Monday, November 01, 2004

Bank Dunia: Penduduk Miskin Indonesia 16 Juta

Senin, 01 November 2004
Jakarta, Kompas - Sekitar 16,09 juta jiwa atau 7,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia dilaporkan masih hidup dengan daya beli kurang dari 1 dollar Amerika Serikat per hari atau berada di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia saat ini. Masalah kemiskinan tersebut merupakan masalah utama perekonomian Indonesia yang harus dihadapi. Keadaan itu diperparah oleh tingkat pengangguran pada angkatan kerja muda yang semakin meningkat.
Hal tersebut terungkap dalam Laporan Pembangunan Dunia 2005 yang merupakan hasil survei yang dilakukan oleh International Finance Corporation (IFC) terhadap 30.000 perusahaan di 53 negara di dunia, dan 700 perusahaan di antaranya berada di Indonesia.

Dalam laporan yang disampaikan di Jakarta, Jumat (29/10), disebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia hingga tahun 2003 tercatat sebanyak 214,5 juta jiwa, dan sebanyak 52,4 persen di antaranya atau sekitar 112,398 jiwa merupakan penduduk yang hanya memiliki daya beli di bawah 2,15 dollar AS per hari.

Sementara itu, secara global, menurut Presiden Bank Dunia James D Wolfensohn, separuh dari jumlah penduduk dunia saat ini hidup dengan daya beli di bawah 2 dollar AS per hari. Pada saat yang sama, sekitar 1,1 miliar jiwa lainnya berada pada kondisi yang lebih parah karena hanya memiliki daya beli di bawah 1 dollar per hari.

"Sementara pada saat yang sama, angkatan muda di hampir seluruh wilayah di dunia tengah menghadapi masalah pengangguran yang meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tingkat rata-rata pengangguran di tahun sebelumnya. Padahal, jumlah penduduk dunia akan bertambah sekitar dua miliar jiwa dalam 30 tahun mendatang, terutama di negara-negara berkembang," kata Wolfensohn.

Menurut Wolfensohn, di tengah kondisi muram kependudukan dunia, muncul kabar gembira, yakni mulai muncul sikap dari banyak pemerintahan di dunia yang menyadari kesalahan kebijakan dan sikap mereka terhadap upaya perbaikan iklim investasi. Beberapa pemerintah yang menyadari hal itu dan mulai mengubah strategi perbaikan iklim investasi mereka antara lain adalah China dan India.

"Sementara pada pemerintahan di beberapa negara lain memang telah mengagendakan perubahan kebijakan, namun implementasinya masih sangat lambat dan tidak seimbang. Mereka pada umumnya masih membebani para pengusaha dengan biaya yang tidak perlu, menciptakan ketidakpastian, dan menimbulkan risiko, serta tetap melakukan hambatan untuk berkompetisi," kata Wolfensohn.

Masih lemah
Sementara itu, Ekonom Bank Dunia Yoichiro Ishihara mengatakan, laporan survei IFC tersebut menunjukkan bahwa iklim investasi di Indonesia tetap lemah. Lemahnya iklim investasi tersebut telah menjadi penyebab utama rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional.

"Tingkat pengangguran Indonesia justru meningkat dari 9,1 persen di tahun 2002 menjadi 9,5 persen di tahun 2003. Itu terjadi pada saat pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 4,3 persen di tahun 2003. Itu menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3 persen tidak cukup menekan tingkat pengangguran," kata Ishihara.

Saat ini pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia lebih digerakkan oleh konsumsi swasta dan pemerintah. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai tingkatan yang mampu mengurangi tingkat pengangguran dalam jumlah besar, maka pertumbuhan ekonomi harus lebih digerakkan oleh investasi dan ekspor ketimbang konsumsi tadi.

"Itu harus menjadi fokus pemerintah baru karena rasio investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) antara tahun 1996 hingga 2003 terus menurun dari 29,6 persen menjadi 19,7 persen. Hal itu merupakan rasio terendah dalam 30 tahun terakhir. Investasi swasta merupakan penyebab utama terjadinya penurunan investasi nasional, antara 1996 hingga 2002, investasi swasta menurun dari 20,5 persen menjadi 13 persen saja," kata Ishihara.

Sinyal positif terhadap perbaikan iklim investasi di Indonesia, menurut Ishihara, mulai muncul di paruh pertama tahun 2004 yang terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi yang mencapai delapan persen. Kondisi itu juga diiringi meningkatnya angka investasi dan bertambahnya modal asing ke dalam negeri hingga mencapai 33 persen antara Januari hingga Agustus 2004.

"Kondisi itu diharapkan akan makin menguat dengan dicanangkannya perbaikan iklim investasi sebagai salah satu prioritas tertinggi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terutama dengan adanya fokus terhadap agenda jangka pendek dan menengah pada peningkatan produktifitas dan daya saing produk dalam negeri," kata Ishihara. (OIN)

sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0411/01/ekonomi/1357576.htm

No comments: