Sunday, April 03, 2005

point of return

Minggu, 03 April 2005

Hilang Sudah Keangkuhan terhadap Materi

KETIKA gempa berskala 8,7 skala Richter yang pusatnya berada di antara Pulau Nias (Sumatera Utara) dan Pulau Simeulue (Nanggroe Aceh Darussalam) pada Senin (28/3) menjelang tengah malam juga mengguncang Banda Aceh, banyak warga setempat mengungsi ke daerah Lambaro, Kuta Baro, Aceh Besar, yang dianggap lebih aman dari kemungkinan gelombang tsunami.

KAMI di Banda Aceh setelah tsunami sering merasakan gempa, tetapi yang Senin kemarin memang terasa keras dan lama, meskipun tidak sekeras tanggal 26 Desember lalu. Saya tidak ikut mengungsi. Saya mencoba menggunakan akal sehat. Tempat saya mengungsi ini, di rumah keponakan, kan cukup aman. Rasanya kalaupun ada tsunami tidak akan mencapai ke sini," kata Darmansyah, Pemimpin Perusahaan Harian Serambi Indonesia yang berkantor pusat di Banda Aceh.

Tempat dia menumpang tinggal sekarang, rumah keponakannya, terletak di kawasan Simpang Pango, Ulee Kareng, di bagian selatan Banda Aceh. Rumah Darmansyah sendiri ada di Lampulo Baru, Kecamatan Kuta Alam, sejarak kira-kira empat kilometer dari bibir pantai.

Setelah bencana tsunami tanggal 26 Desember lalu di Banda Aceh memang kerap terasa gempa. Ada yang skalanya mencapai 6,2 skala Richter sehingga cukup terasa bila kita sedang duduk atau berdiri di suatu tempat. Namun, karena begitu seringnya terjadi, banyak orang yang tidak lagi terlalu panik bila ada gempa. Ketika di Banda Aceh lebih dua pekan lalu, misalnya, suatu pagi terjadi gempa cukup keras yang kemudian diketahui berskala 6,1 skala Richter dan saya berteriak, "Gempa, gempa!", hanya saya dan seorang saja dari delapan orang penghuni rumah yang berlari ke luar. Sisanya tenang-tenang saja.

Lebih dari sekadar dampak fisik yang benar-benar dahsyat, yang tidak segera tampak adalah berubahnya cara pandang mereka yang selamat dari tsunami terhadap kehidupan. Bukan hanya pengalaman lolos dari maut membuat mereka lebih religius dalam pengertian sekadar menjalani ritual, tetapi cara mereka menyikapi kehidupan duniawi juga tidak lagi sama seperti yang lalu.

"Dulu saya bersemangat sekali mencari uang. Pekerjaan saya bawa pulang, anak saya, Nabil, saya pangku sambil bekerja. Sekarang semua tidak dikejar dengan memaksakan diri, saya bekerja secukupnya, sekadar memenuhi kewajiban," papar Syukrillah Al Amin (27). Syukri yang mahasiswa Fakultas Pertanian tingkat akhir ini kehilangan Nabil, anak pertamanya yang berusia lima bulan, buah perkawinannya dengan Yustini (26) yang juga masih kuliah di universitas yang sama.

Syukri dan Yustini-tinggal di Blang Krueng yang merupakan jalan tembus dari Kaju ke Darussalam dan berjarak sekitar dua kilometer dari bibir pantai-selamat dari gelombang air laut dengan naik ke rumah adat Aceh yang umurnya lebih dari 100 tahun. "Awalnya saya ragu pada daya tahan rumah itu, tetapi kami naik juga karena kami tak mungkin mencapai meunasah yang letaknya tinggi. Tinggi air kira-kira 3,5 meter dan rumah tua itu bertahan walaupun ada 50 orang menyelamatkan diri di situ," kenang Syukri.

Suami-istri ini selamat, tetapi anak mereka yang mereka titipkan kepada tetangga yang Minggu pagi itu naik mobil menyelamatkan diri dengan harapan Nabil akan selamat, belum diketahui nasibnya. "Saya sudah pasrah. Kalau anak saya masih hidup dan dipelihara orang, alhamdulillah," kata Syukri lirih.

Setelah peristiwa itu, dia bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat Save Emergency for Aceh (SEFA) di Ulee Kareng yang kini memusatkan perhatian dalam menguatkan pranata sosial-ekonomi korban tsunami. Ini adalah salah satu cara Syukri menata pikiran dan perasaan setelah tsunami. Di SEFA ada beberapa anggota yang juga menjadi korban tsunami langsung atau tidak langsung. "Dengan berbincang-bincang dengan sesama korban dan bekerja untuk korban yang lain, kehilangan itu terasa sebagai perasaan bersama, bukan beban satu orang," kata Direktur SEFA Yuli Zuardi Rais.

DARMANSYAH, istrinya, Herwani, dan satu-satunya anak mereka, Fikri (12), adalah satu keluarga yang selamat utuh. Ketika air laut menyerbu rumah mereka di Lampulo Baru, mereka berada di mobil mencoba menyelamatkan diri. Tetapi, ketika akan masuk ke jalan besar, mobil terhadang oleh ribuan orang yang berlari menyelamatkan diri. Mereka berhasil ke luar dari mobil sebelum air menghanyutkan mobil mereka.

"Saya digulung air dan tidak tahu bagaimana bisa muncul ke permukaan. Saya bisa tetap di permukaan air karena kemudian terpegang pelampung jaring nelayan," kata Herwani yang selamat sebab kemudian berhasil naik ke atap rumah yang dihanyutkan air.

Air ketika itu bukan datang dari satu arah yang sama, tetapi mengarus deras dari beberapa arah. Itu sebabnya, menurut Darmansyah, dia melihat rumah yang pecah karena kebetulan berada di pertemuan arus-arus air. Itu juga yang membuat ada rumah seperti teriris melintang dan terbawa arus tanpa hancur berantakan.

"Saya sadar ketika digulung air dan dihantam ke tanah. Saya berpikir janji saya sudah sampai. Saya tidak tahu bagaimana bisa ada di permukaan air," kata Darmansyah yang ketika muncul ke permukaan berhasil menjangkau Fikri yang terpisah tiga meter darinya. Keduanya selamat dengan menaiki tumpukan kayu hanyut di dekat mereka dan kemudian berhasil mendarat di atap sebuah rumah.

Saat air surut sekitar dua jam kemudian, Darmansyah merasakan kesunyian luar biasa. "Tidak ada satu orang pun di jalan, yang ada di atap-atap rumah. Ke mana ribuan orang yang tadi mencoba menyelamatkan diri? Sunyi. Dan, mulai tampak ada jenazah," kata Darmansyah yang mencoba kembali ke rumahnya sejarak sekitar satu kilometer.

"Kami sadar kami selamat, tetapi ada perasaan bahwa Tuhan memberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Tetapi, rasanya berat sekali tantangan hidup ke depan karena orang hidup pasti akan berbuat kesalahan, sekecil apa pun," tambah Darmansyah.

Peristiwa itu membuat keduanya memaknai hidup dengan cara baru. Materi bukan lagi sesuatu yang harus dikejar mati-matian karena semuanya bisa lenyap dalam hitungan menit, begitu juga nyawa. Herwani, karyawan PLN Banda Aceh, yang sebelumnya sangat bersemangat membuat kue berdasar pesanan sepulang kerja, kehilangan dua oven dan peralatan lain untuk membuat kue. Satu mobil mereka rusak parah, sementara mobil satunya yang sebetulnya selamat saat diparkir di depan rumah sementara ini tidak bisa dipakai karena keempat rodanya diambil orang. "Cokelat kue yang baru dibeli Bang Darmansyah ketika dia ke Jakarta ikut habis," kata Herwani yang sementara ini stop menerima pesanan kue, kecuali untuk konsumsi sendiri.

"Hilang sudah keangkuhan terhadap materi. Kejadian itu membuat manusia terasa kecil," kata Darmansyah yang mengatakan tidak malu bila kini mereka bertiga ke mana-mana naik motor.

Tsunami juga mengubah hidup Rosni (30). Ibu dua anak yang kini mengungsi bersama anak, suami, dan ibunya ke barak pengungsi di Kayelue, Lambaro, Aceh Besar, dari rumahnya di Lambaro Skep, Banda Aceh, menggambarkan hidupnya sebelum tsunami sebagai getol mencari uang.

"Dulu, sembahyang pun seperti dikejar-kejar cari uang. Saya berjualan kue yang saya antar ke Peunayong. Sekarang, saya tidak mau cari-cari uang lagi seperti dulu. Yang penting cukup untuk makan dan anak-anak sekolah sampai mereka jadi orang, bisa cari pekerjaan," katanya. "Saya sudah rela harta habis, tidak ingin balik. Yang penting ibadah karena umur belum tentu."

Idbar (42) yang tinggal di Punge Blangcut, kehilangan istri dan tiga anak perempuannya. Idbar selamat karena saat itu sedang bertugas ke Medan. Rumahnya rata dengan tanah. Padahal, selama ini dia sudah memintal rencana masa depan untuk anak-anaknya di atas tanah seluas 900 meter itu. Untuk anak tertuanya yang kuliah di semester V fakultas kedokteran dia sudah mencicil ruko di dekat rumah dengan harapan kelak dipakai sebagai tempat praktik dokter.

Ternyata, rencana tinggal rencana. "Dalam tujuh menit semua habis. Ini benar-benar cobaan yang luar biasa," kata Idbar yang masih rutin menengok bekas rumahnya dan merasa istri dan ketiga anaknya hadir dalam bayang-bayang indah.

"Dulu saya bekerja mencari uang, menabung, membeli segala macam. Sekarang saya bekerja, tak tahu untuk apa uang yang saya dapat. Saya belum punya rencana pasti," katanya lagi.

BENCANA sedahsyat tsunami mengubah orang ke dalam sebuah situasi baru yang mereka harus berjuang untuk beradaptasi. Kehilangan orang terdekat, harta, pekerjaan, dan rencana masa depan yang sudah disusun, dapat membuat orang patah. Tetapi, bencana yang dirasakan bersama-sama juga menjadi kanal rasa duka karena tahu mereka tidak sendiri mengalami bencana yang di Aceh saja menyebabkan lebih dari 100.000 orang meninggal atau hilang.

"Ke depan, saya belum tahu akan melakukan apa. Saya mencoba berjalan step by step, pelan-pelan kembali ke keadaan normal. Yang masih mengganjal perasaan, kenapa selama tiga hari pertama tidak ada penanganan apa pun pada korban. Saat tsunami, ada helikopter di atas daerah yang terkena tsunami. Pikiran saya, pasti besok ada bantuan dari daerah-daerah sekitar. Tetapi, sampai hari keempat baru aparat TNI AD dari Mata Ie (Banda Aceh) yang membantu," kata Syukri.

Syukri yang kini mengontrak rumah petak bersama istrinya itu mengritik sebuah partai yang memberi bantuan kepada korban, tetapi dengan pesan agar memilih partai itu. "Mereka bilang, ’Ini dari partai kami. Besok pilih partai kami.’ Mereka bikin posko dengan memasang bendera partai. Apa hak partai mengklaim? Ini kan orang lagi susah," papar Syukri dengan nada meninggi, menceritakan pengalamannya ketika mengungsi ke Lambaro, Aceh Besar.

"Mikir Aceh ke depan, harapannya tentu Aceh yang lebih baik. Ada penanganan pascabencana yang tidak lambat, tidak dimain-mainkan lagi. Banyak lembaga asing masuk, tetapi katanya mau ditarik. Jangan sampai masyarakat tidak percaya kepada pemerintah," tambahnya.

Harapan bahwa rekonstruksi akan membawa Aceh menjadi lebih baik bisa dirasakan saat berbicara dengan berbagai kalangan di Aceh. Ahmad Humam Hamid dari Aceh Recovery Forum yang mewadahi pertemuan 22 organisasi masyarakat Aceh di Medan mengenai pembangunan kembali Aceh, bahkan menyebut rekonstruksi Aceh menjadi kesempatan membangun kembali kepercayaan kepada pemerintah pusat.

Di lapangan, kenyataannya setelah tiga bulan bencana berlalu masyarakat ingin segera kembali ke tanah mereka dan membangun kehidupan mereka. Sudah muncul inisiatif pribadi membangun lagi rumah, seperti di kawasan Ulee Lheue dan Bitai, tanpa menunggu seperti apa tata ruang yang menjadi bagian cetak biru pemerintah pusat nantinya mengatur. Di Bitai dan Punge Blangcut, Banda Aceh, atau di Desa Gura, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, yang rata tanah misalnya, terlihat patok-patok kayu bertuliskan nama pemilik tanah.

Menurut Humam Hamid, itu adalah suatu bentuk modal sosial di masyarakat di mana anggotanya saling percaya dan dapat menyelesaikan persoalannya sendiri. "Ketika mengatakan itu tanahnya, kan tetangga dan kepala kampung mengetahui. Modal sosial ini yang dimanfaatkan dan pemerintah hanya menentukan batas permukiman saja," kata Humam. Dia menyebut tata ruang sebagai cara masuk untuk mengambil hati masyarakat karena sifatnya yang konkret dalam bentuk pembangunan fisik.

Dari berbagai persoalan membangun Aceh, yang paling kritis adalah masalah konflik bersenjata. Setelah masa tanggap darurat selesai tanggal 26 Maret lalu, Kepolisian Daerah NAD akan berkonsentrasi lagi pada operasi pemulihan keamanan yang berarti akan kembali memburu anggota Gerakan Aceh Merdeka. Artinya, kemungkinan konflik bersenjata tetap terbuka dengan korban yang sudah pasti adalah masyarakat sipil.

Karena itu, mengambil momentum pascatsunami dengan ruang publik yang lebih terbuka, Humam berharap ruang berunding dengan Gerakan Aceh Mereka tetap dibuka. "Tidak ada hubungan antara jumlah tentara yang dikirim dengan status Aceh. Kalau begitu, status Aceh tetap saja pada tertib sipil. Ini menyangkut soal investasi untuk membangun Aceh yang hanya mungkin bila statusnya tidak darurat," katanya. (Retno Bintarti/ Ninuk M Pambudy)

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0504/03/kehidupan/1659757.htm