Wednesday, March 30, 2005

Dana Kompensasi ?

Rabu, 30 Maret 2005

Perlukah Dana Kompensasi BBM?

Oleh Dendi Ramdani

PERDEBATAN seputar isu kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM antara Mohamad Ikhsan (Kompas, 16/3) dan M Chatib Basri (Kompas, 18/3) dengan Iman Sugema (Kompas, 17/3) dan Rina Oktaviani (Kompas, 18/3) salah satunya mengarah kepada keraguan dan menekankan agar dana kompensasi BBM bisa sampai ke kaum miskin, selain memperdebatkan dampaknya terhadap besar angka inflasi dan pertambahan angka kemiskinan.

Prof Mubyarto (Kompas, 21/3) secara lebih tegas sangat meragukan dana kompensasi BBM bisa sampai ke kaum miskin dengan mengutip angka dari laporan BPS dan pengalaman penanggulangan kemiskinan yang pernah ada. Jadi, beliau terkesan marah dengan mengatakan, "Pemerintah sekarang tidaklah perlu mengembangkan program-program penanggulangan kemiskinan yang ’dititipkan’ dalam penggunaan dana kompensasi." Namun, sayang, di akhir tulisan beliau tidak secara eksplisit menawarkan bagaimana mengatasi kemiskinan yang ada di Indonesia. Tulisan ini tidak hendak mempermasalahkan perlu tidaknya harga BBM naik atau tidak, tetapi akan lebih membahas seputar program dana kompensasi BBM.

Permasalahan subsidi terarah (targeted subsidy) kepada kaum miskin memang menghadapi banyak kendala dalam pelaksanaannya, yaitu mendefinisikan siapa yang miskin, selanjutnya indikator apa yang dapat digunakan untuk menentukan kaum miskin ini, dan bagaimana mekanisme penyaluran bantuan ke kaum miskin yang sudah ditentukan. Kendala bertambah karena kemampuan aparat birokrasi, sebagai pihak yang paling berperan, karena perilaku korupnya. Namun, subsidi terarah masih terbuka peluang untuk lebih baik lagi di tengah kondisi yang mengkhawatirkan ini. Akumulasi pengalaman program program kemiskinan sejak tahun 1998 hingga sekarang telah memberikan proses pembelajaran bagaimana menjalankan program subsidi terarah agar lebih efektif.

MENDEFINISIKAN siapa yang miskin adalah pekerjaan yang tidak mudah. Angka kemiskinan BPS yang diterbitkan setiap tahun sebetulnya adalah angka perkiraan berdasarkan data Susenas. BPS tidak mendata siapa dan di mana orang miskin karena data Susenas adalah sampel yang digunakan untuk estimasi. Jadi, dipakailah data BKKBN yang mendata keluarga dan mengelompokkannya menjadi Keluarga Pra Sejahtera Alasan Ekonomi dan Keluarga Sejahtera I Alasan Ekonomi sebagai keluarga miskin yang berhak mendapat subsidi kesehatan, pangan, dan pendidikan dari pemerintah.

Data ini merupakan data terbaik tentang kemiskinan di Indonesia, karena data merupakan hasil sensus yang dilakukan setiap tahun sekali. Bahkan pada zaman Presiden Soeharto, pembaruan data dilakukan setiap tiga bulan sekali. Dengan demikian, data ini mencatat siapa keluarga miskin dan alamatnya di mana.

Indikator yang digunakan digambarkan sebagian saja oleh Prof Mubyarto sehingga bisa memberi tafsiran yang sepotong. Indikator yang digunakan dalam data BKKBN sebetulnya ada lima, yaitu beribadah secara rutin, makan minimal dua kali sehari, memiliki pakaian berbeda untuk setiap kegiatan, jika ada anggota keluarga sakit diberi pengobatan modern, dan bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.

Walaupun data ini tadinya untuk keperluan program KB, bisa juga digunakan untuk menentukan keluarga miskin. Jadi, kemiskinan dalam data BKKBN didefinisikan berdasarkan indikator-indikator tersebut. Indikator ini memang masih bisa diperdebatkan dan masih mungkin diperbaiki lagi agar lebih tepat dalam menentukan siapa yang miskin.

Permasalahan tidak berhenti di sini. Masalah lain adalah kualitas data BKKBN. Ada satu fenomena menarik, yaitu inkonsistensi antara data kemiskinan yang ada pada BKKBN dan data kemiskinan pada BPS. Data BKKBN memiliki kecenderungan meningkat, sedangkan data BPS memiliki kecenderungan menurun. Data kemiskinan BKKBN tahun 1998 sebesar 17,17 persen dari total keluarga. Angka ini meningkat menjadi 27,99 persen (1999), 30,78 persen (2000), 30,52 persen (2001), dan mencapai 31 persen pada tahun 2002 yang merupakan data terakhir. Adapun data BPS menurun dari 24,2 persen tahun 1998, 23,5 persen (1999), 19,4 persen (2000), dan terus menurun hingga mencapai 17,92 persen tahun 2003.

Perbedaan kedua data ini tentu menimbulkan pertanyaan apa sebab perbedaan kedua data tersebut: apakah karena indikator yang berbeda, apakah ada proses pengambilan data/estimasi yang keliru, atau ada penyebab lain. Data BPS yang merupakan estimasi terlihat logis jika melihat bahwa perekonomian memang tumbuh walaupun masih rendah, selanjutnya ada penciptaan lapangan kerja baru dan inflasi bisa ditekan di bawah dua digit. Namun, jika kita mengasumsikan data BKKBN benar, berarti ada sesuatu yang keliru dengan perekonomian kita. Artinya, walaupun perekonomian tumbuh, tetapi keadaan ekonomi masyarakat tidak mengalami perbaikan, malah terus mengalami penurunan. Menilai kevalidan angka kemiskinan di sini perlu sangat hati-hati sekali.

HAL lain dari karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah sangat sensitif terhadap garis kemiskinan. Jika angka kemiskinan digeser sedikit, penduduk miskin akan berubah dalam jumlah besar. Data Bank Dunia yang disajikan dalam CGI Brief tahun 2003 menunjukkan bahwa pada tahun 2002 sebesar 7,4 persen penduduk berpendapatan sehari di bawah 1 dolar AS. Jika garis kemiskinan digeser ke atas menjadi 2 dolar AS per hari, jumlah penduduk miskin akan menjadi sebesar 53,4 persen. Di sini terlihat bahwa jika garis kemiskinan dilipatgandakan, angka kemiskinan bertambah tujuh kali lipat.

Oleh karena itu, jika harga BBM dinaikkan, perlu penyaluran dana kompensasi secara efektif. Satu permasalahan yang penulis amati adalah keterlibatan yang sangat rendah dari pihak pemerintah daerah tingkat dua. Program-program pengentasan kemiskinan dari pusat, seperti program dana kompensasi BBM, hanya dianggap sebagai program pusat. Oleh karena itu, perlu dicari cara agar program ini terintegrasi dengan program-program ekonomi dan pembangunan di daerah. Apalagi otonomi daerah mengamanatkan revitalisasi pemerintah daerah.

Dalam hal ini, untuk penyaluran dana kompensasi sebaiknya berdasarkan proposal dari setiap pemerintah daerah yang pendanaannya dari pusat. Proposal ini harus disertai target yang jelas berapa angka kemiskinan diturunkan jika mendapat sejumlah dana kompensasi. Pemerintah pusat pun harus berani memberikan target berapa angka kemiskinan turun dengan sejumlah dana kompensasi yang dibelanjakan. Dengan cara ini, kinerja pemerintah bisa dievaluasi oleh masyarakat maupun oleh DPR.

Dendi Ramdani Peneliti Laboratorium Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

* Tulisan ini merupakan Pendapat Pribadi, Tidak Mencerminkan Pendapat Lembaga Tempat Penulis Berafiliasi.


http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0503/30/opini/1652204.htm

1 comment:

parthenafaenza said...

Harrah's Reno Casino & Hotel - KSR
Harrah's 부천 출장안마 Reno Casino & Hotel - Harrah's Reno 남원 출장샵 is one of the newest casinos 익산 출장안마 in the world. As a hotel, 시흥 출장마사지 it is the perfect place for those who never settle for 부천 출장안마 less