Wednesday, November 30, 2005

Covey dan SBY

Kamis, 01 Desember 2005

Presiden: Budaya Unggul Harus Jadi Identitas Kita

Covey Tekankan Suara Panggilan Jiwa

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginginkan tumbuhnya budaya unggul (culture of excellence) yang berlandaskan kesadaran akan kemampuan diri sendiri dapat menjadi identitas dan semangat kelembagaan negara. Budaya unggul tersebut diharapkan kelak menjadi budaya nasional.

Budaya unggul yang harus ditanamkan adalah kita harus bisa, berbuat yang terbaik, dan kalau orang lain bisa, mengapa kita tidak bisa. Demikian Presiden Yudhoyono dalam sambutan peluncuran buku terbaru Stephen R Covey, The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness, Rabu (30/11) di Jakarta.

Hadir dalam peluncuran dan seminar berjudul Achieving Greatness a Turbulent World in The 8th Habit itu Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia Jakob Oetama. Dalam acara ini Jakob memberikan buku The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness versi bahasa Indonesia kepada penulisnya, Stephen R Covey. Buku inilah yang kemudian oleh Covey diserahkan kepada Presiden Yudhoyono.

Dalam bukunya Covey mengajak orang mengatasi turbulensi kehidupan bukan hanya dengan berperilaku efektif, tetapi juga menjadi pribadi agung.

Apakah budaya unggul itu? Budaya unggul adalah semangat dan kultur kita untuk mencapai kemajuan dengan cara kita harus bisa, kita harus berbuat yang terbaik, kalau orang lain bisa, mengapa kita tidak bisa. Kalau Malaysia bisa, kenapa kita tidak. Kalau India bisa, mengapa kita tidak bisa. Kalau ekonomi China bisa maju, kenapa ekonomi kita tidak bisa maju, ujar Presiden.

Presiden menginginkan pada suatu saat budaya unggul yang diharapkannya terwujud itu bisa menjadi kultur nasional. Kita harus bisa melihat budaya unggul itu ada di universitas, sekolah, lembaga-lembaga pemerintah, partai politik, militer, polisi, provinsi, kabupaten, kota, dan lain-lain. Dengan budaya unggul kita bisa bergerak dari efektivitas menuju keagungan, ujarnya.

Menurut Presiden, dengan budaya unggul, para intelektual bisa lebih mengembangkan kemampuan diri, tak sekadar menjadi pemikir, tetapi juga mewujudkan gagasan-gagasannya.

Temukan jati diri

Indonesia beberapa tahun lalu pernah mengalami berbagai krisis dan bencana alam berturut-turut. Namun, Presiden Yudhoyono optimistis dan mengatakan, dengan pemerintahan yang dikelola secara baik, semua masalah yang muncul segera bisa diatasi.

Indonesia, kata Presiden, harus menemukan jati dirinya. Tidak hanya ingin sukses dan kaya. Dulu kekayaan muncul dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Bukan itu yang kita mau. Kita harus bebas dari KKN dengan dorongan cara-cara yang fair dan menggali potensi diri, ucap Presiden.

Lebih jauh, Presiden Yudhoyono mengatakan, beberapa negara yang dikunjunginya juga telah memiliki budaya unggul, seperti India, Korea Selatan (Korsel), dan Amerika Serikat. Presiden menyinggung kunjungannya ke Bangalore (India) dan Korsel. Industri dan teknologi informasi Korsel sudah berkembang pesat. Begitu juga Amerika Serikat sebagai pusat industri teknologi informasi terkemuka di dunia dan memiliki Microsoft, ujarnya.

Dalam sejarah Islam dan bangsa Eropa serta Asia sejak zaman renaisans, budaya unggul itu juga sebenarnya sudah ada. Budaya unggul bangsa-bangsa itu dapat menjadi semangat yang mendorong kemajuan bangsa. Budaya unggul ada sejak zaman Aristoteles yang terwujud dalam bentuk desain, seni, dan praktis demokratisasi, kata Presiden.

Sejarah Islam ribuan tahun lalu, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, budaya unggul sudah ada. Hal itu ditandai dalam perjalanan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah, katanya.

Presiden Yudhoyono juga menyebut kota Baghdad yang menunjukkan budaya unggul dalam peradaban Islam. Kota itu pernah menjadi pusat budaya Islam dan pusat pengetahuan umat Islam, katanya menambahkan.

Kebiasaan ke-8 yang ditulis Covey menekankan penemuan suara panggilan jiwa dan membantu serta mengilhami orang lain untuk menemukan suara jiwa mereka agar hidup dapat lebih bermakna. Kadang semangat dalam diri seakan padam dan perlu orang lain untuk menyalakannya lagi, ujar Covey.

Tak sekadar organisasi bisnis

Sementara itu, Jakob Oetama mengatakan, kebiasaan ke-8 yang ditulis Covey tidak sekadar menyangkut organisasi bisnis atau institusi. Lebih dari itu, ini menyangkut juga kultur dan komitmen. Tidak sekadar corporate social responsibility, tetapi juga suara kesadaran dengan elemen penting, yaitu spiritualitas, ujarnya.

Covey menjelaskan, intelegensia spiritual merupakan kemampuan terpenting dibandingkan dengan intelegensia lain, yaitu fisik, mental, dan emosional. Apa yang membedakan Hitler dengan Gandhi? Jelaslah perbedaan intelegensia spiritual yang membawa kesadaran dari dalam, kata kakek dari 42 cucu dan ayah dari sembilan anak itu.

Kebudayaan luhur bersumber dari prinsip-prinsip dasar yang selaras dengan hukum alam. Prinsip-prinsip demokrasi yang diterapkan pada kesejahteraan sosial, pemerintahan yang bersih dan menghindari korupsi, akan berakhir pada masyarakat yang mencapai kebudayaan luhur, kata Covey. (har/joe/tom)

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0512/01/utama/2254889.htm

No comments: