Tuesday, June 14, 2005

Ctt: Dino Patti I

Senin, 13 Juni 2005

SBY dan "Soft Power"

Oleh Dino Patti Djalal

SBY punya mainan baru ya?" tanya seorang wartawan. "Mainan apa?" tanya saya heran. Ia menjawab setengah berkelakar, setengah serius , "Soft power!"

Dewasa ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang sering berpikir dan berbicara mengenai soft power, dan memang sudah waktunya.

Setelah perang di Afganistan dan Irak, dan berlangsung ketegangan strategis di berbagai penjuru dunia termasuk Semenanjung Korea, Presiden SBY memandang perlu mengingatkan masyarakat dunia tentang pentingnya elemen power yang lain, selain kekuatan militer dan diplomasi koersif (apa yang disebut hard power). Berbeda dari hard power yang mengandalkan kekuatan, konsep soft power mengandalkan pendekatan persuasif dengan menggunakan aset ekonomi, kemasyarakatan, budaya, humaniter, pendidikan, iptek, dan sebagainya.

Presiden SBY memilih tempat menarik untuk pertama kali menyampaikan pandangannya mengenai soft power, di Washington DC, ibu kota Amerika Serikat. Dalam pidato resmi di depan elite politik AS yang diorganisasi US-Indonesia Society (USINDO), Presiden SBY mengimbau AS agar lebih menekankan soft power ketimbang hard power dalam kiprahnya di kancah internasional.

Di depan anggota Kongres, pejabat tinggi, pengusaha, dan pakar AS, Presiden SBY menyatakan, meski AS adalah negara adidaya yang kekuatan militernya tidak tertandingi, AS perlu lebih memproyeksikan soft power ketimbang hard power: "The US has no shortage of soft power: in terms of culture, values, sports, entertainment, business, education, science and technology, living standard, media, the US has tremendous appeal to the international community." SBY mengingatkan, "Remember: the use of soft power charms and disarms. Hard power, on the other hand, if it is used incorrectly, provokes resistance and, sometimes, resentment."

Presiden SBY juga mengingatkan, governance tidak kalah penting dibanding demokrasi, dan toleransi-bahkan kadang lebih penting-dari freedom. Itulah bentuk-bentuk soft power yang perlu dikembangkan AS di masa depan.

Uniknya, pidato SBY itu mendapat apresiasi luar biasa dari elite politik AS. Seusai pidato, Presiden SBY mendapat standing ovation hadirin, termasuk Senator Kitt Bond yang langsung bangkit dari kursi, memberi selamat Presiden SBY yang baru turun panggung.

Terus menggema

Dalam konferensi internasional komunitas pertahanan (dikenal dengan "The Shangrila Dialogue") di Singapura 3-5 Juni lalu, PM Lee Hsien Loong juga menyerukan agar AS lebih menekankan soft power. PM Lee Hsien Loong menyatakan, AS perlu lebih menggunakan potensi soft power-nya dalam menarik opini internasional, memperbaiki mispersepsi, serta membangun kepercayaan dan kredibilitasnya, khususnya di kalangan dunia Islam. Keesokan harinya Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld dalam konferensi yang sama menyatakan sepenuhnya setuju, AS perlu mengedepankan soft power dalam pergaulan internasionalnya meski tetap bersikeras bahwa opsi militer tetap merupakan opsi terakhir. Diskusi setelahnya dengan Menteri Pertahanan Jepang dan Menteri Pertahanan Korea Selatan juga diselingi tema soft power.

Tampak, soft power akan menjadi tema yang kian disorot dalam wacana strategis internasional.

Indonesia dan "soft power"

Banyak kalangan menilai pesan Presiden Indonesia di Washington DC itu amat strategis dan fundamental, khususnya di tengah situasi dunia yang terus bergolak dan selalu dihantui politik kekerasan.

Namun, pesan yang terkandung dalam pidato SBY itu sebenarnya juga berlaku bagi diri kita, yakni Indonesia perlu terus mengembangkan potensi soft power di masa datang.

Dalam pemikiran Presiden SBY, stabilitas internasional akan lebih terjamin jika negara-negara dunia berlomba mengembangkan soft power ketimbang bersaing menumbuhkan hard power.

Saya pernah menanyakan, mengapa soft power penting dalam pergaulan internasional. Jawab Presiden, "Hard power menimbulkan aneka benturan, namun soft power menimbulkan jaringan-jaringan. Hard power dapat mengakibatkan persaingan negatif, namun soft power dapat menghasilkan sinergi positif."

Pengembangan soft power memang cocok bagi politik bebas aktif yang kita anut karena tampaknya di sinilah letak kekuatan diplomasi kita serta daya tarik Indonesia dalam pergaulan internasional.

Pengaruh dan reputasi Indonesia di masyarakat internasional lebih banyak ditentukan oleh prestasi, pesona, persuasi kita ketimbang karena faktor kekuatan militer.

Reputasi Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, misalnya, menempatkan kita sebagai negara panutan dalam pergaulan dunia. Status Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar memberi kita kredibilitas dalam menjembatani antara dunia Islam dan Barat. Keberhasilan kita membantu proses perdamaian untuk konflik Kamboja, Filipina Selatan, dan Laut Cina Selatan meningkatkan reputasi kita sebagai juru damai. Potensi pasar kita dengan jumlah penduduk 220 juta juga banyak diperhitungkan orang. Sementara politik bebas aktif kita mengukuhkan citra Indonesia sebagai negara independent-minded tidak terikat siapa pun.

Dan jangan lupa, ketangguhan dan ketabahan rakyat Indonesia yang jatuh bangun setelah krisis moneter, kerusuhan Timor Timur 1999, konflik etnis dan separatis, serangan teror, tsunami dan sebagainya banyak diperhatikan bahkan dikagumi masyarakat internasional.

Berbicara ihwal contoh soft power, saya teringat kunjungan Presiden SBY ke Australia beberapa waktu lalu. Presiden SBY datang tidak dengan membusungkan dada atau berteriak lantang, tetapi dengan apa yang dinamakan seorang wartawan Australia membawa charm offensive, menampilkan sosok yang simpatik, rendah hati, bersahabat, dan penuh ide.

Dalam berbagai kesempatan-gayanya yang rileks terhadap PM John Howard, kiprahnya menjemput jenazah perwira Australia yang gugur di Nias di bandara Sydney, kunjungan ke makam pahlawan, pidato di Parliament House-Presiden SBY dalam sekejap mengubah citra Indonesia di mata mainstream Australia, dan mengubah suasana dan substansi hubungan RI-Australia.

Akibat kunjungan itu, hubungan RI-Australia dapat dikatakan mencapai titik tertinggi, yang ditandai pencanangan Comprehensive Partnership antara kedua negara. Dan Presiden SBY konon dianggap sebagai salah satu negarawan asing terpopuler di Australia.

Saya teringat komentar Presiden saat saya tanyakan apa yang memberi nilai tambah bagi soft power suatu negara. Jawab Presiden, "Yang penting kita menjadi bangsa yang dihormati, bukan ditakuti, bangsa yang disegani, bukan dihindari; bangsa yang didengar suaranya karena kita menyuarakan sesuatu yang bernilai."

Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htm

No comments: