Friday, October 13, 2006

Pemerintah Siap Jual 15 BUMN pada 2007

Jum'at, 13 Oktober 2006 05:41 WIB
EKONOMI - Bisnis
Penulis: Syamsul Azhar

JAKARTA--MIOL: Pemerintah menyiapkan penjualan saham di 15 BUMN pada 2007. Penjualan bertujuan mengembangkan usaha di 3 BUMN, 12 BUMN untuk disetor ke anggaran negara Rp2 triliun, dan menyuntik modal ke BUMN lain Rp1,3 triliun.

Hal ini disampaikan Menteri BUMN Sugiharto, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, di Jakarta, Kamis (12/10) malam.

Sebanyak 3 BUMN akan diprivatisasi untuk mengembangkan usahanya, yaitu PT Wijaya Karya, PT Krakatau Steel, dan Bank Tabungan Negara (BTN). Pada tiga BUMN tersebut direncanakan akan mencatatkan sahamnya di pasar modal (Initial Public Offering/IPO). Konsekwensinya, kepemilikan saham pemerintah yang saat ini mencapai 100% akan terdilusi.

Pemerintah juga akan menjual saham di enam BUMN minoritas. Yaitu PT Atmindo, BUMN yang bergerak di bidang Alat Indutri Kecil yang saat ini kepemilikan pemerintah 36,6%.

Juga akan dijual saham di PT Pabrik Kertas Padalarang 48,9% dan PT Pabrik Kertas Blabak sebesar 0,80%. Selain itu juga pada Pabrik Kertas Basuki Rahmat 0,40%.

Pemerintah juga akan menjual saham di perusahaan ban PT Intirub yang hanya 9,99%. Saham minoritas lain, PT Jakarta International Hotel Development, yang mengelola Hotel Borobudur Jakarta, 1,33%.

"Tapi penjualan saham di BUMN minoritas itu hasilnya tidak signifikan untuk menutup target privatisasi, hanya sekitar Rp200 miliar," kata Deputi Menteri BUMN Bidang Privatisasi dan Restrukturisasi Mahmuddin Yasin. BUMN minoritas itu akan dijual secara 'strategic sale' kepada pemegang saham mayoritas.

BUMN lain yang akan diprivatisasi antara lain PT Bank BNI. Saham BNI yang akan dijual sebanyak 15% dari kepemilikan pemerintah saat ini 99,9%.

"Untuk BNI kita akan menggunakan metode 'secondary offering' (penawaran kembali di pasar modal) dan right issue (penerbitan saham baru) untuk menambah modal," katanya.

Selain itu, Pemerintah akan memprivatisasi PT Inti, dengan cara mencari investor strategis. Juga pada PT Cambrics Primissima dengan sektor kompetitif.

BUMN lainnya PT Askrindo, PT Atmindo. Satu BUMN sahamnya akan dijual kepada manajemen dan karyawan yaitu PT Rekayasa Industri. (RA/Sam/OL-02).

http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=114027


Wednesday, November 30, 2005

Covey dan SBY

Kamis, 01 Desember 2005

Presiden: Budaya Unggul Harus Jadi Identitas Kita

Covey Tekankan Suara Panggilan Jiwa

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginginkan tumbuhnya budaya unggul (culture of excellence) yang berlandaskan kesadaran akan kemampuan diri sendiri dapat menjadi identitas dan semangat kelembagaan negara. Budaya unggul tersebut diharapkan kelak menjadi budaya nasional.

Budaya unggul yang harus ditanamkan adalah kita harus bisa, berbuat yang terbaik, dan kalau orang lain bisa, mengapa kita tidak bisa. Demikian Presiden Yudhoyono dalam sambutan peluncuran buku terbaru Stephen R Covey, The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness, Rabu (30/11) di Jakarta.

Hadir dalam peluncuran dan seminar berjudul Achieving Greatness a Turbulent World in The 8th Habit itu Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia Jakob Oetama. Dalam acara ini Jakob memberikan buku The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness versi bahasa Indonesia kepada penulisnya, Stephen R Covey. Buku inilah yang kemudian oleh Covey diserahkan kepada Presiden Yudhoyono.

Dalam bukunya Covey mengajak orang mengatasi turbulensi kehidupan bukan hanya dengan berperilaku efektif, tetapi juga menjadi pribadi agung.

Apakah budaya unggul itu? Budaya unggul adalah semangat dan kultur kita untuk mencapai kemajuan dengan cara kita harus bisa, kita harus berbuat yang terbaik, kalau orang lain bisa, mengapa kita tidak bisa. Kalau Malaysia bisa, kenapa kita tidak. Kalau India bisa, mengapa kita tidak bisa. Kalau ekonomi China bisa maju, kenapa ekonomi kita tidak bisa maju, ujar Presiden.

Presiden menginginkan pada suatu saat budaya unggul yang diharapkannya terwujud itu bisa menjadi kultur nasional. Kita harus bisa melihat budaya unggul itu ada di universitas, sekolah, lembaga-lembaga pemerintah, partai politik, militer, polisi, provinsi, kabupaten, kota, dan lain-lain. Dengan budaya unggul kita bisa bergerak dari efektivitas menuju keagungan, ujarnya.

Menurut Presiden, dengan budaya unggul, para intelektual bisa lebih mengembangkan kemampuan diri, tak sekadar menjadi pemikir, tetapi juga mewujudkan gagasan-gagasannya.

Temukan jati diri

Indonesia beberapa tahun lalu pernah mengalami berbagai krisis dan bencana alam berturut-turut. Namun, Presiden Yudhoyono optimistis dan mengatakan, dengan pemerintahan yang dikelola secara baik, semua masalah yang muncul segera bisa diatasi.

Indonesia, kata Presiden, harus menemukan jati dirinya. Tidak hanya ingin sukses dan kaya. Dulu kekayaan muncul dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Bukan itu yang kita mau. Kita harus bebas dari KKN dengan dorongan cara-cara yang fair dan menggali potensi diri, ucap Presiden.

Lebih jauh, Presiden Yudhoyono mengatakan, beberapa negara yang dikunjunginya juga telah memiliki budaya unggul, seperti India, Korea Selatan (Korsel), dan Amerika Serikat. Presiden menyinggung kunjungannya ke Bangalore (India) dan Korsel. Industri dan teknologi informasi Korsel sudah berkembang pesat. Begitu juga Amerika Serikat sebagai pusat industri teknologi informasi terkemuka di dunia dan memiliki Microsoft, ujarnya.

Dalam sejarah Islam dan bangsa Eropa serta Asia sejak zaman renaisans, budaya unggul itu juga sebenarnya sudah ada. Budaya unggul bangsa-bangsa itu dapat menjadi semangat yang mendorong kemajuan bangsa. Budaya unggul ada sejak zaman Aristoteles yang terwujud dalam bentuk desain, seni, dan praktis demokratisasi, kata Presiden.

Sejarah Islam ribuan tahun lalu, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, budaya unggul sudah ada. Hal itu ditandai dalam perjalanan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah, katanya.

Presiden Yudhoyono juga menyebut kota Baghdad yang menunjukkan budaya unggul dalam peradaban Islam. Kota itu pernah menjadi pusat budaya Islam dan pusat pengetahuan umat Islam, katanya menambahkan.

Kebiasaan ke-8 yang ditulis Covey menekankan penemuan suara panggilan jiwa dan membantu serta mengilhami orang lain untuk menemukan suara jiwa mereka agar hidup dapat lebih bermakna. Kadang semangat dalam diri seakan padam dan perlu orang lain untuk menyalakannya lagi, ujar Covey.

Tak sekadar organisasi bisnis

Sementara itu, Jakob Oetama mengatakan, kebiasaan ke-8 yang ditulis Covey tidak sekadar menyangkut organisasi bisnis atau institusi. Lebih dari itu, ini menyangkut juga kultur dan komitmen. Tidak sekadar corporate social responsibility, tetapi juga suara kesadaran dengan elemen penting, yaitu spiritualitas, ujarnya.

Covey menjelaskan, intelegensia spiritual merupakan kemampuan terpenting dibandingkan dengan intelegensia lain, yaitu fisik, mental, dan emosional. Apa yang membedakan Hitler dengan Gandhi? Jelaslah perbedaan intelegensia spiritual yang membawa kesadaran dari dalam, kata kakek dari 42 cucu dan ayah dari sembilan anak itu.

Kebudayaan luhur bersumber dari prinsip-prinsip dasar yang selaras dengan hukum alam. Prinsip-prinsip demokrasi yang diterapkan pada kesejahteraan sosial, pemerintahan yang bersih dan menghindari korupsi, akan berakhir pada masyarakat yang mencapai kebudayaan luhur, kata Covey. (har/joe/tom)

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0512/01/utama/2254889.htm

Sunday, November 27, 2005

Kisah Lincoln

Senin, 28 November 2005

Lincoln, Perekonomian AS dan RI

Ignasius Jonan
Bangsa Amerika memasuki abad ke-19 dengan dominasi perekonomian agraris yang terpisah-pisah di hampir seluruh negeri. Hingga adanya layanan transportasi air berupa kapal uap, jalur kereta api, dan jasa layanan telegraf, maka sendi-sendi kehidupan setiap kelompok masyarakat pun menjadi berubah.

Mereka menghadapi fenomena baru berupa terbukanya hubungan dan komunikasi secara nasional dan internasional.

Ancaman terhadap industri tradisional meningkat dengan adanya perubahan sistem transportasi dan teknologi telekomunikasi. Tekanan atas perubahan struktur masyarakat dan falsafah hidup meningkat dengan adanya daya saing yang kompetitif secara nasional dan internasional.

Persaingan internasional bagi produk dalam negeri meningkat pesat di negara-negara bagian di belahan utara. Produk industri mereka bersaing dengan produk dari Eropa sehingga menimbulkan tekanan politis untuk memberlakukan proteksi terhadap industri di dalam negeri.

Di sisi lain masyarakat mulai mengenal adanya lapangan kerja baru dalam bentuk pabrik-pabrik baru yang juga menimbulkan protes keras karena upah yang tidak manusiawi dan mulai timbulnya kesenjangan sosial akibat perubahan bentuk perekonomian tersebut. Beberapa sektor tumbuh pesat melebihi sektor ekonomi lainnya. Namun, beberapa kegiatan ekonomi mulai tidak kompetitif lagi.

Perekonomian tumbuh pesat selama bertahun-tahun, tetapi bersamaan dengan tumbuhnya kesenjangan sosial yang makin tinggi (juga perbudakan), semangat proteksi perekonomian lokal, tingginya ego kedaerahan untuk melindungi kesejahteraan masing-masing negara bagian.

Itulah gambaran perubahan sosial dan perekonomian di Amerika, yang kemudian dilanda krisis keuangan. Tiga kali, yakni tahun 1819, 1837, dan 1857. Krisis itu menimbulkan gelombang pengangguran, dunia usaha bangkrut, dan kemerosotan peran lembaga keuangan yang tak terkoordinasi secara nasional.

Ketika Abraham Lincoln mulai berkuasa 1861, dia mewarisi masalah tersebut. Secara garis besar sama dengan yang dialami pemimpin bangsa kita pasca-Soeharto. Lincoln bersama Kongres Amerika yang dikuasai Partai Republik berusaha mengatasi masalah dengan beberapa prinsip kebijakan.

Memfasilitasi usaha kecil dan menengah (UKM) dengan memberikan peranan yang lebih besar dalam perputaran roda perekonomian.

Menggalang adanya perekonomian yang bersifat nasional di atas kepentingan kedaerahan. Mendorong terciptanya tata pemerintahan yang baik dan sehat untuk mengimbangi sistem perekonomian yang bebas sehingga pemerintah dapat tetap melindungi kepentingan umum.

Menyesuaikan kebijakan-kebijakan atas dasar kebutuhan nasional, bukan atas dasar teori ekonomi maupun contoh dari negara lain semata, yang belum tentu juga sesuai kondisi di dalam negeri Amerika waktu itu.

Kebijakan-kebijakan tersebut menjadi landasan kesuksesan besar pemerintahan Lincoln. Juga sendi-sendi kekuatan perekonomian Amerika hingga kini.

Upaya mengatasi kesenjangan sosial dan mendorong timbulnya kelas menengah baru di masyarakat adalah dengan memberikan kesempatan pekerja pabrik dan petani untuk memiliki lahan baru di daerah barat. Hal serupa pernah digalakkan di Indonesia dengan adanya program transmigrasi yang terpadu dan didukung oleh pemerintah.

Lincoln menolak upaya tetap mempertahankan adanya kelas buruh dalam masyarakat sebagai syarat pertumbuhan suatu perekonomian. Argumentasinya, bangsa Amerika tak akan dapat bertahan jika hanya 5 persen dari penduduknya berkecukupan, sementara 95 persen lainnya melarat! Argumentasi Lincoln tersebut didukung pengalaman negara Eropa yang menghadapi kerusuhan sosial akibat lebarnya kesenjangan sosial.

Meskipun Lincoln percaya akan sistem pasar bebas, dia tetap mengambil kebijakan yang pro-aktif untuk menciptakan perekonomian dengan sistem pasar bebas yang bertanggungjawab atas masyarakat dan bangsa. Dia tidak percaya pendekatan laissez-faire sepenuhnya, yang ditandai pemberian tanah di daerah barat serta pemberian sertifikat tanah secara nasional kepada petani.

Perekonomian nasional

Sistem perpajakan diubah dengan tarif progresif yang menjadi dasar sistem perpajakan Amerika pada saat ini (juga Indonesia). Penerapan tarif pajak progresif tersebut merupakan upaya untuk lebih meningkatkan layanan masyarakat kepada golongan ekonomi kecil dan menengah tanpa menciutkan semangat kewirausahaan yang tetap dibutuhkan dalam penciptaan lapangan kerja.

Upaya penciptaan perekonomian nasional pada waktu itu dimulai dengan dibangunnya lintas kereta api yang menghubungkan pantai timur dan barat Amerika. Mulai ditekankan penciptaan program dan institusi ekonomi yang bersifat nasional dan pembangunan infrastruktur yang menghubungkan seluruh negeri.

Lincoln juga menghadapi dilema adanya tekanan untuk memproteksi industri dalam negeri serta adanya tekanan untuk tidak memproteksi industri dalam negeri yang dikhawatirkan akan dibalas oleh para mitra dagang dari Eropa di sektor lainnya, yaitu hasil pertanian Amerika pada waktu itu, kapas. Untuk mengatasi dilema ini, dia membuat kebijakan yang dapat melindungi sebagian besar masyarakat Amerika.

Perekonomian kita

Kondisi Amerika di zaman Lincoln di atas juga tidak berbeda dengan kondisi kita sejak dijalankannya UU PMDN dan UU PMA di akhir tahun 1960-an sampai kita mengalami krisis keuangan dan krisis sosial di tahun 1997/1998 tersebut serta lanjutan upaya mengatasi ketertinggalan kita hingga saat ini. Menyimak kisah tadi, banyak kejadian dan situasi yang kita hadapi dewasa ini memiliki kemiripan mendasar.

Beberapa upaya yang telah dilakukan sejak zaman Orde Baru seperti program transmigrasi yang terpadu dengan semangat kewirausahaan, selayaknya dijalankan terus dengan tetap memerhatikan aspirasi kedaerahan serta efek sosial yang terkait.

Lincoln membuka lahan-lahan pertanian baru di daerah barat (disebut Wild West). Pada saat ini Pemerintah Indonesia berupaya membuka lahan pertanian baru dengan recana penciptaan perkebunan sawit terbesar di dunia di Kalimantan security belt.

Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tampaknya sudah sesuai aspirasi dan kebijakan Lincoln hampir 150 tahun lalu, tetapi penerapan dengan saksama dan bertahap sangat diperlukan agar tidak menggangu roda perekonomian yang sedang pulih dan menggeliat. Tujuan utama tata pemerintahan yang baik dan teratur bukanlah menghukum, tetapi mendahulukan kepentingan umum dan memajukan peri kehidupan bangsa dan negara di atas kepentingan golongan atau kelompok.

Pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM) seharusnya terus ditingkatkan. Selama upaya pemberdayaan UKM hanya dianggap misi sosial oleh pemerintah, upaya penciptaan kelas menengah baru dalam berjumlah besar dan mayoritas tidak akan terwujud segera. Adanya kelas menengah dalam jumlah mayoritas merupakan syarat utama demokratisasi suatu bangsa.

Pengaturan upah minimum serta perpajakan yang tidak menciutkan semangat kewirausahaan amat penting didorong. Namun, harus secara hati-hati mengingat perekonomian kita masih mencoba bangkit dari keterpurukan.

Pembangunan infrastruktur darat dan laut yang berskala nasional, misalnya, jalan nasional dan feri/kapal interinsuler yang memadai, menghubungkan berbagai belahan Indonesia yang melewati berbagai daerah dan pulau akan menjadi pendorong yang kuat untuk menciptakan lapangan kerja, rasa persatuan dan kesatuan bangsa, serta mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Kebijakan proteksi industri serta kebijakan menghadapi pasar bebas secara global harus diantisipasi secara saksama, untuk meningkatkan daya saing kita.

Program pemerintah untuk meningkatkan akses pendidikan berkualitas dan terjangkau serta fasilitas kesehatan yang memadai harus menjadi motor utama pengurangan kesenjangan sosial.

Presiden John F Kennedy dalam inaugurasi kepresidenannya 20 Januari 1961 mengatakan, If a free society can not help the many who are poor, it can not save the few who are rich.

=====
Ignasius Jonan: Praktisi Bisnis di Jakarta, Alumnus Columbia Business School dan The Fletcher School of Law and Diplomacy

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0511/28/ekonomi/2243647.htm

Thursday, July 07, 2005

Manusia Mencari Bahagia

Jumat, 08 Juli 2005

Keserakahan adalah Penderitaan
Jakob Sumardjo

Setiap orang menginginkan hidup bahagia. Setiap orang tidak menginginkan hidup menderita. Selama hidup di dunia ini manusia ingin bahagia, dan sesudah kematian pun ingin hidup bahagia. Kadang manusia rela hidup menderita, dengan harapan dapat hidup bahagia di surga. Tetapi apakah kebahagiaan itu?

Kebahagiaan, seperti halnya kebenaran, keadilan, keindahan, kebaikan, adalah nilai kualitas. Kebahagiaan dan kebaikan itu hanya terasakan adanya. Manusia merasakan kebaikan dan kebahagiaan orang lain. Manusia tidak menyadari kebaikan dan kebahagiaannya sendiri. Manusia selalu merasa kurang baik dan kurang bahagia meskipun orang lain mengatakannya sebagai baik dan bahagia.

Sebagaimana kata sifat yang lain, bahagia berada di luar pengalaman manusia. Bahagia itu terlalu besar dan terlalu luas bagi manusia. Bahagia itu berada di luar manusia, tak terbatas. Karena tak terbatas, maka kehadirannya pada manusia juga hanya bagian-bagiannya saja. Keindahan dan kebaikan juga demikian. Selama hidup di dunia ini manusia tidak mungkin mengalami dan memahami kebahagiaan, keindahan, kebaikan, kebenaran, keadilan, yang absolut dan sebenar-benarnya itu. Kebahagiaan adalah kualitas yang begitu akbar.

Inilah sebabnya orang tidak pernah sepakat tentang suatu rumusan apa yang disebut bahagia. Rumusan tentang suatu kualitas keberadaan selalu merupakan reduksi atau pemiskinan kualitas itu sendiri. Itu semua karena kebahagiaan itu hanya hadir sepotong-sepotong pada manusia.

Manusia itu terbatas oleh kodratnya, dan dengan demikian tak mungkin memasuki kualitas yang tidak terbatas itu. Tidak mengherankan apabila manusia cenderung mempunyai agama. Agama-agama menjanjikan hidup bahagia setelah kematian. Kebahagiaan itu kebahagiaan absolut karena akan bersama Tuhan yang Kebahagiaan, Kebaikan, Keadilan, Keindahan, Kebenaran itu sendiri. Semua tanpa batas. Kita pun tak berani membayangkannya.

Kita hanya dapat percaya. Hanya saja agama-agama tidak menjanjikan hidup di dunia ini selalu bahagia. Pepatah rakyat Yugoslavia mengatakan bahwa Tuhan tidak mencintai manusia yang selalu hidup ”bahagia”. Atau pepatah China: kalau tidak ada penderitaan, tak mungkin Sang Budha ada.

Penderitaan di dunia, ketidakbahagiaan di dunia, menjadi salah satu syarat menemukan Kebahagiaan Abadi. Dunia ini samudra air mata, begitu sabda Sang Budha. Berbahagialah hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa. Jadi, untuk tidak bahagiakah manusia hidup? Dan mengapa manusia mengejar apa yang disebut bahagia? Bahagia macam manakah yang ada dalam hidup ini? Apakah hidup bahagia itu sama dengan hidup bersenang-senang? Apakah penderitaan itu juga dapat bahagia?

Ternyata kebahagiaan tidak ada hubungannya dengan kekayaan dan kemiskinan. Kebahagiaan adalah sejenis sikap, suatu cara berpikir dan cara mengada. Kebahagiaan tidak ditentukan oleh hal-hal di luar diri manusia. Kebahagiaan itu ada dalam diri tiap manusia itu sendiri, tinggal memilih apakah saya akan hidup bahagia atau tidak.

Tidak ada bahagia tanpa cinta. Tentu saja berbeda antara cinta dan ”cinta”. Cinta itu sendiri adalah kualitas, begitu besar dan tanpa batas yang jelas. Tetapi tiap manusia merasakan getaran hadirnya Cinta itu. Celakalah manusia yang hatinya tidak tergetar, nuraninya mati, ketika matanya tidak melihat Cinta, ketika telinganya tidak mendengar lagi Cinta. Hiduplah dalam Cinta seperti engkau lihat Cinta itu hadir di sekitarmu.

Tidak ada bahagia tanpa kebenaran dan kebaikan. Kebenaran dan kebaikan juga kualitas yang dapat jadi masalah kalau dirumuskan secara rasional. Yang benar dan yang baik hanya ada di kepala tiap orang. Suatu perbuatan bisa tidak baik dan tidak benar bagi seseorang, tetapi bisa benar dan baik bagi yang lain. Namun sebagaimana kebahagiaan, kebenaran dan kebaikan adalah kehadiran lewat perbuatan. Bahagialah manusia yang matanya mampu melihat kebaikan dan kebenaran, telinganya mampu mendengar kebaikan dan kebenaran, dan hati nuraninya tergetar oleh apa yang dilihat dan didengarnya.

Hiduplah dalam kebaikan dan kebenaran, karena dosa adalah sumber kedukaan. Celakalah mereka yang mati hati nuraninya terhadap kebaikan dan kebenaran, karena kedukaan mereka akan abadi. Tidak ada kebahagiaan tanpa kegembiraan dan suka cita. Suka cita itu juga kualitas. Bobotnya bisa berbeda-beda. Suka cita sejati adalah kebohongan, penuh permainan, tanpa beban, gratis terberi, dan mencukupi diri sendiri. Humor dan ketawa itu mahal harganya. Sebuah suka cita sanggup melenyapkan seribu duka, begitu pepatah China. Manusia harus berlatih diri untuk dapat menguasai sikap suka cita ini.

Suka cita adalah sikap penuh harapan, optimistik, tanpa beban meskipun berbeban, santai penuh permainan. Dalam permainan, kalah dan menang, berhasil dan kegagalan, hanyalah masalah waktu. Untuk itu diperlukan kesabaran, menerima apa yang memang tak terelakkan, karena manusia memang memiliki batas.

Tidak ada bahagia tanpa merasa puas atas kecukupannya. Manusia yang tidak pernah merasa puas dan tidak merasa cukup adalah penderitaan. Ibaratnya ular yang mau menelan gajah. Di sini kemiskinan menjamin kebahagiaan. Manusia yang tidak pernah merasa cukup, manusia serakah, tidak akan puas kalaupun harta seluruh dunia menjadi miliknya; kalaupun seluruh umat manusia di bawah perintahnya. Orang begini, surga pun dicelanya. Kritiknya tiada habis karena orang begini tidak mengenal kesempurnaan dan kesederhanaan.

Tidak ada bahagia tanpa kedamaian dan ketenteraman. Ini juga kualitas, kehadirannya hanya bisa diselami, dirasakan, oleh yang mengalaminya. Hati yang damai menikmati semua yang datang padanya, juga penderitaan. Mereka yang menolak sakit, menolak kematian, menolak kekurangan, menolak kegagalan, adalah penderitaan.

Itulah beberapa rumusan rasional tentang hidup bahagia. Jelas ini tidak memadai. Mereka yang bahagia tentu akan merasakan bahwa banyak aspek bahagia tidak disebabkan di sini. Bahagia itu tidak dapat dirumuskan, tidak dapat dikatakan. Ia ada, hadir, tanpa terasa, tetapi memang ada dan terasa bagi orang lain. Mereka yang bahagia tidak akan merasakan berlalunya waktu. Mereka yang bahagia terjebak dalam kekinian, yakni keabadian. Waktu manusia tidak cukup untuk menampung apa yang disebut manusia bahagia.

Mereka yang bahagia, cerdas dalam nurani, dalam spiritualitas. Spiritualitas berarti berkaitan dengan keseluruhan yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih kaya, sehingga keterbatasan manusia diletakkan dalam cakrawala baru. Bahagia adalah kreatif, bukan konsumtif. Produktif, bukan mandul. Kemandegan adalah ketidakbahagiaan.

Jakob Sumardjo Esais, Tinggal di Bandung

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0507/08/humaniora/1854682.htm


Jumat, 08 Juli 2005

Dari Pengasuh
Standar

Hidup apa yang kita hidupi ini? Ketika tradisi yang selama ini mengikat kita dengannya memupus, acuan-acuan lama mengabur, acuan lama hanya remang dan standar tempat kita bersandar goyah permanen? Apa kemudian yang menjelaskan keberadaan kita, sebagai manusia, orang Indonesia, atau makhluk yang bersituasi?

Keruwetan ukuran, standar-standar yang menjelaskan kekinian kita, membuat sebagian kita lupa atau tak peduli hal-hal sepele yang sebelumnya begitu esensial. Taruhlah seperti ”bahagia”, situasi kemanusiaan yang direnungi oleh penulis ”teroka” kali ini, Jakob Sumardjo.

Esais yang ahli sastra, seni pertunjukan, dan profesor dari Bandung ini mengingatkan kita kembali pada bahagia, yang standar dan rukun-rukunnya terkacaukan oleh ukuran-ukuran material zaman ini. Begitukah? Mari kita renung bersama. Material!

Radhar Panca Dahana

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0507/08/humaniora/1873441.htm


Monday, June 27, 2005

Pencuri Hak Intelektual

Senin, 27 juni 2005

SETELAH pergolakan reformasi 1998, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, terjadi peristiwa langka tapi luput dari perhatian publik. Mulanya adalah ide kunjungan informal Perdana Menteri Israel kala itu, Yitzhak Rabin ke Gus Dur sebagai rekan intelektualnya. Ide itu tentu saja mendapat tentangan keras banyak pihak dan akhirnya teraborsi.

Pilihan itu bukan hanya cerdik, bervisi, dan srategis, tapi juga sudah mengandaikan keikutsertaan negara Timur Tengah itu dalam kompetisi kekuatan dan kekuasaan masa depan yang berbasis data.

Peradaban mutakhir memperlihatkan, adanya perseteruan hingga konflik fisik, persaingan usaha, dominasi satu negara pada negara lain, ditentukan oleh kemampuan satu negara mengakses dan mengoleksi data (lawan khususnya). Apa yang terjadi di Rusia, Eropa Timur, Irak, adalah bukti keampuhan data sebagai arsenal utama perang masa kini.

Maka terbayanglah apa yang hendak didapat Israel melalui misi dagangnya ke Indonesia. Karena kesadaran tentang kekuatan data memang rendah, akhirnya kita dibenturkan pada realitas baru bahwa siapa menguasai data, ia berkuasa.

Kita pun mafhum (sebagaiman biasanya), kita tidak cukup berdaya, lalu menerima kenyataan kita (sebagaimana biasanya) sebagai korban, dengan apologi bahwa itulah nature perubahan adap manusia. Mengenaskan. Memang.

SEBENARNYA, peristiwa di atas hanya runtutan atau kelanjutan dari kebijakan Menteri Perindustrian Tungky Ariwibowo di masa pemerintahan Soeharto. dalam pertemuan tahunan WTO di Singapura, ia menyetujui gerakan yang diprakarsai Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Demi satu konsesi: AS dan Jepang berjanji tidak mengangkat keburukan perburuhan Indonesia, penahanan pemimpin serikat buruh, juga penganiayaan buruh pejuang di WTO. Kesepakatan itu berupa pasar bebas untuk produk informasi dan teknologi.

Luar biasa. Mengapa? Karena hampir semua negara menolak kesepakatan yang hendak dijejalkan dalam keputusan WTO itu. Seluruh negara Eropa tak ada yang tanda tangan. Begitupun negara ASEAN. Bahkan Menteri Industri Malaysia sempat menyindir keberanian Indonesia masuk kerangka penuh jebakan itu. Asal tahu saja, selain Jepang dan Amerika sebagai penggagas, hanya empat negara lain yang setuju kala itu: Kanada, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, yang satelit kepentingan AS.

Akibat dari kebijakan di atas sudah dapat kita lihat belakangan ini. Bukan hanya industri teknologi-informasi dalam negeri ”perangkat lunak maupun kerasnya” yang tergilas habis korporasi global, namun juga peluang mengalirnya data-data vital dan rahasia negeri ini, baik data politik, militer, ekonomi-bisnis, maupun kultural. Dengan dikuasainya database negeri ini, soal penyubordinasian atau penaklukan tinggal masalah waktu.

Selain itu, terdapat satu keributan kecil yang juga kurang terperhatikan, apalagi membayangkan dampak besarnya ke depan.

Belakangan ini, pengusaha warnet dan berbagai kantor besar di Indonesia resah karena ada rencana razia software oleh pihak kepolisian. Lebih dari 60 persen perangkat lunak di negeri ini memang ilegal.

Bahkan di bisnis warnet, statistik itu mungkin hampir 100 persen. Jika razia benar-benar dilaksanakan, sebagian besar usaha kecil itu akan gulung tikar. Bayangkan jika untuk satu PC saja, pengusaha warnet harus membayar 350 dollar AS demi satu software yang legal.

Namun, hal lain yang terbayang adalah penghasilan yang dapat berangka triliunan rupiah bagi Microsoft, korporasi global yang ditengarai berandil besar dalam aksi ini.

Memang di pasar hak intelektual Indonesia kerap masuk daftar maling alias negeri pencuri hak intelektual. Cap legam seperti ini dianggap sebagai satu hal wajar karena kita (mau tak mau) menerima standar hukum dan moral dunia baru. Standar, yang oleh para elite pun disadari, melulu direkayasa melalui penetrasi paham-paham kapitalisme, liberalisme, dan globalisme.

Rekayasa yang terjadi begitu intensnya, hingga kita jadi begitu mafhum dan ikhlas menjadi korbannya.

SOAL maling atau pencurian hak intelektual ini pernah memunculkan berbagai pembelaan, terutama mengenai karya-karya tertulis dan cetakan. Namun propaganda hebat yang disponsori korporasi global menggugurkannya.

Nyata sesungguhnya, kepentingan apa yang bersembunyi di balik propaganda anti pencurian hak-intelektual. Bukan hanya soal hak-hak para pekerja intelektual, tapi juga kepentingan bisnis triliunan dolar, pemberlakuan pasar bebas, hidup liberal beserta segala risikonya, dan pada akhirnya juga dominasi politik, ekonomi, militer, dan kultural oleh negara-negara produsen utama produk teknologi itu atas negara-negara konsumennya.

Kita tahu, negara-negara kapitalis kaya tersebut juga memiliki sejarah kolonialisme awal. Mereka, selama masa kolonial telah menjarah begitu luar biasa, bukan hanya sumber daya alam negara jajahannya, tapi juga produk budaya, yang tak lain adalah karya intelektual rakyat jajahan.

Museum-museum besar, perpustakaan-perpustakaan, pusat studi atau Universitas di Eropa dan Amerika, menyimpan karya-karya intelektual dari Asia, Afrika, atau Amerika Latin, dari masa purba hingga modern. Bahkan Neopoleon Bonaparte mengabadikan penjarahan ini dalam satu diorama tentang proses pencurian dan pemindahan megalit dari Mesir ke Perancis.

Megalit itu kini jadi landmark kota Paris. Maka kultur Eropa (dan barat pada umumnya) harus berterima kasih pada negara jajahannya karena mereka berkembang, bertambah kaya, antara lain dari penjarahan-penjarahan ini.

Sehingga kemudian muncul Matisse, Picasso, Debussy, hingga Peter Gabriel atau arsitektur posmodernis yang karya-karya monumentalnya berkat profit penjarahan di atas.

Kultur pop Amerika Serikat (AS) juga sebagai misal, sungguh-sungguh harus berterima kasih pada benua hitam Afrika atas kontribusinya membuat produk-produk budaya AS begitu hebat dan menghasilkan bisnis hiburan yang hanya bisa ditandingi bisnis senjata.

Maka sesungguhnya soal maling-malingan, soal curi-curian, sudah menjadi tabiat umum dari warga bumi. Kita, juga negeri berkembang lainya, tak dapat berbuat banyak ketika kekayaan intelektual nenek moyang menjadi harta warisan di negara maju.

Kita tahu, karya-karya intelektual yang dijarah itu benar-benar mengisap habis esensi atau substansi dari peradaban kita. Kita tinggal terima sisa, sehingga untuk mendapatkan substansi, mengetahui jati diri, kita pun harus bertanya pada mereka.

Kini, ketika kita hanya mengambil atau katakanlah mencuri software, yang sebenarnya cuma kulit dari karya intelektual bernama teknologi, kita sudah dikecam dan diancam habis-habisan.

Apa kita lalu kembali mafhum, dan menerima diri kita sebagai korban. Korban yang ikhlas?

Radhar Panca Dahana Sastrawan

sumber :
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/27/humaniora/1844195.htm

Friday, June 17, 2005

SMS Pak Presiden

Sabtu, 18 Juni 2005

Oleh Riswandha Imawan

TIBA-tiba Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki ide membuka layanan SMS langsung untuk masyarakat. Ide ini semula dipakai dan sukses dilakukan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad. Namun, sukses di tingkat provinsi belum tentu sukses di tingkat nasional, bahkan bisa kontraproduktif karena berpotensi memunculkan masalah baru.

Melalui para pembantunya, Presiden menyatakan, metode ini untuk mendekatkan kembali dirinya dengan rakyat. Bila disimak, alasan ini bisa jadi merupakan pengakuan diam-diam bahwa sejak dilantik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mulai terasing dari rakyatnya. Setidaknya Presiden sadar, akibat berbagai kebijakan yang kontroversial, popularitasnya menurun tajam. Tampaknya citra diri ini yang ingin dikoreksi. Tapi upaya ini membawa konsekuensi serius.

IDE membuka hubungan langsung dengan rakyat pernah dilakukan (mantan) Presiden Soeharto melalui Kotak Pos 5000. Bedanya Kotak Pos 5000 disediakan hanya untuk pengaduan kasus-kasus korupsi; sedangkan metode SMS untuk apa saja. Mengingat kekecewaan rakyat terhadap performa (aparat) pemerintahan saat ini, bisa diduga fasilitas SMS yang disediakan akan mengalami overloaded. Masalah teknis ini bisa diatasi, misalnya, melalui metode hypertext yang secara otomatis membantu membagi masukan data ke dalam klasifikasi tertentu.

Meski demikian, metode ini sulit bekerja sempurna mengingat pesan yang disampaikan melalui fasilitas SMS umumnya memakai singkatan yang tidak lazim. Misalnya, kata "dan" yang ditulis dengan huruf "n", kata "dirjen" ditulis dengan singkatan "dj".

Masalah teknis lain adalah soal validitas pengirim SMS. Presiden SBY meminta agar tiap SMS dilengkapi identitas diri, seperti nama dan alamat jelas. Pertanyaannya, apakah benar orang itu yang menulis, mengingat demikian mudahnya kartu telepon diperoleh? Bagaimana bila isinya fitnah, misalnya menghina Presiden, yang terbukti membawa konsekuensi hukum di negeri ini? Metode interaksi melalui SMS bisa berubah menjadi arena saling memfitnah, dikhawatirkan bisa menambah kebimbangan Presiden untuk memutuskan.

Persoalannya, Presiden SBY tidak bisa mengabaikan hal-hal yang dikirimkan. Alasannya, pertama, bila selama ini pemerintah bisa menggunakan ungkapan klasik "aspirasi rakyat yang mana?", kini jelas jawabnya. Tidak boleh lagi Presiden menyatakan tidak jelas kelompok masyarakat penyampai aspirasinya. Kedua, sebagai konsekuensi, rakyat berharap tiap kebijakan Presiden mengacu pada SMS-SMS itu. Apalagi rakyat merasa sudah "membayar" melalui pengorbanan pulsa. Ini berbahaya bagi wibawa dan legitimasi Presiden, atau kelangsungan pemerintahan SBY secara keseluruhan.

Berbahaya sebab rakyat sudah merasa langsung menyampaikan aspirasinya kepada otoritas tertinggi negeri ini, dan Presiden berjanji akan membaca seluruh SMS yang dikirimkan. Ini janji pertama Presiden, sebelum kemudian sedikit dianulir juru bicara dengan menyatakan akan dilakukan klasifikasi dan disortir (dipilih) SMS-SMS yang layak dibaca Presiden. Apa pun wujud mekanismenya mengundang masalah.

Bila dilakukan sortir oleh pembantunya, tidak ada jaminan, informasi yang disampaikan ke Presiden adalah hal-hal yang harus didengar. Kultur politik kita masih terpaku pada penyampaian informasi yang "enak didengar" oleh patron. Dampaknya patron selalu mendapat informasi keliru mengenai situasi yang dihadapi. Kalaupun sortir dilakukan atas dasar arti pentingnya isu terkait program pemerintah, orang akan bertanya "siapa Presiden Indonesia saat ini?" Apalagi secara realistis mustahil Presiden memiliki waktu luang untuk membaca seluruh SMS yang masuk.

DILAKUKAN atau tidak dilakukannya sortir jelas melambungkan harapan (ekspektasi) masyarakat kepada pemerintah. Mengikuti teori Relative Deprivation (Gurr, 1970) peningkatan ekspektasi tanpa diimbangi peningkatan kemampuan (kapabilitas) akan membuat rakyat frustrasi, melakukan tindak kekerasan, bahkan melakukan revolusi. Mengapa? Karena bila pengaduan sudah sampai ke Presiden dan tak juga ditanggapi, kepada siapa lagi mereka harus mengadu di dunia ini?

Situasi internal kabinet pun bisa dibuat repot SMS ke Presiden. Selain unsur fitnah, metode SMS langsung ke Presiden bisa dibaca sebagai ketidakpercayaan Presiden kepada pembantunya. Presiden bisa dinilai memotong (encompassing) alur politik sistemik yang harus dilalui. Kelanjutan bacaan ini cukup berat. Bisa saja melalui metode ini Presiden dinilai sedang merekonstruksi pemerintahan yang sentralistis. Semua urusan langsung diurus Presiden. Bila tidak mampu, baru didelegasikan ke pembantunya. Sebuah ironi politik di saat pemerintah bertekad mewujudkan politik desentralisasi agar mekanisme politik yang mengalir dari bawah ke atas (bottom-up) terwujud.

Kalau penilaian berhenti di sini saja, tidak terlalu merepotkan. Menjadi repot bila dikaitkan dengan kemungkinan banjir fitnah dengan muara situasi sosial-politik yang tidak menentu, tidak kondusif bagi upaya peningkatan kualitas kehidupan demokrasi (deepening democracy) sebagai fokus utama bidang politik dalam program Indonesia Bangkit. Tidak adanya paradigma alternatif memaksa pemerintah secara diam-diam melanjutkan paradigma "stabilitas politik untuk pembangunan ekonomi" era Soeharto. Ini membuat kekacauan sosial-politik yang terjadi dengan mudah menggoda dan mengarahkan pemerintah kembali ke era otoritarianisme.

Repotnya bila muncul penilaian miring bahwa SMS saling fitnah itu dilakukan oleh orang-orang suruhan atau operator negara untuk menciptakan kondisi bagi tindakan-tindakan represif. Ini mudah dilakukan, mengingat media yang digunakan, handphone dan SMS, sifatnya anonim serta mudah didapatkan dalam jumlah tak terbatas. Mirip kontes Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Bahkan lebih gawat, sebab di AFI bila satu nomor terpakai tidak bisa mengirim lagi, sementara di SMS langsung ke Presiden bisa berkali-kali tanpa terdeteksi.

Kalau begitu untuk apa Presiden SBY mencetuskan ide ini? Niatnya baik. Hanya, seperti petuah para ulama "niat baik bila menggunakan metode yang salah akan menghasilkan mudarat bagi kita", demikian pula dengan niat Presiden. Bisa jadi rakyat menilai, metode SMS langsung hanya upaya memperbaiki citra Presiden yang cenderung menurun akhir-akhir ini. Sama sekali tidak ada jaminan terkait substansi kebijakan yang akan diambil.

Riswandha Imawan Guru Besar Ilmu Politik UGM

sumber:

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/18/opini/1823266.htm

Penamaan pulau terpencil

MIOL - HANKAM Kamis, 16 Juni 2005 15:01 WIB

Para Bupati Diminta Menamai Pulau-Pulau di Perbatasan

AMBON—MIOL: Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu meminta para bupati agar sesegera mungkin memberi nama pulau-pulau di wilayah perbatasan, terutama yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia.

"Para bupati secepatnya memberi nama pulau-pulau agar bisa segera dilaporkan ke Depdagri guna diterbitkan dalam Lembaran Negara sehingga bisa diantisipasi hal-hal yang tak diinginkan terhadap kedaulatan NKRI," katanya pada sela-sela rakor dengan bupati/wali kota se-Maluku, di Ambon, Kamis.

Di Maluku terdapat 632 pulau dengan wilayahnya seluas 712.479 kilometer persegi.

Gubernur Ralahalu mengingatkan kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang telah menjadi milik Malaysia, termasuk blok Ambalat yang sempat menimbulkan ketegangan dengan negara tetangga tersebut.

"Karena itu, hendaknya kita proaktif memberi nama bagi pulau-pulau di wilayah perbatasan sehingga tidak menimbulkan masalah di masa mendatang," katanya.

Gubernur mengingatkan, terutama dengan Timor Leste dan Australia yang berbatasan langsung dengan Maluku Tenggara Barat(MTB) dan Kepulauan Aru.

Bupati MTB SJ Oratmangun, ketika dikonfirmasi Antara, secara terpisah mengakui di kabupatennya terdapat 135 pulau.

"Hanya saja, untuk pulau-pulau di wilayah perbatasan, terutama dengan Timor Leste itu berupa karang-karang yang tidak berpenghuni dan menjadi tempat tinggal aneka jenis burung sehingga kesulitan memberi nama karena jumlahnya mencapai ratusan," tambahnya.

Sementara itu, penjabat Bupati Aru Jopie Patty, secara terpisah mengemukakan di wilayahnya terdapat 187 pulau dan 96 buah di antaranya telah berpenghuni.

"Saat ini tinggal beberapa pulau saja yang berbatasan dengan Australia belum diberi nama," ujarnya.

Patty menambahkan, pemekaran Kepulauan Aru dari Maluku Tenggara, 7 Januari 2004 lalu sangat bermanfaat dalam menjaga wilayah perbatasan dengan Australia.

Terutama untuk pengawasan di kawasan Laut Arafura yang merupakan "surga" bagi kegiatan illegal fishing, katanya.

"Bantuan dari Departemen Kimpraswil melalui Dinas PU Maluku dan Dinas PU dan Perhubungan Kepulauan Aru saat ini akan dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana, terutama jalan dan jembatan di wilayah perbatasan," katanya. (Ant/Ol-1)

sumber :
http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=67847

Tuesday, June 14, 2005

Ctt: Dino Patti I

Senin, 13 Juni 2005

SBY dan "Soft Power"

Oleh Dino Patti Djalal

SBY punya mainan baru ya?" tanya seorang wartawan. "Mainan apa?" tanya saya heran. Ia menjawab setengah berkelakar, setengah serius , "Soft power!"

Dewasa ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang sering berpikir dan berbicara mengenai soft power, dan memang sudah waktunya.

Setelah perang di Afganistan dan Irak, dan berlangsung ketegangan strategis di berbagai penjuru dunia termasuk Semenanjung Korea, Presiden SBY memandang perlu mengingatkan masyarakat dunia tentang pentingnya elemen power yang lain, selain kekuatan militer dan diplomasi koersif (apa yang disebut hard power). Berbeda dari hard power yang mengandalkan kekuatan, konsep soft power mengandalkan pendekatan persuasif dengan menggunakan aset ekonomi, kemasyarakatan, budaya, humaniter, pendidikan, iptek, dan sebagainya.

Presiden SBY memilih tempat menarik untuk pertama kali menyampaikan pandangannya mengenai soft power, di Washington DC, ibu kota Amerika Serikat. Dalam pidato resmi di depan elite politik AS yang diorganisasi US-Indonesia Society (USINDO), Presiden SBY mengimbau AS agar lebih menekankan soft power ketimbang hard power dalam kiprahnya di kancah internasional.

Di depan anggota Kongres, pejabat tinggi, pengusaha, dan pakar AS, Presiden SBY menyatakan, meski AS adalah negara adidaya yang kekuatan militernya tidak tertandingi, AS perlu lebih memproyeksikan soft power ketimbang hard power: "The US has no shortage of soft power: in terms of culture, values, sports, entertainment, business, education, science and technology, living standard, media, the US has tremendous appeal to the international community." SBY mengingatkan, "Remember: the use of soft power charms and disarms. Hard power, on the other hand, if it is used incorrectly, provokes resistance and, sometimes, resentment."

Presiden SBY juga mengingatkan, governance tidak kalah penting dibanding demokrasi, dan toleransi-bahkan kadang lebih penting-dari freedom. Itulah bentuk-bentuk soft power yang perlu dikembangkan AS di masa depan.

Uniknya, pidato SBY itu mendapat apresiasi luar biasa dari elite politik AS. Seusai pidato, Presiden SBY mendapat standing ovation hadirin, termasuk Senator Kitt Bond yang langsung bangkit dari kursi, memberi selamat Presiden SBY yang baru turun panggung.

Terus menggema

Dalam konferensi internasional komunitas pertahanan (dikenal dengan "The Shangrila Dialogue") di Singapura 3-5 Juni lalu, PM Lee Hsien Loong juga menyerukan agar AS lebih menekankan soft power. PM Lee Hsien Loong menyatakan, AS perlu lebih menggunakan potensi soft power-nya dalam menarik opini internasional, memperbaiki mispersepsi, serta membangun kepercayaan dan kredibilitasnya, khususnya di kalangan dunia Islam. Keesokan harinya Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld dalam konferensi yang sama menyatakan sepenuhnya setuju, AS perlu mengedepankan soft power dalam pergaulan internasionalnya meski tetap bersikeras bahwa opsi militer tetap merupakan opsi terakhir. Diskusi setelahnya dengan Menteri Pertahanan Jepang dan Menteri Pertahanan Korea Selatan juga diselingi tema soft power.

Tampak, soft power akan menjadi tema yang kian disorot dalam wacana strategis internasional.

Indonesia dan "soft power"

Banyak kalangan menilai pesan Presiden Indonesia di Washington DC itu amat strategis dan fundamental, khususnya di tengah situasi dunia yang terus bergolak dan selalu dihantui politik kekerasan.

Namun, pesan yang terkandung dalam pidato SBY itu sebenarnya juga berlaku bagi diri kita, yakni Indonesia perlu terus mengembangkan potensi soft power di masa datang.

Dalam pemikiran Presiden SBY, stabilitas internasional akan lebih terjamin jika negara-negara dunia berlomba mengembangkan soft power ketimbang bersaing menumbuhkan hard power.

Saya pernah menanyakan, mengapa soft power penting dalam pergaulan internasional. Jawab Presiden, "Hard power menimbulkan aneka benturan, namun soft power menimbulkan jaringan-jaringan. Hard power dapat mengakibatkan persaingan negatif, namun soft power dapat menghasilkan sinergi positif."

Pengembangan soft power memang cocok bagi politik bebas aktif yang kita anut karena tampaknya di sinilah letak kekuatan diplomasi kita serta daya tarik Indonesia dalam pergaulan internasional.

Pengaruh dan reputasi Indonesia di masyarakat internasional lebih banyak ditentukan oleh prestasi, pesona, persuasi kita ketimbang karena faktor kekuatan militer.

Reputasi Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, misalnya, menempatkan kita sebagai negara panutan dalam pergaulan dunia. Status Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar memberi kita kredibilitas dalam menjembatani antara dunia Islam dan Barat. Keberhasilan kita membantu proses perdamaian untuk konflik Kamboja, Filipina Selatan, dan Laut Cina Selatan meningkatkan reputasi kita sebagai juru damai. Potensi pasar kita dengan jumlah penduduk 220 juta juga banyak diperhitungkan orang. Sementara politik bebas aktif kita mengukuhkan citra Indonesia sebagai negara independent-minded tidak terikat siapa pun.

Dan jangan lupa, ketangguhan dan ketabahan rakyat Indonesia yang jatuh bangun setelah krisis moneter, kerusuhan Timor Timur 1999, konflik etnis dan separatis, serangan teror, tsunami dan sebagainya banyak diperhatikan bahkan dikagumi masyarakat internasional.

Berbicara ihwal contoh soft power, saya teringat kunjungan Presiden SBY ke Australia beberapa waktu lalu. Presiden SBY datang tidak dengan membusungkan dada atau berteriak lantang, tetapi dengan apa yang dinamakan seorang wartawan Australia membawa charm offensive, menampilkan sosok yang simpatik, rendah hati, bersahabat, dan penuh ide.

Dalam berbagai kesempatan-gayanya yang rileks terhadap PM John Howard, kiprahnya menjemput jenazah perwira Australia yang gugur di Nias di bandara Sydney, kunjungan ke makam pahlawan, pidato di Parliament House-Presiden SBY dalam sekejap mengubah citra Indonesia di mata mainstream Australia, dan mengubah suasana dan substansi hubungan RI-Australia.

Akibat kunjungan itu, hubungan RI-Australia dapat dikatakan mencapai titik tertinggi, yang ditandai pencanangan Comprehensive Partnership antara kedua negara. Dan Presiden SBY konon dianggap sebagai salah satu negarawan asing terpopuler di Australia.

Saya teringat komentar Presiden saat saya tanyakan apa yang memberi nilai tambah bagi soft power suatu negara. Jawab Presiden, "Yang penting kita menjadi bangsa yang dihormati, bukan ditakuti, bangsa yang disegani, bukan dihindari; bangsa yang didengar suaranya karena kita menyuarakan sesuatu yang bernilai."

Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htm