Wednesday, March 30, 2005

Data Kemiskinan

Rabu, 30 Maret 2005

Data Kemiskinan dan Kemiskinan Data

Oleh Harry Seldadyo

DENGAN menganggap bahwa kenaikan harga BBM saat ini adalah fakta yang given, adakah jaminan bahwa dana kompensasi akan tepat sasaran? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan kunci karena di sinilah letak pesimisme publik yang didasarkan pada sejarah dan pengalaman kegagalan poverty targeting policy. Klaim pemerintah dan lingkaran pendukungnya bahwa pencabutan subsidi BBM mampu menurunkan angka kemiskinan perlu diuji dengan pertanyaan itu.

Tulisan Pak Mubyarto di Kompas (21/3) bisa memberi gambaran kepada kita di mana letak kegagalan eksekusi berbagai kebijakan poverty targeting pada tingkat riil. Banyak faktor yang bisa dibicarakan di sini. Namun, di antara sejumlah faktor lain, misalnya, faktor institusional dan sosiologis, tulisan ini hanya akan menyoroti satu faktor teknis, yakni kemiskinan data.

Kita memang nyaris tak punya data andalan yang bisa dipakai sebagai instrumen bagi kebijakan subsidi terfokus semacam itu. Jadi, kemiskinan data sebetulnya sudah self-explained, apakah kebijakan kompensasi BBM yang ditelurkan akan sukses atau gagal.

Apa yang kita punya?

Hingga saat ini memang kita hanya mengandalkan dua sumber data ketika kemiskinan dibicarakan: data Susenas BPS dan data Keluarga (Pra-)Sejahtera BKKBN. Betapapun kedua data ini punya limitasi tinggi, kita tak punya pilihan lain kecuali menggunakannya. Paling sedikit, statistik ini bisa menjadi "tongkat pembimbing ke arah kegelapan"-meminjam istilah Prof AH Nasution dalam pidato pengukuhan guru besarnya di IPB dulu. Jadi, masih lebih baik punya informasi- biarpun itu salah-daripada tanpa informasi sama sekali. Ini tindakan minimal.

Sayangnya, data BPS dan BKKBN tidak bisa dipakai untuk poverty targeting yang bisa melacak siapa sesungguhnya yang berhak atas dana kompensasi itu. Data BPS secara inheren dirancang untuk melihat kecenderungan umum kemiskinan yang diukur melalui suatu garis kemiskinan. Jadi, orang miskin di sini menjadi "anonim". Data ini tidak berguna untuk pengambilan kebijakan yang kental mengandung tujuan targeting. Sementara itu, data BKKBN bermasalah dalam penetapan definisi kemiskinan. Kendati data ini memiliki disagregasi yang lebih baik daripada data BPS, indikator dan metodologi yang dipakainya debatable. Akibatnya, dispute sering kali terjadi di lapangan ketika data ini dipakai untuk memisahkan kelompok miskin dan tak miskin dari target kebijakan.

Di atas itu semua, kedua sumber data ini juga memiliki limitasi kembar: mereka tak mampu menangkap karakter kemiskinan itu sendiri. Jadi, kedua data ini tidak tepat dipakai untuk menanggulangi problem kemiskinan jangka panjang. Padahal, isu kemiskinan adalah isu jangka panjang. Sejarah menunjukkan tidak ada proses instant dalam penanggulangan kemiskinan.

Data kemiskinan BPS hanyalah peta umum kemiskinan, sedangkan data BKKBN barulah kompas untuk menelusuri peta itu. Berhasilkah kita menemukan orang miskin melalui program-program targeting itu dengan alat-alat itu? Untuk program "dadakan" ala JPS kemarin, data itu mau tak mau memang menjadi peta dan kompas kita. Namun, untuk menyelesaikan kemiskinan jangka panjang, sayang sekali, tidak. Peta dan kompas barulah necessary condition-nya. Masih diperlukan sufficient condition-nya: bertanya pada si miskin. Melalui syarat terakhir ini kita akan berurusan dengan indikator lokal-indikator yang dibangun oleh dan untuk kepentingan orang miskin di tingkat mikro.

Makro vs mikro

Dua isu penting bisa kita catat dalam relasi data dan kebijakan. Pertama, data tidak melulu dipakai untuk keperluan analisis. Sebaliknya, juga tak elok membuat kebijakan tanpa data. Melalui data, kita bisa melakukan mainstreaming isu kemiskinan dalam lingkaran kebijakan.

Kedua, pertautan antara analisis dan kebijakan targeting haruslah di tingkat lokal dan mikro. Patut dicatat, karakter kemiskinan dahulu jauh berbeda dibandingkan dengan sekarang. Pada zaman Pelita I, kalau kita mendistribusikan beras murah secara "random" kepada 10 orang, kita tak perlu khawatir "salah sasaran" karena tujuh di antaranya adalah orang miskin. Jadi, probabilitas "tepat-sasaran"-nya cukup tinggi walaupun waktu itu kita miskin data.

Sekarang ini situasinya terbalik. Tanpa data andal di tangan, distribusi beras yang anonim hanya akan memakmurkan tujuh orang yang bukan miskin karena probabilitas untuk menemukan si miskin makin rendah. Artinya, tanpa disagregasi yang andal, kita tak bisa mengenal orang miskin.

Bergerak dengan dua isu di atas, kita bisa mencatat hal penting yang harus ada di jantung setiap analis dan pengambil kebijakan: rasa lapar, kurang gizi, dan tak mampu menyekolahkan adalah persoalan hidup nyata bagi si miskin; bukan soal angka tanpa jiwa. Data mengenai orang miskin harus menjadi identitas si miskin itu sendiri, bukan data yang "anonim". Dengan catatan ini, kita membutuhkan informasi sangat terperinci supaya program antikemiskinan betul-betul efektif.

Duduk soalnya kemudian ialah pada level mana data, analisis, dan kebijakan harus dilakukan? Jawabannya adalah micro level. Di sini jelas peran pemerintah daerah (pemda) menjadi krusial karena pemda yang (seharusnya) mengenal karakter warga, tipologi okupasi, geografi- kultural, dan sebagainya. Ini asumsi penting yang harus diletakkan dulu; karena jika tidak, bukan pemda lagi namanya-itu nature "orang pusat", cuma tahu hutan, tapi tak kenal pohon.

Micro level berimplikasi pada upaya mendekatkan jarak antara jantung persoalan dan jantung pengambilan kebijakan. Sering sekali terjadi, jarak antara kedua jantung ini terlalu jauh dan butuh waktu tempuh panjang hingga keduanya berinteraksi. Akibatnya, kebijakan memiliki potensi bias yang besar, selain juga kehilangan timing-nya.

Micro level juga berarti data, interpretasi, dan penetapan kebijakan digagas oleh mereka yang berada di level lokal, yakni si miskin itu sendiri dan pemegang otoritas kebijakan. Tugas si miskin adalah menceritakan persoalan kemiskinannya. Tugas si analis adalah merekamnya menjadi data yang sistematis dan andal. Tugas penentu kebijakan adalah menggunakan kewenangannya untuk menyelesaikan persoalan. Ketiganya mendialogkan cara- cara penyelesaian, menjalankan, serta memantau hasilnya dengan indikator yang ditetapkan bersama.

Ruang ini sangat terbatas untuk mendiskusikan lebih teknis bentuk sistem data yang bisa dirancang untuk menampung gagasan di atas. Namun, inti dari semua itu adalah kebutuhan data bagi kebijakan poverty targeting hanya bisa dipenuhi oleh, dari, dan untuk tingkat lokal. Saatnya kita bergerak dari pesimisme makro ke optimisme mikro karena persoalan kemiskinan dewasa ini bukanlah soal di level makro, tetapi mikro.

Harry Seldadyo Mahasiswa PhD Program Ekonomi-Politik di Rijkuniversiteit Groningen, Belanda

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0503/30/opini/1653469.htm

2 comments:

Anonymous said...

Good article!

Anonymous said...

Menarik banget