Wednesday, March 02, 2005

Kata : Sri Mulyani

Rabu, 02 Maret 2005

Sri Mulyani: Program Kompensasi BBM Banyak Kerawanan

SETELAH kenaikkan harga bahan bakar minyak rata-rata 29 persen, selain aksi protes di mana-mana, sorotan keras juga tertuju pada program kompensasi untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM. Program itu diragukan efektivitasnya dapat sesuai tujuan, bahkan dinilai rawan korupsi.

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati, kepada Kompas, Selasa (1/3) di ruang kerjanya, mengatakan, sangat mengerti jika banyak orang skeptis terhadap program ini.

"Yang paling sulit memang, mengelola ekspektasi orang, sebab ekspektasinya kan pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Pasti ada yang kecewa," katanya.

Akan tetapi, dia mengakui, langkah ini ibarat biji-biji awal yang ditanamkan pemerintah. Nanti akan diamankan (secure) dalam anggaran tahun 2006. "Jadi, bukan hangat-hangat tahi ayam, supaya orang tidak marah karena adanya kenaikan harga BBM. Jadi ada alasan untuk terus meningkatkan alokasi dana pendidikan, terutama bagi orang miskin," katanya.

Program ini juga juga diakuinya tidak sempurna. Harus sempurna 100 persen terlalu naif juga. Tetapi, kalau kita jujur dan waspada, desain program ini mungkin masih akan sangat rawan terhadap berbagai kemungkinan tingkah laku dari para pelaksananya.

Paling penting, kata dia, pemerintah menjelaskan secara jujur program ini. Siapa yang menjadi sasaran, arahnya, target yang akan dituju, mekanismenya, dan penyalurannya, uang jatuh bagaimana, sehingga targetnya mendapatkan apa.

"Memang ada masalah politik. Ada Parpol yang sudah menggariskan, pokoknya menolak kebijakan ini. Tidak peduli sebagus apa pun argumen kamu.

Bagaimana mekanisme menentukan orang, menyalurkan kepada orang yang bersangkutan dan mengawasinya?

Menentukan orang miskin dari statistik terbaru dan komprehensif, Susenas Badan Pusat Statistik (BPS) 2004. Itu berdasarkan data sampel, dimodelkan, bikin estimasi.

Dengan pemodelan itu, mereka bisa memperkirakan jumlah orang miskin di provinsi dan kabupaten secara akurat, tetapi tidak bisa menentukan siapa orang itu, dan tinggal di mana.

Untuk mengetahui siapa orangnya, pemerintah mengombinasikan dengan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN). Data BKKBN dibuat bidang desa dan petugas KB. Mereka adalah orang yang langsung berhubungan dengan penduduk desa, sehingga punya daftar orang miskin dan tahun kondisi kesejahteraan.

Jadi setiap kali bicara target, kita punya ide bahwa dari seluruh populasi 216 juta penduduk Indonesia, ada 36 juta orang miskin. Kalau kita mau menjadikan orang itu sebagai target, apa konsep kita? Pengentasan kemiskinan yang disebut program partisipatif.

Dulu juga ada program pengentasan kemiskinan?

Strategi nasional pengentasan kemiskinan pada era Pak Kwik Kian Gie (mantan Menneg PPN/Kepola Bappenas) dua tahun lalu sudah. Ada lingkaran setan yang harus dipotong, yaitu pendidikan, kesehatan sanitasi, infrastruktur, kesempatan kerja, modal, tidak pernah berpartisipasi, dan juga dari rasa aman.

Tetapi uang kita cuma pas-pasan. Dari simulasi anggaran, dengan kenaikan harga BBM 29 persen, kita bisa mendapatkan uang Rp 20 triliun. Itu bisa dialokasikan, tidak lagi untuk BBM, tetapi aktivitas lain. Sementara yang Rp 10,5 triliun untuk kompensasi BBM, sekitar Rp 7 triliun untuk mengurangi defisit dan sisanya untuk Aceh.

Nah yang Rp 10,5 triliun kita desain untuk tambahan anggaran dari program yang sudah ada, untuk makin mempercepat atau memperkuat usaha mengurangi kemiskinan. Selain konsep ini yang sudah dibuat, juga menjalankan program tahun 2003 yang sudah diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Daripada susah-susah kasih kepada 9 juta orang miskin, kenapa tidak semuanya orang miskin saja? Kalau mau seluruh sekolah gratis, biayanya Rp 50 triliun. Kita tidak punya duit sebanyak itu.

Akhirnya pemerintah berpikir, tidak semua orang tua siswa tidak mampu. Kita kasih yang paling miskin saja. Juga kepada siswa yang selalu terancam putus sekolah karena tidak mampu beli buku, bayar transpor. Orang yang putus sekolah. Mereka yang sudah usia sekolah, tetapi belum mampu sekolah.

Kita hitung, dapatnya Rp 9,69 juta murid, dari jenjang SD/Madrasah Ibtidaiyah 6,4 juta murid, SMP/Madrasah Tsanawityah 2,353 murid. Angka ini sudah diaudit BPKP dan programnya 90 persen berhasil.

Metodenya bagaimana?

Pihak sekolah bersama persatuan orang tua murid memilih murid yang tidak mampu orang tuanya. Kepala sekolah sampaikan ke bupati, bupati ke provinsi. Pusat memberikan plafon atas data yang dikumpul. Jadi ada kemungkinan anak miskin tercoret karena ada pembatasan alokasi dana. (Contoh mekanisme untuk program pendidikan dan kesehatan, lihat ilustrasi)

Titik rawan di mana? Apakah orang tua subyektif menentukan nama siswa yang bisa dibantu. Pernah kejadian orang mampu dapat beasiswa itu. Di tingkat sekolah, di bawah tingkat bupati, bisa juga di luar daftar itu. Di tingkat provinsi lagi, bisa juga ganti nama.

Jadi implementasinya dari pemerintah, daerah bekerja sama dengan orang tua murid, adalah titik yang akan kita anggap kelemahan atau kekuatan. Tergantung dari mana kita memandang. Kekuatan kalau melibatkan orang-orang yang dapat diandalkan, kalau bisa menentukan secara objektif.

Tetapi bisa jadi kelemahan kalau ada aroma kolusi. Karena jumlahnya relatif besar, Rp 25.000 per bulan untuk setiap anak SD, Rp 65.000 per bulan untuk SMP, dan Rp 120.000 untuk SMA.
Karena itu, kita meletakkan juga di dalam desain itu, sistem monitoring dan evaluasi.

Siapa monitoring?

Pemerintah daerah, provinsi sudah diminta untuk merekrut tim monitoring. Sesuai pengalaman sebelumnya, kerja sama dengan 30 universitas tahun 2003 cukup efektif. LSM, gubernur, bupati, DPR, DPRD, semua terbuka untuk pengawasan itu.

Tetapi dalam sektor pendidikan, dari sisi penyaluran, tidak mungkin bocor, karena dana langsung masuk ke rekening. Salah target mungkin. Jadi kalau dilihat titik lemah, pada penentuan sasaran dan seleksi, sampai mendapat 9,6 juta orang itu.

Ada juga kerawanan yang lain. Misalnya mencari siswa yang sudah putus sekolah. Siapa yang mampu mengambil orang yang sudah di luar. Tim Departemen Pendidikan punya data dan Departemen Agama, untuk identenfikasi di mana orang itu. Provinsi mengalokasi jumlah beasiswa, untuk berapa orang yang masuk daftar penerima. Di titik itu, kita dengan senang hati untuk dimonitoring. Termasuk BPKP sudah dialokasikan dana untuk mengaudit hal itu.

Tetapi saya secara pribadi melihat pendidikan kurang rawan penyelewengan. Persatuan orang tua pasti tidak tega. Yang akan muncul dalam berita, pasti ada anak miskin yang tidak masuk daftar penerima beasiswa, karena memang tidak mungkin seluruhnya dapat. Jadi di antara 9,6 juta, bukan semua populasi orang miskin, pasti ada masyarakat miskin di luar daftar.

Kesehatan bagaimana?

Ini agak lain. Konsepnya masyarakat miskin yang jumlahnya 36 juta, menurut data Suspenas, bisa mendapatkan pelayanan gratis, baik rawat jalan, baik di puskesmas atau rumah sakit atau rawat inap. Di puskesmas atau di rumah sakit.

Jumlah 36,14 juta jiwa masyarakat miskin kan data makro BPS. Mereka hanya tahu provinsi ini punya orang miskin sekian juta orang. Kabupaten bisa diestimasi sensus pakai pemodelan. Dia memetakan tetapi dia tidak tahu benar jumlahnya dan di mana orangnya.

Jadi paling sulit mengindentifikasi yang 36 juta. Kita hanya bisa nenetukan plafon (dananya), provinsi dapat berapa. Jadi setiap 36 juta dikalikan Rp 5.000 premi asuransi dikalikan 12 bulan.
Penduduk miskin ini yang kita dapatkan, kemudian dijumlahkan, kalau ada perbedaan menurut BPS dan lapangan, kan harus ada rekonsiliasi data. Jadi titik rawan kemungkinan rekonsiliasi itu.

Lainnya, kalau mau dapat pengobatan gratis, pasti jumlah orang yang mau mendapatkan kartu miskin jauh lebih besar dari plafon yang pemerintah tentukan. Kalau mengatakan dapat kartu mesti sogok, itu sangat mungkin terjadi. Jadi kita sangat berharap, gubernur dan bupati membuat mekanisme yang tepat. Mereka yang lebih tahu daerahnya.

Mekanisme kartu sekarang adalah, pembuatan dan distribusi dilakukan secara bertahap. Diperkirakan rakyat akan mendapat kartu pada akhir tahun 2005. Kartunya dikeluarkan Askes, Dinas Kesehatan yang dapat menjangkau desa terpencil.

Siapa yang pro aktif?

Departemen Kesehatan dan PT Askes, karena mereka yang dapat anggaran. Mereka kan selama ini menawarkan, jadi departemen kesehatan melalui jaringannya, termasuk Askes.

Bagaimana orang yang tidak punya identitas?

Tidak bisa di-cover. Sebetulnya pemerintah pusat akan sangat senang dengan inisiatif daerah yang memiliki APBD sehat, menggabungkan dengan program inisiatif mereka untuk menguatkan program ini. Itu yang akan kita coba lakukan dengan tim kerja.

Bagaimana tahun berikutnya?

Seperti beasiswa dan kesehatan. Sekali mereka masuk dalam daftar sembilan juta ini, berarti siswa miskin masuk dalam budget, dia diamankan sampai lulus. Ini mendisiplinkan budget kita juga untuk terus berkomitmen terhadap sektor pendidikan. Ini sejalan jumlah budget memang makin diarahkan ke situ. Jadi mengharapkan tingkat kesuksesan yang tinggi, akan terasa dua tahun lagi. Dua bulan masih akan ribut kartu miskin.

Jadi pengucuran dana akhir 2005?

Sekarang ini, ya budget APBN 2005 sudah ada dana Rp 7 triliun untuk kemiskinan, kesehatan. Tetapi ini tidak terserap sekarang. Jadi Menteri Keuangan bilang, saya mau pakai uang ini. Nanti kalau kenaikan subsidi disetujui angka yang Rp 10,5 triliun keluar juga. Jadi sekarang sampai dengan perubahan APBN pertengahan tahun, bisa talangi yang Rp 7 triliun itu.

Itu yang kita gunakan sekarang, apakah program dimulai sekarang, ya sekarang. Tapi kemungkinan ada anggaran yang tidak terserap sampai akhir tahun. (BOY/DIS)
sumber:

No comments: