliki daya beli di bawah 2,15 dollar AS per hari.

Sementara itu, secara global, menurut Presiden Bank Dunia James D Wolfensohn, separuh dari jumlah penduduk dunia saat ini hidup dengan daya beli di bawah 2 dollar AS per hari. Pada saat yang sama, sekitar 1,1 miliar jiwa lainnya berada pada kondisi yang lebih parah karena hanya memiliki daya beli di bawah 1 dollar per hari.

"Sementara pada saat yang sama, angkatan muda di hampir seluruh wilayah di dunia tengah menghadapi masalah pengangguran yang meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tingkat rata-rata pengangguran di tahun sebelumnya. Padahal, jumlah penduduk dunia akan bertambah sekitar dua miliar jiwa dalam 30 tahun mendatang, terutama di negara-negara berkembang," kata Wolfensohn.

Menurut Wolfensohn, di tengah kondisi muram kependudukan dunia, muncul kabar gembira, yakni mulai muncul sikap dari banyak pemerintahan di dunia yang menyadari kesalahan kebijakan dan sikap mereka terhadap upaya perbaikan iklim investasi. Beberapa pemerintah yang menyadari hal itu dan mulai mengubah strategi perbaikan iklim investasi mereka antara lain adalah China dan India.

"Sementara pada pemerintahan di beberapa negara lain memang telah mengagendakan perubahan kebijakan, namun implementasinya masih sangat lambat dan tidak seimbang. Mereka pada umumnya masih membebani para pengusaha dengan biaya yang tidak perlu, menciptakan ketidakpastian, dan menimbulkan risiko, serta tetap melakukan hambatan untuk berkompetisi," kata Wolfensohn.

Masih lemah
Sementara itu, Ekonom Bank Dunia Yoichiro Ishihara mengatakan, laporan survei IFC tersebut menunjukkan bahwa iklim investasi di Indonesia tetap lemah. Lemahnya iklim investasi tersebut telah menjadi penyebab utama rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional.

"Tingkat pengangguran Indonesia justru meningkat dari 9,1 persen di tahun 2002 menjadi 9,5 persen di tahun 2003. Itu terjadi pada saat pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 4,3 persen di tahun 2003. Itu menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3 persen tidak cukup menekan tingkat pengangguran," kata Ishihara.

Saat ini pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia lebih digerakkan oleh konsumsi swasta dan pemerintah. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai tingkatan yang mampu mengurangi tingkat pengangguran dalam jumlah besar, maka pertumbuhan ekonomi harus lebih digerakkan oleh investasi dan ekspor ketimbang konsumsi tadi.

"Itu harus menjadi fokus pemerintah baru karena rasio investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) antara tahun 1996 hingga 2003 terus menurun dari 29,6 persen menjadi 19,7 persen. Hal itu merupakan rasio terendah dalam 30 tahun terakhir. Investasi swasta merupakan penyebab utama terjadinya penurunan investasi nasional, antara 1996 hingga 2002, investasi swasta menurun dari 20,5 persen menjadi 13 persen saja," kata Ishihara.

Sinyal positif terhadap perbaikan iklim investasi di Indonesia, menurut Ishihara, mulai muncul di paruh pertama tahun 2004 yang terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi yang mencapai delapan persen. Kondisi itu juga diiringi meningkatnya angka investasi dan bertambahnya modal asing ke dalam negeri hingga mencapai 33 persen antara Januari hingga Agustus 2004.

"Kondisi itu diharapkan akan makin menguat dengan dicanangkannya perbaikan iklim investasi sebagai salah satu prioritas tertinggi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terutama dengan adanya fokus terhadap agenda jangka pendek dan menengah pada peningkatan produktifitas dan daya saing produk dalam negeri," kata Ishihara. (OIN)

sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0411/01/ekonomi/1357576.htm

Antara mengetahui dan memahami

Mengetahui: dengan salah satu indera kita bisa mengetahui apa yang terjadi di sekitar kita. Apa yang terjadi itu suatu kecenderungan menuju kesuksesan atau suatu ancaman yang bisa menjadi potensi kegagalan bagi usaha kita.

Memahami: tidak sekedar mengetahui. Memahami membutuhkan kemampuan "mengetahui" secara komprehensif. Perlu effort yang lebih besar untuk memahami yang ada di sekitar kita, dibandingkan dengan upaya sekedar untuk mengetahui.

1. Melalui "mengetahui", bisa memudahkan kemunculan perilaku "uang dengar".
Selama 32 tahun, dengan modal "mengetahui" banyak "penonton" yang telah berhasil meroketkan biaya uang dengar dari 5% di awal orde baru menjadi lebih dari 95% di paska orde baru. Akibatnya, yang benar-benar bekerja, berkeringat dan berfikir keras untuk kesuksesan suatu upaya, menjadi "kalah" penghargaannya dibandingkan dengan yang sekedar "mengetahui".

Anak bupati, kemenakan kabiro, istri muda pejabat, dengan mudah bisa mengendalikan kue fee-proyek, bukan ngurusin kualitas dan bukan pula care terhadap penyelesaian proyek. Ada ketidakadilan di sini. Karena upaya memahami membutuhkan 'investasi' yang jauh lebih besar daripada "penonton" yang sekedar "mengetahui", namun justru "penonton" yang dekat dengan pengambil keputusan itulah, yang berpesta atas penghargaan yang seharusnya bukan menjadi hak-nya. Lalu dengan "bijak-nya" para pakar saat itu menyebutnya sebagai ekonomi biaya tinggi. Maunya mengkritik secara santun, namun nggak pernah kena sasaran. Karena yang dikritik cuman manggut-manggut.

2. Melalui "mengetahui", bisa muncul para pembisik.
What is the realy needs ? adalah starter yang baik untuk suatu problem solving.
Untuk mudahnya, dicari "mereka" yang "serba mengetahui", kalau bisa instant sekalian dengan solusinya. Uenak tenan. Jadinya akan muncul kebijaksanaan yang dianggap sebagai solusi, padahal menambah polusi keruwetan tata kelola bangsa ini.
Sebaiknya dalam mengambil keputusan, jangan terlalu tergantung kepada pembisik. Sebaiknya pengambilan keputusan itu perlu diback-up dengan survei data sendiri.

3.Melalui "mengetahui", kita bisa menjemput fakta, untuk dicatat menjadi data guna mengambil keputusan dengan lebih pasti.
Menjemput fakta bisa dilakukan dengan survei, atau pengamatan aparat. Survei akan mahal jika itu dilakukan oleh para technical assistance asing. Aparat bisa diberdayakan dengan reward-penalty yang wajar, serta ditunjukkan tentang apa yang perlu diamati, dan dibekali dengan pemahaman yang cukup. Data historis harus dicatat dengan baik dan rapi, agar langkah kita tidak terantuk batu yang sama.

Dengan data historis, langkah "mengetahui" bisa dilanjutkan dengan memahami. Dicari elemen dan struktur arsitektur persoalannya. Dicari state-state antara yang bisa dicapai dari suatu titik awal, dalam rangka menuju state tujuan. Dibutuhkan sikap komprehensif, untuk tidak hanya melihat perilaku normalnya saja, namun kemungkinan handycap atau perkecualian yang bisa muncul untuk diantisipasi.

Dibutuhkan sikap open-mind untuk membandingkan fakta aktual dengan fakta yang terekam dalam data historis. Jangan menunggu "disodori" fakta yang menyakitkan, sehingga kita merasa disetir oleh keadaan.

4. Menjemput fakta, ya harus melalui survei atau "mengetahui" langsung.
Masalahnya, yang "mengetahui" langsung itu apakah bisa dipercaya ? Ini suatu seni dalam tata kelola. Menjemput fakta harus bisa membedakan, apakah ini gejala awal, atau indikasi akibat dari rangkaian penyebab yang panjang. Jika kita sering menunda menjemput fakta, yang kita temui adalah indikasi akibat, yang seolah bertubi-tubi menerpa kita.

Menjemput fakta dengan deteksi dini, ibarat medetaksi kemungkinan terjadinya kanker di bangunan sistem tubuh manusia. Deteksi dini bisa dibudayakan, jika tidak ingin "menjadi proyek" yang menghamburkan uang. Survei, riset, standard operating procedure, Plan A, Plan B, serta banyak metodologi manajemen bisa diterapkan.

5. Mengetahui, perlu dipadukan dengan memahami.
Contohnya, peningkatan upah minimum di satu sisi memang "memberatkan" bagi pengusaha. Ini benda macam apa pula, kata peneliti. Tapi anehnya para pengusaha kok "tega" menyogok kepada penguasa dengan nilai yang berlipat kali. Mungkin para pengusaha lupa, bahwa meningkatkan upah minimum, adalah juga berarti meningkatkan daya beli.

Meningkatkan daya beli akan memutar roda pasar kehidupan ekonomi. Karena itu sama dengan menanam benih munculnya konsumen produknya.

6. Perlu data yang terpercaya melalui pemberdayaan generasi muda
Mari kita percaya dan kita berdayakan seluruh lapisan masyarakat, khususnya para anak-anak muda yang potensial.

Jangan sampai mereka hanya memperhatikan dugem melulu. Adalah sedikit perhatian mereka terhadap aktivitas riset dan inovasi, jika para orang tua juga menghargainya. Marilah kita berdayakan tempat-tempat pengajian ilmu pengetahuan, agar ikut berkontribusi bagi pemutaran roda ekonomi dan penegakan hukum. Agar di hari tua nanti, kita akan lebih tenang, karena tunas-tunas muda telah ikut tumbuh dengan lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan yang kita alami semua.

7. Hati-hati menepuk dada.
Riya, itu bukan sikap yang dianjurkan oleh agama. Yang dikhawatirkan, jika suatu upaya mulai menunjukkan keberhasilan, akan menggoda kita untuk bersikap riya. Lebih baik mulai sekarang dipikirkan, bagaimana caranya kegairahan untuk serius bekerja, yang ditunjukkan oleh kabinet saat ini, bisa ditularkan ke seluruh rakyat. Tanpa kecuali. Jangan sampai ada yang diabaikan, supaya nanti tidak tergoda untuk menjadi "makelar" seperti di jaman orba, atau tergoda untuk menjadi kroni di jaman Pak Habibie, atau tergoda menjadi pembisik, seperti di jaman Gus Dur, atau tergoda menjadi "pengganggu" seperti di jaman Bu Mega, atau tergoda menjadi preman di setiap perempatan.

sumber: http://www.mediaindo.co.id/100hari/default.asp?tanggal=10%2F31%2F2004

Berita lain yang menarik:
LOMBA KARYA CIPTA TEKNOLOGI MAHASISWA UNTUK INDUSTRI KECIL MENENGAH (LKCTMI) bisa di lihat di http://www.dikti.org/lkctmi2004.htm


Saturday, October 30, 2004

Melanjutkan yang ada dan meletakkan dasar paradima baru.

Dalam program 100 hari, sebaiknya SBY dan para anggota kabinetnya berkonsentrasi menjalankan yang sudah ada secara wajar. Yang sudah baik, diteruskan, yang merugikan rakyat, kalau bisa dihentikan. Toh, dalam jajaran birokrasi, sudah terbentuk suatu sistem yang sudah dapat berjalan dengan sendirinya.

Tentang perubahan, ada hal yang menarik, yang pernah diungkapkan oleh MJK, tentang pemberdayaan sektor berdasarkan kompetensi populasi penduduk yang lebih dari 70 %. Kalau nggak salah itu tayangan visi-misi malam kedua, ketika kampanye dulu. Ini bisa dijadikan dasar, dan terus menerus harus disosialisasikan dan selalu dicarikan invention dan inovasi untuk memberdayakannya. Agar kue PDB tidak hanya mengumpul di Glodok, tidak hanya di populasi yang kaya saja, atau tidak diperkotaan saja.

Salah satu caranya, dikembangkan usaha-usaha berdasarkan kebutuhan kelompok populasi yang 70 % itu, yang kebanyakan hidup di lingkungan Pertanian, UKM. Lalu laksanakan monitoring dan benahi infrastruktur komunikasi di antara mereka, pembinaan manajemen, sosialisasi hukum, beri kemudahan akses modal serta pembinaan pasar, beri pembinaan moral, pendidikan dan banyak aspek lagi. Yang mana yang lebih dulu ? Tergantung, menurut ukuran kacamata kabinet sekarang, mana yang lebih siap untuk meletakkan dasar pemberdayaan kepada mereka.

sumber:http://www.mediaindo.co.id/100hari/default.asp?tanggal=10%2F27%2F2004

Survei daya beli, Lomba inovasi, dan pemberdayaan kampus.


1. Purchasing power parity = PPP
Perlu dipertimbangkan pemanfaatan survei daya beli penduduk [purchasing power parity = PPP] untuk setiap kabupaten.

Pelaksanaannya jika tidak ingin membebani BPS, bisa memberdayakan LPPM di kampus-kampus di seluruh Indonesia. Riset, tugas akhir bisa didorong ke arah sana. Jika kita punya data PPP suatu daerah yang selalu mutakhir tiap kuartal, seperti di USA, maka akan menjadi pedoman bagi pengusaha UKM untuk mengembangkan usahanya. Karena peta pasar tersedia.

2. Lomba inovasi
Hal lain adalah perlunya lomba inovasi yang sederhana, seperti halnya masak-memasak, untuk tingkat SLTP atau SLTA. Kriterianya adalah aspek kesehatan, aspek penanganan, aspek rasa, sambil mengangkat citra masakan daerah [potensi daerah] maupun tujuan wisata.

3. Pemberdayaan kampus
Biarlah kampus-kampus yang menyelenggarakannya. Pemerintah dan instasi terkait mem-fasilitasinya. Hal ini, selain meningkatkan derajad masakan daerah, juga handlingnya, juga mendorong generasi muda agar lebih menghargai proses, bukan selalu instant terhadap suatu hasil akhir produk saja. Coba lihat kartun-kartun Jepang banyak menggambarkan cerita tentang lomba semacam ini. Mungkin ini salah satu penyebab bangsa Jepang menjadi bangsa yang kreatif dan produktif.


sumber : http://www.mediaindo.co.id/100hari/default.asp?tanggal=10%2F28%2F2004

catatan lain:
http://www.goodgovernance.or.id/

Sunday, October 10, 2004

Kompetisi yang indah.

Selasa, 05 Oktober 2004

Guru Bersaing Bikin Konsep Pembelajaran

Jakarta, Kompas - Sebanyak 150 guru SMA dari berbagai provinsi bersaing dalam merumuskan konsep pembelajaran inovatif. Bersamaan dengan itu, sebanyak 50 kepala SMA juga berlomba merumuskan konsep manajemen persekolahan yang merangsang prestasi murid dan partisipasi masyarakat.

Para guru dan kepala sekolah tersebut, Senin (4/10) hingga Kamis pekan ini memaparkan konsep mereka itu dalam seminar di Kawasan Puncak, Jawa Barat. Mereka adalah para guru dan kepala sekolah yang dinyatakan lolos ke putaran final setelah melewati seleksi oleh tim independen.

Lomba yang bersifat menggugah inovasi metode pembelajaran dan manajemen persekolahan tersebut diadakan oleh Direktorat Pendidikan Menengah Umum Depdiknas. Seminar dibuka Sekretaris Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Sungkowo, dilanjutkan dengan pencerahan oleh guru besar Institut Teknologi Bandung Prof Dr I Gede Raka, dan Dr Jalaluddin Rakhmat dari Yayasan Muthahhari.

Kreatif dan mengasyikkan

Ketua panitia seminar, Nilam Rahmawan, menyebutkan bahwa proses lomba dimulai dengan membuka kesempatan kepada para guru dan kepala SMA se-Indonesia untuk mengirimkan karya tulis. Para guru diminta mengajukan karya tulis dengan tema utama metode pembelajaran kreatif, inovatif, dan mengasyikkan, dengan menempatkan murid sebagai subyek. Tema ini disesuaikan dengan era bergulirnya Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Sementara itu, para kepala sekolah diminta mengajukan karya tulis dengan tema utama pengelolaan persekolahan. Tema ini dinilai relevan dengan digalakkannya manajemen berbasis sekolah (MBS), di mana masyarakat sekitar diharapkan ikut terlibat melakukan pengawasan kebijakan sekolah.

Menurut Nilam, tercatat sekitar 400 karya tulis yang masuk ke panitia. Setelah dilakukan seleksi oleh tim independen, akhirnya dinyatakan 200 karya tulis yang layak diseminarkan, terdiri atas 150 karya guru dan 50 karya kepala sekolah.

Hadiah yang disediakan panitia tidak membedakan antara guru dan kepala sekolah. Juara pertama untuk kategori guru dan kepala sekolah sama-sama akan memperoleh hadiah uang Rp 10 juta, juara kedua Rp Rp 7 juta, juara ketiga Rp 5 juta, juara keempat Rp 4 juta, dan juara kelima Rp 3 juta. (NAR)

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0410/05/humaniora/1305108.htm

Anda punya kontribusi pada perbudakan ?

Senin, 11 Oktober 2004

Casingkem dan Istiqomah, Perdagangan Manusia

Maruli Tobing, Kompas

ISTIQOMAH dan Casingkem akhirnya tiba di Jakarta, Kamis pekan lalu. Penyambutannya mirip tamu negara. Begitu pesawat terbang yang ditumpangi dua tenaga kerja wanita ini mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, pejabat dari berbagai instansi menyongsongnya. Sementara wartawan yang berjubel dengan kilauan lampu kamera terus membuntutinya.

Istiqomah dan Casingkem memang bernasib mujur. Umumnya, tenaga kerja wanita (TKW) yang tiba di Bandara Soekarno-Hatta disambut para calo dan kriminal. Para bajingan ini menguras uang mereka, tanpa peduli hasil jerih payah selama bertahun-tahun di negeri orang. Tidak sedikit kasus TKW diperkosa atau dibuang dari kendaraan dalam perjalanan ke kampung.

Akan tetapi, bagi Istiqomah dan Casingkem, hari itu benar- benar istimewa. Deretan mobil, pejabat, dan aparat keamanan mengawalnya. Keduanya langsung dibawa menuju Istana Negara. Di sana sudah menunggu Presiden Megawati Soekarnoputri, yang ingin mendengar langsung apa yang dialami keduanya di Irak.

Istiqomah dan Casingkem sempat menjadi berita dunia. Keduanya bersama delapan warga Lebanon dan Jordania diculik sekelompok orang bersenjata di Irak. Nasib mereka di ujung maut selama sepekan disekap. Namun, mereka akhirnya dibebaskan penyandera setelah melihat televisi Al-Jazeera menayangkan imbauan Presiden Megawati.

Keduanya memang tidak menyebut rasa iba penculik setelah mengetahui identitas mereka. Tetapi, bagi banyak warga Timur Tengah, siksa dan derita yang dialami sesama Muslim ini selama bekerja di negara Arab telah lama menjadi keprihatinan. Sebab, banyak di antara mereka diperlakukan mirip budak.

Tetapi siapakah sesungguhnya Casingkem dan Istiqomah?

CASINGKEM dan Istiqomah hanyalah dua nama dari ratusan ribu tenaga kerja Indonesia yang saat ini berada di Timur Tengah, Malaysia, Singapura, Hongkong, Australia, Jepang, Yunani, Amerika Serikat (AS), dan banyak negara lain di Eropa. Nama Casingkem dan Istiqomah sendiri sebenarnya tidak ada dalam daftar imigrasi Indonesia maupun laporan di Depnakertrans dalam hal tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri.

Lantas ketika keduanya disandera di Irak, sempat simpang siur nama dan identitasnya. Istiqomah dan Casingkem memang menggunakan paspor orang lain sehingga ketika dihubungi keluarga yang nama dan alamat tertera dalam formulir permohonan paspor, mereka tidak mengenal wajah yang dimuat di berbagai surat kabar.

Ironisnya, perusahaan pengerah tenaga kerja yang mengirim kedua wanita ini tidak segera bereaksi, memberi tahu siapa sesungguhnya kedua wanita yang disandera. Maka yang terjadi adalah spekulasi, polemik, dan saling menyalahkan di berbagai media massa.

Casingkem dan Istiqomah menyebut tujuan mereka sebenarnya mencari kerja di Singapura atau Malaysia. Dan itulah yang tercatat dalam formulir pengisian formulir keberangkatan. Namun, perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia ternyata mengirimnya ke Jordania. Dari sini agen tenaga kerja "menjualnya" ke Irak. Padahal, Pemerintah RI telah memutuskan menghentikan pengiriman tenaga kerja ke daerah gawat itu.

Istiqomah dan Casingkem hanyalah dua dari sekian banyak tenaga kerja yang dikirim ke negara yang bukan mereka inginkan. Masih beruntung kedua wanita ini dapat segera kembali ke kampungnya. Ribuan TKW Indonesia terperangkap dan harus banting tulang selama 2-3 tahun agar dapat kembali ke kampungnya.

Sebagian dari mereka ada yang mengalami penyiksaan, kerja rodi, tewas, bahkan dijadikan pelacur. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena paspor dipegang majikan. Upaya melarikan diri akan mirip masuk kandang macan setelah lepas dari kandang buaya. Aparat keamanan setempat bukan mustahil menangkap mereka.

Banyak tenaga kerja baru sadar tertipu setelah tiba di negeri seberang. Tadinya mereka diiming-imingi gaji tinggi, jam kerja sesuai UU perburuhan setempat, dan tiap tahun dapat pulang kampung. Sebagian lagi ada yang dijanjikan sebagai perawat, karyawan perusahaan swasta, dan lain sebagainya.

Namun, setelah tiba di negara tujuan, ternyata bukan negara yang tadinya dijanjikan. Mereka dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, pelacur, bahkan kerja paksa di lahan pertanian, seperti di Malaysia. Pemerintah AS malah sempat menangkap pelaku perbudakan terhadap tenaga kerja Indonesia beberapa tahun lalu.

Celakanya, sebagai pembantu rumah tangga, gaji enam bulan pertama selalu tidak dibayar. Bahkan ada pula yang tidak dibayar selama bekerja bertahun-tahun. Alasan majikan, uang tersebut dikirim kepada perusahaan pengerah tenaga kerja untuk melunasi tiket pesawat dan biaya lainnya bagi keberangkatan tenaga kerja wanita tersebut.

PERISTIWA demikian bukan hal luar biasa lagi di Indonesia karena terlalu kerap terjadi dan sudah berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Pemerintah sendiri hanya bereaksi sekejap jika ada kasus yang dihebohkan di berbagai media massa. Setelah itu irama yang sama kembali berdendang, yakni penipuan dan pemerasan tenaga kerja. Sementara pelakunya tidak satu pun diseret ke meja hijau dan diganjar hukuman maksimum di penjara.

Padahal, sejauh batasan Protokol Palermo yang diikuti Indonesia menjelaskan fakta demikian, maka apa yang dialami para tenaga kerja itu sangat jelas dan nyata, yakni perdagangan manusia atau perbudakan modern.

Dalam Pasal 3 protokol itu disebutkan, perdagangan manusia adalah menerima pembayaran atas penguasaan orang lain dengan maksud mengeksploitasinya. Batasan ini mencakup transportasi, memindahkan, menampung, atau menerimanya, yang dilakukan dengan cara mengancam, atau menggunakan kekerasan atau bentuk paksaan lain, penculikan, penipuan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau memanfaatkan kelemahan orang tersebut.

Perdagangan manusia dimasukkan dalam kategori kejahatan terorganisasi. Lingkupnya domestik dan transnasional, yang melibatkan organisasi kejahatan di dalam maupun luar negeri. Sebagai bentuk kejahatan terorganisasi, dengan sendirinya mata rantainya mencakup pejabat korup. Termasuk di instansi tenaga kerja, imigrasi, dan keamanan.

Tidak heran, dalam banyak kasus domestik, justru korban perdagangan manusia ini yang meringkuk di penjara saat aparat keamanan melakukan razia pelacuran, misalnya. Sementara wanita yang menjadi korban enggan melaporkan kejadian yang mereka alami. Selain takut ancaman majikan, juga khawatir aparat keamanan malah sekongkol dengan majikan.

Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut perkembangan bisnis manusia meningkat dari tahun ke tahun karena keuntungannya yang luar biasa, bahkan hanya sedikit lebih rendah di bawah perdagangan senjata dan narkoba. Pemerintah AS memperkirakan 800.000 manusia korban perdagangan ini di dunia setiap tahunnya.

Faktor lain yang mendorong menjamurnya bisnis manusia ini adalah akibat lemahnya penegakan hukum. Di banyak negara-termasuk Indonesia-belum ada undang-undang yang secara khusus melarang bentuk perdagangan manusia. Di sisi lain, pemerintah malah ikut mendorong maraknya bisnis demikian melalui kemudahan perizinan, lemahnya pengawasan, dan korupsi di semua sektor.

"Pelaku perdagangan manusia harus dijatuhi hukuman maksimal. Perbuatan mereka mengomoditaskan manusia merupakan ancaman terbesar terhadap martabat manusia,’’ ujar Jaksa Agung AS John Ashcroft, Februari tahun lalu. Ia menyatakan pelakunya pantas diganjar hukuman maksimal.

Ironisnya, kata Ashcroft, di AS sendiri puluhan ribu wanita dan anak-anak diperdagangkan setiap tahun. Padahal, seorang saja pun sudah terlalu banyak. Nurani dan nilai-nilai yang kita anut menentang perbuatan meraup dollar dari kesengsaraan dan penderitaan manusia. AS menyatakan perang melawan bisnis jahanam ini.

Akan tetapi, Indonesia bukan AS. Maka di sini tidak dikenal hukuman maksimal itu. Bahkan ditangkap pun tidak. Malah sebaliknya, perusahaan pengerah tenaga kerja melaporkan ke polisi agar menangkap kembali setiap tenaga kerja yang melarikan diri. Padahal, mereka kabur karena tidak tahan berbulan-bulan di tempat penampungan yang mirip kandang sapi. *


sumber :
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0410/11/utama/1316753.htm

Sunday, September 26, 2004

Definisi problem, Solusi, Evaluasi dan Penghargaan


Saat ini rakyat Indonesia membanjiri calon presiden SBY, yang sedang unggul dalam perhitungan suara, dengan berbagai problematika. Contohnya :

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0409/23/ekonomi/

Yang dibutuhkan dari orang politik saat ini adalah :

  1. Kemampuan secara objektif mendefinisikan problem-2, di semua lapisan masyarakat.
  2. Kemampuan memberi solusi bagi problem yang dipilih untuk diselesaikan.
  3. Kedewasaan untuk mengevaluasi, apakah solusi tersebut menjawab problemnya.
  4. Kedewasaan untuk menghargai solusi problem yang diberikan. Penghargaan itu sifatnya reward dan penalty dalam skala yang sesuai tingkatan problem.

Keempatnya merupakan siklus yang berkelanjutan, untuk merambah pencarian solusi problem-problem berikutnya.

A. Belajar dari sejarah :
Dulu Soekarno-Hatta, dua dari antara founding father kita, melihat bahwa negri kita dijajah oleh nation lain. Oleh karena itu, nenek moyang kita, saat itu perlu memperkuat nation sendiri. Muncullah Nasionalisme, yang dianggap sebagai solusi ketika belum merdeka, menjadi merdeka, atau pun konsolidasi negara beberapa saat setelah merdeka. Apakah sekarang muncul problem nasionalisme ?

Gus Dur, dengan kelompok Ciganjurnya [Gus Dur, Amien Rais, Sultan dan Mega], berusaha keras untuk melebur keanekaragaman faham partai politik tersebut, supaya elemen parpol bisa bersinergi dengan baik, untuk menjawab tantangan masa kini dan masa nanti. Terlepas dari problem Bulog Gate II, Akbar Tanjung banyak membantu dalam pembentukan sinergi ini. Demikian juga bapak-bapak panglima ABRI/TNI/Polri.

Problem nasionalis dan agamis memang rawan, jika itu "dibikin" rawan. Pada tahapan proses berbangsa saat ini, sepanjang aspek nasionalis dan agamis tidak "dibikin menjadi problem rawan", maka sebenarnya lebih banyak problem lain yang perlu lebih diperhatikan sebagai prioritas. Karena kebutuhan untuk menjaga aspek nasionalis dan agamis termasuk kondisi default bagi negri ini.

B. Mudahnya mendefinisikan problem:
Problem itu di antaranya adalah yang seperti yang didefinisikan ataupun yang disampaikan oleh sebagian elemen bangsa melalui Kompas kemaren. Atau seperti yang disampaikan delegasi "karyawan "PT DI" dan guru-guru kemaren, ketika sowan ke Cikeas.

C. Sulitnya memberi solusi:
Siapa yang akan menjadi pemberi solusi problem tersebut ? Lalu siapa yang menjadi evaluator solusi dari problem tersebut ? Apakah kita dengan dewasa menghargai pemberi solusi tersebut ?

D. Ini pendefinisian problem lagi:
Mega dalam pidato di depan MPR, seperti yang termuat dalam media massa hari ini, menggungkapkan
[...]
Meskipun ada sejumlah kemajuan yang dicapai selama pemerintahannya, Megawati juga mengakui ada sejumlah kekurangan. "Harus diakui, masih banyak yang harus kita kerjakan, bahkan untuk hal-hal yang sangat mendasar. Pengangguran, kemiskinan, dan masalah pendidikan adalah contoh hal-hal yang mendasar tadi," katanya.
[...]


E. Ini juga pendefinisian problem:
Menurut Fraksi Reformasi, ada dua hal utama yang menjadi kekurangan pemerintahan Presiden Megawati, yakni penegakan hukum dan pemberantasan korupsi
[...]

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0409/24/utama/1286810.htm

Banyak yang pinter mendefinisikan problem. Yang sulit adalah merumuskan solusi problemnya, karena ini akan diikuti oleh evaluasi dari solusi yang diajukan. Selain itu, problem-2 kita bertumpuk, di dalam ruang masalah bangsa dan negara kita.

F. Konsep nasionalisme dan agamis
Ini adalah contoh solusi yang pernah ditawarkan. Tapi apakah relevan dengan problem yang diuraikan di atas ? Relevan, jika sekarang ada yang mempermasalahkan nasionalisme atau agamis. Tidak relevan dalam penentuan prioritas, jika kita SEMUA selalu menjaganya untuk landasan melangkah ke depan.

G. Bagaimana realita solusi yang dibutuhkan oleh rakyat ?
Itu tercermin oleh hasil PilLeg dan PilPres. Apapun hasilnya. Anda menyalahkan hasil Pemilu, sama dengan menyalahkan solusi yang diinginkan rakyat.

H. Mampukah kita menghargai solusi bagi salah satu problem ?
Dan yang perlu digarisbawahi, Mega telah menjalankan problem solving sesuai dengan nama partainya, Partai Demokrat Indonesia Perjuangan. Beliau telah menjalankan demokrasi yang indah dan cantik.

I. Masih adakah problem di depan kita ?
Buuuuuwaaaanyak. Tinggal problem berikutnya menanti untuk dicarikan solusinya. Gimana solusinya ? Ah, itu kan tugasnya mentri, dirjen, hamba hukum, birokrat, juga yang terhormat wakil-wakil rakyat.

salam,

catatan :
Terminologi problem, adalah terminologi dari salah satu guru saya, Pak Iping. Penjelasan beliau, yang ada adalah problem catur, tidak ada masalah catur. Problem adalah unit-unit atau bagian dari ruang masalah. Problem didefinisikan untuk dicarikan solusinya. Solusi problem catur adalah skak mat atau remis. Kalau masalah, itu lebih luas dan kompleks. Masalah, seringkali hanya untuk didefinisikan atau dipetakan saja, tapi nggak ada solusi tunggalnya. Karena masalah mengandung derajad kompleksitas yang lebih tinggi dari problem. Solusi masalah harus komprehensif, yang disusun oleh rangkaian solusi-2 sekumpulan problem.

Saturday, September 25, 2004

Menunggu orkestrasi yang merdu.

Kompas kemaren, mengajak pembacanya untuk menengok kembali kiprah kabinet gotong royong :

Memimpin di negeri yang sedang mengalami eskalasi demokratisasi demikian cepat tidak mudah. Dalam napas reformasi yang digulirkan, banyak harapan akan perbaikan secara cepat di segala bidang. Masyarakat tak cukup sabar menunggu tahunan menilai dan merespons apa pun yang dikerjakan pemerintah. Itu sebabnya, meski secara umum kondisi makro beberapa aspek pemerintahan Megawati Soekarnoputri cukup stabil dalam tiga tahun ini, kemajuan itu belum cukup memenuhi ekspektasi masyarakat yang demikian tinggi.

Menurunnya aspirasi publik terhadap kinerja pemerintahan Megawati seperti menegaskan pemerntahan ini tak cukup berdaya menyelesaikan segenap persoalan bangsa. Artinya, selama era reformasi, beum satu pemimpin nasional pun yang mampu memuaskan mesyarakat.
[…]

Adakah yang salah ?

Mencoba bangkit dari keterpurukan memang berat. Ketika krismon kemaren ada yang berubah di masyarakat Indonesia. Mereka lebih mudah menghujat dan menyalahkan pihak lain. Performansi Megawati sebagai pemimpin yang pendiam, adalah tepat untuk menghadapi hal itu. Semakin dihujat dan disalahkan, semakin bersinar kekuatan seseorang yang pendiam. Apalagi jika dalam kondisi pendiamnya, setapak demi setapak menyelesaikan sebagian dari berbagai persoalan bangsa ini. Sayangnya, sikap pendiam juga bisa menjadi boomerang.

Pelaksanaan mandat rakyat, berupa apa yang telah dilakukan pemerintah, memerlukan sosialisasi. Berbagai upaya untuk menjelaskan hal ini terlihat kaku dan terlambat dalam pemerintahan Megawati. Adanya semacam kuis Indonesia Sukses dengan Mega Fakta-nya, dinilai banyak pihak sebagai upaya yang tidak tepat waktu, karena disampaikan pada bulan-bulan yang tidak diperbolehkan kampanye.

Adakah solusinya ?

Pemerintahan baru hendaknya memikirkan public relation yang lebih baik dibandingkan pemerintahan Megawati. Menyelesaikan persoalan [problem-problem] di Indonesia perlu dilakukan setapak demi setapak, memerlukan banyak waktu, dan enersi, karena semua itu merupakan proses dan bukan instant.

Upaya Gus Dur ketika memerintah dengan menghidupkan lembaga adhoc semacam juru bicara presiden sangat diperlukan untuk saat ini maupun nanti. Dulu peran ini dilakukan oleh menteri penerangan atau menteri-menteri yang lain. Agaknya pada pemerintahan Megawati, menteri-menterinya ketularan sifat pendiam.

Ada saatnya kita diam. Ada saatnya kita perlu menjelaskan apa yang kita kerjakan. Utamanya bagi pemerintah, saat penjelasan ini diperlukan untuk “melaporkan’ kepada masyarakat atau rakyat apa yang telah dicapai pemerintah. Jangan menunggu problem-problem yang diselesaikan menjadi banyak dulu. Semua perlu sedikit demi sedikit ditabung untuk menjalin jaringan semantik yang positif dalam pikiran masyarakat. Tentunya perlu didasari dengan niat yang baik dan pencapaian prestasi yang nyata.

Saya tidak ingin menghidupkan departemen penerangan yang mempunyai kuasa pembreidelan seperti di masa Soeharto. Tapi saya ingin menekankan perlunya public relation untuk mensosialisasikan problem definition, state of solution, state of evaluation serta perlunya pembelajaran bagi masyarakat kita semua untuk menghargai prestasi orang lain.

Salah satu handicap dalam masyarakat kita.

Masyarakat kita termasuk jenis populasi yang paling tidak suka jika ada orang yang senang menceritakan prestasi dirinya sendiri. Agak beda dengan masyarakat barat.

Oleh karena itu, SBY perlu “orang lain” atau “peran yang dilakukan oleh orang lain’ untuk menceritakan apa yang sudah dicapai oleh pemerintahannya, nanti. Yah, dikombinasi-lah. Kadang sosialisasi itu dilakukan oleh SBY, kadang dilakukan oleh staf juru bicaranya, kadang oleh menteri-menterinya. Jangan senang menjadi pendiam. Nanti kesannya seperti pemerintahan Megawati, bahwa pemerintah diam saja melihat problem-problem yang menggunung.

Atau bisa belajar dari yang dilakukan oleh Roosevelt, yang secara periodik menyapa rakyat Amerika, dengan melaporkan apa yang dia capai, apa saja hambatannya, serta mencoba menggali solusi alternatif dari rakyatnya. Hasilnya ? Roosevelt bisa diterima sebagai pemimpin yang mengangkat Amerika dari lembah Great Depression.

Gaya Roosevelt di alinea terakhir ini pernah disampaikan oleh penulis lain [di media lain dan di waktu yang lain].

salam,

Saturday, September 04, 2004

Catatan Kompas, 04 Sep 2004

1. Jalan Menuju Melek Huruf
MUSIM sekolah telah mulai. Sama seperti setahun lalu, kali ini kita juga menaksir kembali apa yang masih tersisa dari kehancuran pendidikan sekolah di Indonesia. Setiap ratapan berisi kehilangan. Tetapi perihal pendidikan sekolah, tidak jelas benar apa yang sesungguhnya sedang kita ratapi. Tentang biaya sekolah yang menjulang? Tentang mutu yang semakin kampungan? Tentang tidak nyambung-nya pendidikan dengan rekonstruksi Indonesia? Tentang tak terkaitnya persekolahan dengan pertumbuhan ekonomi? Tentang pertanyaan "untuk apa pendidikan sekolah?" Jawabnya: semua!
Lengkapnya...

2. Pendidikan Indonesia : Terpuruk di Tengah Kompetisi
INDIA adalah negara dengan segudang masalah. Kemiskinan, kurang gizi, dan pendidikan yang rendah merupakan persoalan besar di negara berpenduduk lebih dari satu miliar itu. Sekitar 40 persen penduduk India buta huruf. Angka ini melambung tinggi bila masuk lebih khusus kepada kelompok masyarakat miskin, kasta rendah, dan perempuan. Indeks Pembangunan Manusia di situ berada di peringkat 127, jauh di bawah posisi Indonesia: peringkat 111. Namun, India memiliki visi dan arah pendidikan yang jelas.
Lengkapnya...

3. Moral dan Etika Sejak Dini
LEMBARAN kertas putih berisi deretan aksara hangeul (alfabet Korea Selatan) berserakan di atas meja tamu di ruang kerja Jeon Kum-jong. Kertas-kertas berukuran lebar itu rupanya adalah alat peraga yang baru saja ia tunjukkan kepada murid-muridnya di ruang kelas III Shinkwang Elementary School.
"Kalimat-kalimat ini berisi pesan tentang moral dan etika," kata Jeon, sembari menunjukkan lembar demi lembar kertas. Jeon adalah guru sekaligus kepala sekolah di kawasan Yongsan-gu, Seoul, Korea Selatan, yang sangat menekankan penanaman nilai-nilai moral dan etika sejak dini bagi murid-muridnya.
Lengkapnya...

4. Pendidikan di Vietnam : Saudara Muda yang Mencengangkan
Bisa jadi pula, lantaran Soekarno bersama Hatta sekitar sembilan tahun lebih dulu memproklamirkan kemerdekaan RI ketimbang Paman Ho mendirikan negara Vietnam sehingga orang Vietnam pun menganggap Indonesia sebagai saudara tua. Paman Ho yang selalu tampil bersahaja baru berhasil mendirikan negara Vietnam Utara tahun 1954 setelah pasukannya mengusir pemerintahan Perancis dari belahan utara Vietnam.
Lengkapnya...

5. Pendidikan di Korea Selatan : Menyeruak di Antara Dua Saudara Tua
LEE Chong-jae menerawang ke masa 50 tahun lalu, ketika hendak menjelaskan kemajuan pendidikan di negaranya, Korea Selatan. "Setelah Perang Korea, kami hampir tidak punya apa-apa selain murid sekolah. Tidak ada ruang kelas, tidak ada buku paket, tidak ada guru, tetapi kami punya anak-anak yang harus belajar," tuturnya mengenang.
SEMANGAT menjadi kata kunci yang membawa kebangkitan pendidikan Korea Selatan hingga siap bersaing dengan negara lain. Mereka mulai dengan membangun infrastruktur pendidikan yang luluh lantak akibat Perang Korea, lalu membenahi kualitasnya.
Lengkapnya...

6. Pendidikan di India : Pusat Keunggulan Menuju Negara Maju
"Berpikir adalah kemajuan. Tidak berpikir merupakan stagnasi bagi individu, organisasi, dan negara. Berpikir mengarahkan pada tindakan. Pengetahuan tanpa tindakan tidak ada gunanya dan tidak relevan. Pengetahuan dengan tindakan mengubah kesengsaraan menjadi kesejahteraan." Dr Abdul Kalam, Pakar Aeronautika yang Presiden India
Lengkapnya...

7. Pendidikan di Daratan China : Menghadapi Lingkungan Global
BELAJAR sudah menjadi sifat alamiah orang-orang China. Sehingga tidak mengherankan bila sistem pendidikan formal berbentuk sekolah yang kita kenal sekarang ini di daratan China memiliki sejarah panjang 3.500-an tahun. Bahasa China sendiri, baik itu dialek nasional Mandarin atau dialek daerah-daerah (seperti Hokkian, Konghu, Khe, dan lainnya), mengharuskan siapa saja di daratan China harus belajar apakah itu huruf kanji maupun intonasi nada dalam bahasa percakapan.
Lengkapnya...

8. Pendidikan di Singapura : Ditata seperti Sebuah Orkestra
APA yang diharapkan warga dari sebuah sistem pendidikan? Bagi orang awam sekalipun pasti tahu bahwa yang dibutuhkan adalah setidaknya kurikulum yang baik, pengajar yang enak, fasilitas memadai, dan biaya murah, jika bisa. Lalu selebihnya mungkin adalah lingkungan yang kondusif, daya saing yang tinggi, serta segala aspek lain yang ada di luar ruang sekolah.
TAMPAKNYA hal itu tersedia di Singapura. Perbandingan sistem pendidikan di Singapura dengan Indonesia seperti bumi dan langit rasanya. Departemen Pendidikan Singapura (Ministry of Education) tampaknya lebih banyak bekerja dan memberi perhatian besar pada pengembangan pendidikan ketimbang memanfaatkan pendidikan sebagai sumber rezeki bagi oknum atau pegawai-pegawai departemen itu.
Lengkapnya...

Internet Sampai ke Pedesaan

Pikiran Rakyat, Sabtu, 04 September 2004

Internet Sampai ke Pedesaan
Meneg Kominfo Menargetkan Terealisasi pada 2015

BANDUNG, (PR).-
Pemerintah daerah seluruh Indonesia diharuskan sudah memiliki electronic govenrment atau e-govt berupa situs dan e-mail paling lambat tahun 2005. Sedangkan seluruh desa, rumah sakit, sekolah dan perguruan tinggi, serta kantor-kantor pemerintahan harus tersambungkan dengan internet pada tahun 2015.

Hal itu disampaikan oleh Meneg Komunikasi Informasi (Kominfo) Syamsul Maarif dalam sambutan dibacakan staf ahli Meneg Kominfo Drs. Amry, M.Sc, dalam seminar internasional teknologi informasi di Hotel Panghegar, Rabu (1/9), yang diadakan oleh STMIK AMIK Bandung.

Pembicara lain adalah direktur di Universitas Multimedia Malaysia Dr. David Asirvatham, Ketua STMIK AMIK Bandung Yusuf Arifin, S.Si, pakar komunikasi Prof. Dr. Hj. Nina Syam, Kepala Bapesitelda Jabar Drs. Dodo Perdata, dosen FISIP Unpad M. Fadhil Nurdin, M.A., P.Hd., dan pakar multimedia PT Telkom Ir. Rizkan Chandra.

Keharusan memiliki e-govt dan tersambung ke desa-desa, sekolah dan perguruan tinggi, serta kantor-kantor pemerintahan dengan internet merupakan hasil kesepakatan konferensi kepala negara sedunia. "Mau tidak mau Indonesia harus melaksanakannya, padahal kesenjangan digital amat besar hingga kita harus bergerak cepat. Di bidang infrastruktur komunikasi dan informasi kita harus bekerja ekstrakeras," tegasnya.

Menurut Syamsul Maarif, penetrasi komunikasi dan penggunaan internet di Indonesia masih amat rendah bahkan dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara. "Tingkat literasi masyarakat terhadap teknologi informasi dan komunikasi masih amat jauh tertinggal dibandingkan Malaysia dan Thailand. Padahal target dunia pada tahun 2015, 50% penduduk dunia termasuk Indonesia sudah mampu mengakses internet," katanya.

Sedangkan target penetrasi radio dan TV adalah 100% yang secara kuantitas Indonesia sudah bisa memenuhinya. "Dari segi kualitas akses kepada media elektronik apalagi media cetak perlu terus dikembangkan. Tentu saja untuk mengejar target tahun 2005 dan tahun 2015 perlu kerja sama antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat," katanya.

Menurut Yusuf Arifin, Indonesia akan kesulitan mencapai target baik pada tahun 2005 maupun tahun 2015 akibat kendala serius yang menghadang teknologi informasi. "Kesenjangan teknologi informasi amat kentara di Indonesia dibandingkan AS, RRC, Korea Selatan, bahkan Malaysia. Dengan jumlah penduduk Indonesia 212 juta ternyata pengguna telefon hanya 34,4 juta orang, penetrasi telefon hanya 3,5%, dan komputer 1%. Bahkan penetrasi internet cuma 0,5%," katanya.

Fadhil Nurdin menambahkan, pengguna internet di Indonesia baru sekira 4,5 juta (2,5%), pemilik telefon rumah 7 juta (3,5%), dan telefon genggam sekira 6 juta (3%). "Kuantitas dan kualitas prasarana komunikasi masih terbatas baik stasiun TV, radio, satelit, media cetak, dan sebagainya. Masih banyak daerah yang belum bisa mengakses akibat jangkauan jaringan komunikasi yang terbatas," ungkapnya.

Di samping itu, Indonesia masih terbelit dengan masalah perekonomian hingga menganggap teknologi informasi sebagai masalah mahal dan kurang penting. "Belum lagi dengan kualitas SDM kita yang masih rendah ditunjukkan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di peringkat 112 dari 175 negara. Akibatnya, budaya informasi belum tumbuh meluas sebab sebagian besar masyarakat belum terbiasa memanfaatkan teknologi informasi," ujarnya.

Sedangkan David Asirvatham mengatakan, sebanyak 700 juta warga dunia sudah terhubungkan dengan internet termasuk Indonesia dan akan terus tumbuh secara signifikan. "Namun, jumlah tersebut baru mencapai 11% dari seluruh penduduk dunia hingga sebagian besar belum terakses dan mengakses internet. Perkembangan bisnis teknologi informasi diperkirakan mencapai 5 miliar dolar AS pada tahun 2004 di Asia saja," katanya. (A-71)***

sumber:
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0904/04/1101.htm

Friday, August 27, 2004

Test 2

This is my second weblog for presenting my interest.




























thanks,