Tuesday, November 02, 2004

Investasi dalam kompleksitas Indonesia

Membenahi Indonesia, semua orang tahu : membutuhkan kearifan dalam menghadapi kompleksitas berbangsa dan bernegara.

Saat ini, agaknya solusi ekonomi masih menjadi primadona, melanjutkan prioritas sejak jaman pembangunan dari era orba kemaren.

Jika kita menggunakan paradigma Alvin Tofler, ada tiga gelombang perkembangan budaya manusia, maka rakyat Indonesia tersebar, hidup di ketiga gelombang tersebut. Apakah peningkatan upaya di bidang ekonomi sebagai solusi tunggal akan menjadi jawaban untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia ? Sementara itu perkembangan datangnya teknologi ke Indonesia, apakah bisa dianggap sebagai pendukung penerapan solusi ekonomi tersebut ?

Gap gotong-royong vs Man-hours, gap mengetahui vs memahami

Di Indonesia terdapat gap antara budaya gotong royong [kekerabatan] dengan budaya Man-hours [penerapan upah per jam atau per hari], serta adanya gap kompetensi antara mengetahui [to know] dan memahami [to comprehensive].

Gap itu terlihat nyata dipaksakan untuk dihapus melalui solusi ekonomi oleh pemerintah di era orde baru. Mungkin maksudnya baik. Tapi tidak semua rakyat siap. Banyak kejutan kebudayaan yang terjadi di sana-sini, yang di antaranya menganggap korupsi adalah perilaku wajar, menganggap kroni adalah kepanjangan dari kekerabatan. Salah kaprah.

Dibutuhkan pakar yang mau mengkaji masalah sosial-budaya untuk ikut berkontribusi, bukan sekedar menyediakan paket-paket wisata belaka, demi menjaring devisa. Namun perlu dikaji, setidaknya dari segi budaya, seberapa jauh kesiapan rakyat di suatu daerah, jika solusi ekonomi dan teknologi diberlakukan. Jangan sampai hanya segelintir oknum yang tiba-tiba menjadi kaya-raya, sementara mayoritas anggota masyarakat lainnya terbelenggu oleh kartu kredit.

Membedakan kepentingan publik dan kepentingan pribadi

Mengubah reward dalam konteks gotong-royong tidak bisa serta merta dipaksakan menjadi budaya rewards dalam konteks Man-hours. Jika salah kelola, akan muncul banyak pak Ogah di seluruh pelosok tanah air. Sebaiknya dilakukan secara komprehensif antara solusi ekonomi dengan solusi lain, seperti solusi politik [Daoed Jusuf], solusi budaya, solusi hukum dan solusi pendidikan.

Perlu disosialisasikan di sekolah-sekolah, di kantor-kantor pemerintah pusat maupun daerah, di lingkungan dunia usaha, untuk mempertegas perbedaan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik. Sepele, tapi bisa potensial menjadi masalah nantinya. Tidak semua hal di Indonesia hanya bisa dilihat dari kacamata pasar, investasi uang, dan berlakunya hukum permintaan dan penawaran. Meminjam istilah Aa Gymn, perlu juga dilakukan investasi moral, investasi budaya, investasi kompetensi untuk berusaha, investasi perilaku mencari nafkah dengan santun, investasi kesadaran bela negara, investasi kesadaran untuk berbangga pada penggunaan produk dalam negeri, serta investasi dalam berbagai aspek lainnya.

Perlu dikaji lagi sistem reward-penalty yang tepat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, maupun saat nanti, dengan merujuk kasus-kasus masa lalu. Perlu dikaji lagi, bagaimana hukum persaingan usaha yang wajar, dan sesuai dengan norma-norma masyarakat kita, yang taat beragama. Yah, semua memang mempunyai kompleksitas yang tinggi. Tapi itulah Indonesia.

Sumber: http://www.mediaindo.co.id/100hari/default.asp?tanggal=11%2F2%2F2004

No comments: