Friday, June 17, 2005

SMS Pak Presiden

Sabtu, 18 Juni 2005

Oleh Riswandha Imawan

TIBA-tiba Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki ide membuka layanan SMS langsung untuk masyarakat. Ide ini semula dipakai dan sukses dilakukan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad. Namun, sukses di tingkat provinsi belum tentu sukses di tingkat nasional, bahkan bisa kontraproduktif karena berpotensi memunculkan masalah baru.

Melalui para pembantunya, Presiden menyatakan, metode ini untuk mendekatkan kembali dirinya dengan rakyat. Bila disimak, alasan ini bisa jadi merupakan pengakuan diam-diam bahwa sejak dilantik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mulai terasing dari rakyatnya. Setidaknya Presiden sadar, akibat berbagai kebijakan yang kontroversial, popularitasnya menurun tajam. Tampaknya citra diri ini yang ingin dikoreksi. Tapi upaya ini membawa konsekuensi serius.

IDE membuka hubungan langsung dengan rakyat pernah dilakukan (mantan) Presiden Soeharto melalui Kotak Pos 5000. Bedanya Kotak Pos 5000 disediakan hanya untuk pengaduan kasus-kasus korupsi; sedangkan metode SMS untuk apa saja. Mengingat kekecewaan rakyat terhadap performa (aparat) pemerintahan saat ini, bisa diduga fasilitas SMS yang disediakan akan mengalami overloaded. Masalah teknis ini bisa diatasi, misalnya, melalui metode hypertext yang secara otomatis membantu membagi masukan data ke dalam klasifikasi tertentu.

Meski demikian, metode ini sulit bekerja sempurna mengingat pesan yang disampaikan melalui fasilitas SMS umumnya memakai singkatan yang tidak lazim. Misalnya, kata "dan" yang ditulis dengan huruf "n", kata "dirjen" ditulis dengan singkatan "dj".

Masalah teknis lain adalah soal validitas pengirim SMS. Presiden SBY meminta agar tiap SMS dilengkapi identitas diri, seperti nama dan alamat jelas. Pertanyaannya, apakah benar orang itu yang menulis, mengingat demikian mudahnya kartu telepon diperoleh? Bagaimana bila isinya fitnah, misalnya menghina Presiden, yang terbukti membawa konsekuensi hukum di negeri ini? Metode interaksi melalui SMS bisa berubah menjadi arena saling memfitnah, dikhawatirkan bisa menambah kebimbangan Presiden untuk memutuskan.

Persoalannya, Presiden SBY tidak bisa mengabaikan hal-hal yang dikirimkan. Alasannya, pertama, bila selama ini pemerintah bisa menggunakan ungkapan klasik "aspirasi rakyat yang mana?", kini jelas jawabnya. Tidak boleh lagi Presiden menyatakan tidak jelas kelompok masyarakat penyampai aspirasinya. Kedua, sebagai konsekuensi, rakyat berharap tiap kebijakan Presiden mengacu pada SMS-SMS itu. Apalagi rakyat merasa sudah "membayar" melalui pengorbanan pulsa. Ini berbahaya bagi wibawa dan legitimasi Presiden, atau kelangsungan pemerintahan SBY secara keseluruhan.

Berbahaya sebab rakyat sudah merasa langsung menyampaikan aspirasinya kepada otoritas tertinggi negeri ini, dan Presiden berjanji akan membaca seluruh SMS yang dikirimkan. Ini janji pertama Presiden, sebelum kemudian sedikit dianulir juru bicara dengan menyatakan akan dilakukan klasifikasi dan disortir (dipilih) SMS-SMS yang layak dibaca Presiden. Apa pun wujud mekanismenya mengundang masalah.

Bila dilakukan sortir oleh pembantunya, tidak ada jaminan, informasi yang disampaikan ke Presiden adalah hal-hal yang harus didengar. Kultur politik kita masih terpaku pada penyampaian informasi yang "enak didengar" oleh patron. Dampaknya patron selalu mendapat informasi keliru mengenai situasi yang dihadapi. Kalaupun sortir dilakukan atas dasar arti pentingnya isu terkait program pemerintah, orang akan bertanya "siapa Presiden Indonesia saat ini?" Apalagi secara realistis mustahil Presiden memiliki waktu luang untuk membaca seluruh SMS yang masuk.

DILAKUKAN atau tidak dilakukannya sortir jelas melambungkan harapan (ekspektasi) masyarakat kepada pemerintah. Mengikuti teori Relative Deprivation (Gurr, 1970) peningkatan ekspektasi tanpa diimbangi peningkatan kemampuan (kapabilitas) akan membuat rakyat frustrasi, melakukan tindak kekerasan, bahkan melakukan revolusi. Mengapa? Karena bila pengaduan sudah sampai ke Presiden dan tak juga ditanggapi, kepada siapa lagi mereka harus mengadu di dunia ini?

Situasi internal kabinet pun bisa dibuat repot SMS ke Presiden. Selain unsur fitnah, metode SMS langsung ke Presiden bisa dibaca sebagai ketidakpercayaan Presiden kepada pembantunya. Presiden bisa dinilai memotong (encompassing) alur politik sistemik yang harus dilalui. Kelanjutan bacaan ini cukup berat. Bisa saja melalui metode ini Presiden dinilai sedang merekonstruksi pemerintahan yang sentralistis. Semua urusan langsung diurus Presiden. Bila tidak mampu, baru didelegasikan ke pembantunya. Sebuah ironi politik di saat pemerintah bertekad mewujudkan politik desentralisasi agar mekanisme politik yang mengalir dari bawah ke atas (bottom-up) terwujud.

Kalau penilaian berhenti di sini saja, tidak terlalu merepotkan. Menjadi repot bila dikaitkan dengan kemungkinan banjir fitnah dengan muara situasi sosial-politik yang tidak menentu, tidak kondusif bagi upaya peningkatan kualitas kehidupan demokrasi (deepening democracy) sebagai fokus utama bidang politik dalam program Indonesia Bangkit. Tidak adanya paradigma alternatif memaksa pemerintah secara diam-diam melanjutkan paradigma "stabilitas politik untuk pembangunan ekonomi" era Soeharto. Ini membuat kekacauan sosial-politik yang terjadi dengan mudah menggoda dan mengarahkan pemerintah kembali ke era otoritarianisme.

Repotnya bila muncul penilaian miring bahwa SMS saling fitnah itu dilakukan oleh orang-orang suruhan atau operator negara untuk menciptakan kondisi bagi tindakan-tindakan represif. Ini mudah dilakukan, mengingat media yang digunakan, handphone dan SMS, sifatnya anonim serta mudah didapatkan dalam jumlah tak terbatas. Mirip kontes Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Bahkan lebih gawat, sebab di AFI bila satu nomor terpakai tidak bisa mengirim lagi, sementara di SMS langsung ke Presiden bisa berkali-kali tanpa terdeteksi.

Kalau begitu untuk apa Presiden SBY mencetuskan ide ini? Niatnya baik. Hanya, seperti petuah para ulama "niat baik bila menggunakan metode yang salah akan menghasilkan mudarat bagi kita", demikian pula dengan niat Presiden. Bisa jadi rakyat menilai, metode SMS langsung hanya upaya memperbaiki citra Presiden yang cenderung menurun akhir-akhir ini. Sama sekali tidak ada jaminan terkait substansi kebijakan yang akan diambil.

Riswandha Imawan Guru Besar Ilmu Politik UGM

sumber:

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/18/opini/1823266.htm

No comments: