Sunday, October 10, 2004

Anda punya kontribusi pada perbudakan ?

Senin, 11 Oktober 2004

Casingkem dan Istiqomah, Perdagangan Manusia

Maruli Tobing, Kompas

ISTIQOMAH dan Casingkem akhirnya tiba di Jakarta, Kamis pekan lalu. Penyambutannya mirip tamu negara. Begitu pesawat terbang yang ditumpangi dua tenaga kerja wanita ini mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, pejabat dari berbagai instansi menyongsongnya. Sementara wartawan yang berjubel dengan kilauan lampu kamera terus membuntutinya.

Istiqomah dan Casingkem memang bernasib mujur. Umumnya, tenaga kerja wanita (TKW) yang tiba di Bandara Soekarno-Hatta disambut para calo dan kriminal. Para bajingan ini menguras uang mereka, tanpa peduli hasil jerih payah selama bertahun-tahun di negeri orang. Tidak sedikit kasus TKW diperkosa atau dibuang dari kendaraan dalam perjalanan ke kampung.

Akan tetapi, bagi Istiqomah dan Casingkem, hari itu benar- benar istimewa. Deretan mobil, pejabat, dan aparat keamanan mengawalnya. Keduanya langsung dibawa menuju Istana Negara. Di sana sudah menunggu Presiden Megawati Soekarnoputri, yang ingin mendengar langsung apa yang dialami keduanya di Irak.

Istiqomah dan Casingkem sempat menjadi berita dunia. Keduanya bersama delapan warga Lebanon dan Jordania diculik sekelompok orang bersenjata di Irak. Nasib mereka di ujung maut selama sepekan disekap. Namun, mereka akhirnya dibebaskan penyandera setelah melihat televisi Al-Jazeera menayangkan imbauan Presiden Megawati.

Keduanya memang tidak menyebut rasa iba penculik setelah mengetahui identitas mereka. Tetapi, bagi banyak warga Timur Tengah, siksa dan derita yang dialami sesama Muslim ini selama bekerja di negara Arab telah lama menjadi keprihatinan. Sebab, banyak di antara mereka diperlakukan mirip budak.

Tetapi siapakah sesungguhnya Casingkem dan Istiqomah?

CASINGKEM dan Istiqomah hanyalah dua nama dari ratusan ribu tenaga kerja Indonesia yang saat ini berada di Timur Tengah, Malaysia, Singapura, Hongkong, Australia, Jepang, Yunani, Amerika Serikat (AS), dan banyak negara lain di Eropa. Nama Casingkem dan Istiqomah sendiri sebenarnya tidak ada dalam daftar imigrasi Indonesia maupun laporan di Depnakertrans dalam hal tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri.

Lantas ketika keduanya disandera di Irak, sempat simpang siur nama dan identitasnya. Istiqomah dan Casingkem memang menggunakan paspor orang lain sehingga ketika dihubungi keluarga yang nama dan alamat tertera dalam formulir permohonan paspor, mereka tidak mengenal wajah yang dimuat di berbagai surat kabar.

Ironisnya, perusahaan pengerah tenaga kerja yang mengirim kedua wanita ini tidak segera bereaksi, memberi tahu siapa sesungguhnya kedua wanita yang disandera. Maka yang terjadi adalah spekulasi, polemik, dan saling menyalahkan di berbagai media massa.

Casingkem dan Istiqomah menyebut tujuan mereka sebenarnya mencari kerja di Singapura atau Malaysia. Dan itulah yang tercatat dalam formulir pengisian formulir keberangkatan. Namun, perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia ternyata mengirimnya ke Jordania. Dari sini agen tenaga kerja "menjualnya" ke Irak. Padahal, Pemerintah RI telah memutuskan menghentikan pengiriman tenaga kerja ke daerah gawat itu.

Istiqomah dan Casingkem hanyalah dua dari sekian banyak tenaga kerja yang dikirim ke negara yang bukan mereka inginkan. Masih beruntung kedua wanita ini dapat segera kembali ke kampungnya. Ribuan TKW Indonesia terperangkap dan harus banting tulang selama 2-3 tahun agar dapat kembali ke kampungnya.

Sebagian dari mereka ada yang mengalami penyiksaan, kerja rodi, tewas, bahkan dijadikan pelacur. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena paspor dipegang majikan. Upaya melarikan diri akan mirip masuk kandang macan setelah lepas dari kandang buaya. Aparat keamanan setempat bukan mustahil menangkap mereka.

Banyak tenaga kerja baru sadar tertipu setelah tiba di negeri seberang. Tadinya mereka diiming-imingi gaji tinggi, jam kerja sesuai UU perburuhan setempat, dan tiap tahun dapat pulang kampung. Sebagian lagi ada yang dijanjikan sebagai perawat, karyawan perusahaan swasta, dan lain sebagainya.

Namun, setelah tiba di negara tujuan, ternyata bukan negara yang tadinya dijanjikan. Mereka dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, pelacur, bahkan kerja paksa di lahan pertanian, seperti di Malaysia. Pemerintah AS malah sempat menangkap pelaku perbudakan terhadap tenaga kerja Indonesia beberapa tahun lalu.

Celakanya, sebagai pembantu rumah tangga, gaji enam bulan pertama selalu tidak dibayar. Bahkan ada pula yang tidak dibayar selama bekerja bertahun-tahun. Alasan majikan, uang tersebut dikirim kepada perusahaan pengerah tenaga kerja untuk melunasi tiket pesawat dan biaya lainnya bagi keberangkatan tenaga kerja wanita tersebut.

PERISTIWA demikian bukan hal luar biasa lagi di Indonesia karena terlalu kerap terjadi dan sudah berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Pemerintah sendiri hanya bereaksi sekejap jika ada kasus yang dihebohkan di berbagai media massa. Setelah itu irama yang sama kembali berdendang, yakni penipuan dan pemerasan tenaga kerja. Sementara pelakunya tidak satu pun diseret ke meja hijau dan diganjar hukuman maksimum di penjara.

Padahal, sejauh batasan Protokol Palermo yang diikuti Indonesia menjelaskan fakta demikian, maka apa yang dialami para tenaga kerja itu sangat jelas dan nyata, yakni perdagangan manusia atau perbudakan modern.

Dalam Pasal 3 protokol itu disebutkan, perdagangan manusia adalah menerima pembayaran atas penguasaan orang lain dengan maksud mengeksploitasinya. Batasan ini mencakup transportasi, memindahkan, menampung, atau menerimanya, yang dilakukan dengan cara mengancam, atau menggunakan kekerasan atau bentuk paksaan lain, penculikan, penipuan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau memanfaatkan kelemahan orang tersebut.

Perdagangan manusia dimasukkan dalam kategori kejahatan terorganisasi. Lingkupnya domestik dan transnasional, yang melibatkan organisasi kejahatan di dalam maupun luar negeri. Sebagai bentuk kejahatan terorganisasi, dengan sendirinya mata rantainya mencakup pejabat korup. Termasuk di instansi tenaga kerja, imigrasi, dan keamanan.

Tidak heran, dalam banyak kasus domestik, justru korban perdagangan manusia ini yang meringkuk di penjara saat aparat keamanan melakukan razia pelacuran, misalnya. Sementara wanita yang menjadi korban enggan melaporkan kejadian yang mereka alami. Selain takut ancaman majikan, juga khawatir aparat keamanan malah sekongkol dengan majikan.

Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut perkembangan bisnis manusia meningkat dari tahun ke tahun karena keuntungannya yang luar biasa, bahkan hanya sedikit lebih rendah di bawah perdagangan senjata dan narkoba. Pemerintah AS memperkirakan 800.000 manusia korban perdagangan ini di dunia setiap tahunnya.

Faktor lain yang mendorong menjamurnya bisnis manusia ini adalah akibat lemahnya penegakan hukum. Di banyak negara-termasuk Indonesia-belum ada undang-undang yang secara khusus melarang bentuk perdagangan manusia. Di sisi lain, pemerintah malah ikut mendorong maraknya bisnis demikian melalui kemudahan perizinan, lemahnya pengawasan, dan korupsi di semua sektor.

"Pelaku perdagangan manusia harus dijatuhi hukuman maksimal. Perbuatan mereka mengomoditaskan manusia merupakan ancaman terbesar terhadap martabat manusia,’’ ujar Jaksa Agung AS John Ashcroft, Februari tahun lalu. Ia menyatakan pelakunya pantas diganjar hukuman maksimal.

Ironisnya, kata Ashcroft, di AS sendiri puluhan ribu wanita dan anak-anak diperdagangkan setiap tahun. Padahal, seorang saja pun sudah terlalu banyak. Nurani dan nilai-nilai yang kita anut menentang perbuatan meraup dollar dari kesengsaraan dan penderitaan manusia. AS menyatakan perang melawan bisnis jahanam ini.

Akan tetapi, Indonesia bukan AS. Maka di sini tidak dikenal hukuman maksimal itu. Bahkan ditangkap pun tidak. Malah sebaliknya, perusahaan pengerah tenaga kerja melaporkan ke polisi agar menangkap kembali setiap tenaga kerja yang melarikan diri. Padahal, mereka kabur karena tidak tahan berbulan-bulan di tempat penampungan yang mirip kandang sapi. *


sumber :
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0410/11/utama/1316753.htm

No comments: