Tuesday, November 02, 2004

Antara gotong royong dan Man-hours

Era yang serba terkwantisasi

Dulu orang membangun rumah, cukup memanggil tetangga, lalu secara rukun saling bergotong royong ikut membangunnya. Selamatan dan sedekah diadakan sebagai tanda terimakasih kepada yang membantu membangun rumah. Di daerah, masih banyak acara hajatan seperti pesta perkawinan dihadiri oleh keluarga, handai taulan maupun kenalan. Ada kenalan yang menyumbang ayam [hidup] 5 ekor. Eh, ketika pulang membantu hajatan, dia malah kembali sambil dibekali ayam [hidup] 8 ekor. Nilai tukar berbaur dengan nilai kekerabatan yang kental.

Orde baru membawa kita ke era yang serba terkwantisasi. Mau lewat perempatan pun, sekarang ada ongkosnya. Mau memakamkan jenasah, sudah banyak orang yang mulai mengupah sekelompok orang. Man-hours. Jika kita menggunakan jasa seseorang mulai dihargai dengan hitungan per jam, per hari dst. Yang dikonversi ke nilai rupiah.

Mana yang perlu dihargai pada jaman seperti saat ini ? Ada yang bilang, tergantung profesinya. Nah, kalau berdiri di perempatan lalu menganggap itu adalah profesinya, apakah dia salah ? Kalau menyampaikan permohonan perijinan ke atasan untuk disahkan, dianggap sebagai profesi, apakah sudah selayaknya perlu dihargai dengan Man Hours. Lalu gaji yang diperolehnya untuk apa ? Apakah cukup dan di atas garis kemiskinan ? Ada permintaan ada penawaran. Jika yang minta ijin banyak dan melimpah, semacam pergantian STNK dan SIM, apakah itu perlu mengikuti hukum pasar ?


Kepentingan pribadi dan layanan publik

Upaya di republik ini sedang berubah. Perlu ditata lagi, mana yang merupakan layanan publik, mana yang wilayah pribadi. Jangan sering dicampur aduk. Mana yang bisa dihargai dengan Man Hours, mana yang cukup dengan salary bulanan, atau mana yang memang sudah kewajibannya.

Kita juga perlu memperhatikan, belum semua budaya di pelosok tanah air yang menerapkan budaya Man Hours. Masih banyak anak muda yang secara sukarela berkesenian, tanpa harus dibayar. Tapi di daerah lain, ada juga anak muda yang mengandalkan hidupnya dari berkesenian.

Kita juga perlu memperhatikan, masih banyak orang yang menolong orang lain yang akan tenggelam di laut, kalau perlu dia nggak jadi mencari ikan. Yang penting orang yang tenggelam itu selamat. Tapi di pojok lain negeri ini, sudah mulai ada yang suka membiarkan “kompetitor”nya tenggelam.


sumber: http://www.mediaindo.co.id/100hari/default.asp?tanggal=11/2/2004&page=1



No comments: