Sunday, December 19, 2004

Disintermediasi Perbankan

Kompas, Senin, 20 Desember 2004

Stiglitz dan Disintermediasi Perbankan

SANGAT jarang negara kita menyelenggarakan seminar bertaraf internasional dengan pembicara yang berkaliber pengguncang jagat, yang mampu menggoyah tatanan sekuat Dana Moneter Internasional. Pergelaran inilah yang ditampilkan Bank Indonesia pada 15 Desember dan 16 Desember dengan menghadirkan tokoh kondang peraih hadiah Nobel 2001, Joseph E Stiglitz, sebagai maskot dalam seminar yang membicarakan masalah sentral yang menerpa Indonesia, yakni "disintermediasi perbankan".

SELAIN dari Dr Stiglitz, peserta seminar juga mendapatkan informasi yang bermanfaat dari ekonom lokal bertaraf global, Dr Iwan Jaya Azis, Country Director ADB, Senior Director Bank Dunia, Washington, dan juga dari pejabat teras papan atas yang berasal dari Bank Sentral Argentina, Korea, Jepang, Thailand, dan-yang tak kalah kualitasnya-dari Bank Indonesia (BI) sendiri. Topiknya pun sangat relevan bagi Indonesia.

Bagaimana cara kita merajut ulang negara ini amat bergantung pada bagaimana kita mendiagnosis permasalahan yang melilit negara kita sebelum kita bisa merumuskan resep pemecahannya. Pada tahap diagnosis, dari sudut mana kita menatap permasalahan memainkan peran kunci. Sudut yang terbatas menghasilkan dimensi pandang yang cupet sehingga diagnosanya pun keliru. Alhasil, resep penyembuhan yang ditulis dari diagnosis yang keliru bukannya meringankan derita sang pasien, malah lebih menyengsarakan dan membahayakan sang pasien.

Itulah prahara yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997- 1998 akibat kekeliruan diagnosis dan resep yang disadurkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan kesimpulan tentang kekeliruan diagnosis IMF ini pula yang menjadi tema utama yang mengantar Stiglitz menjadi maestro ekonomi.

Stiglitz menyimpulkan bahwa resep IMF untuk menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) hingga 70,7 persen pada 1998 di kala perusahaan-perusahaan tengah sekarat akibat ketidakmampuan membeli bahan baku impor pada kurs yang melambung dari Rp 2.500 ke sekitar Rp 15.000 per dollar AS merupakan pangkal utama dari munculnya gelombang gulung tikarnya perusahaan dan pemutusan hubungan kerja. Untuk membeli bahan baku saja sudah setengah mati, apalagi harus membayar beban bunga yang jauh lebih tinggi. Bagi pengusaha, lebih baik bubar jalan.

PHK massal pun terjadi bersahutan, seolah ada kesepakatan bersama dari banyak pengusaha untuk menciutkan skala perekonomian nasional dan memaksimalkan risiko kebangkrutan nasional (default risks).

Indonesia mengalami lebih dari stagflasi (munculnya stagnasi dan inflasi secara bersamaan) karena yang terjadi bukan stagnasi perekonomian, tetapi depresi perekonomian. Produk Domestik Bruto (PDB=GDP) kita menciut jadi minus 13,13 persen pada tahun 1998.

Disintermediasi

IMF berpikir dengan menaikkan suku bunga setinggi langit, modal yang lari bersama dengan pemiliknya yang cemas akan keselamatan dirinya akan kembali. Cukup naif tetapi fatal akibatnya. Gelombang gulung tikar dan PHK ini menghancurkan prospek berusaha, memangkas daya beli, dan menciutkan pasar dan industri. Akibatnya, perusahaan yang masih sehat pun jadi tidak sehat. Proses pemburukan keadaan ini berlangsung secara cepat dan menyeluruh, dan berujung pada penggembungan kredit bermasalah (non performing loans). Bank-bank jadi trauma, kapok dan enggan mengalami nasib serupa. Keengganan serupa juga berlaku bagi dunia usaha. Terjadilah disintermediasi perbankan, atau macetnya fungsi utama bank sebagai perantara dari penyimpan dan peminjam.

Perilaku bank sebelum dan sesudah krisis sangat bertolak belakang. Bila sebelum krisis bank teramat agresif dalam menyalurkan kredit, setelah krisis malah terkesan teramat enggan. Grafik 1 menunjukkan sikap jorjoran dari bank. Rasio kredit terhadap dana yang dihimpun (loan to deposit ratio/LDR) sejak 1989 hingga Februari 1999 berada di atas 100 persen. Aneh tetapi nyata! Ini mungkin yang merupakan awal petaka nasional. Praktik KKN terwujud melalui pemberian kredit tanpa peduli pada kelayakan usaha yang dibiayainya. Akibatnya, industri perbankan limbung semasa krisis. Kini, setelah krisis, bank terkesan tidak bergairah menjalankan fungsi utamanya.

Beberapa panelis menyebut bank (dari sisi suplai) sebagai penyebab disintermediasi perbankan, sementara panelis lain menyebut kurangnya permintaan akan kredit (lack of underlying bankable activity). Yang datang ke bank minta dana adalah mereka yang tidak bankable (tidak layak dibiayai bank), yang dicurigai memiliki niat tidak terpuji, sementara pengusaha yang bankable, yang usahanya sehat lebih memilih menggunakan dana sendiri atau mengeluarkan obligasi yang tenornya lebih panjang dari yang bank minati.

Tudingan kepada bank lebih banyak dilandaskan kenyataan bahwa dana di sistem perbankan berlimpah, tetapi tidak disalurkan ke dunia usaha. Krisis tidak membuat dana pihak ketiga berkurang, malah bertambah setiap tahun, dari Rp 535,5 triliun pada 1998 hingga Rp 889,5 triliun per Oktober 2004.

Stiglitz pun mengamati secara cermat fenomena ini. Sewaktu krisis yang terjadi cuma flight to quality, yang punya dana memindahkan depositonya ke bank yang lebih sehat. Dana dari penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pun diperkirakan kembali pula ke sistem perbankan. Ini dari sisi pasiva neraca bank. Di sisi aktivanya, terjadi penurunan drastis dari Rp 512,7 triliun pada 1998 ke Rp 226,5 triliun pada 1999, atau turun Rp 286,2 triliun berupa NPL yang pindah ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), meski BPPN memberi catatan berbeda tentang jumlah NPL yang dikelola divisi AMC-nya, yaitu Rp 346,7 triliun.

Penurunan akibat NPL ini kemudian ditutup obligasi pemerintah pada 1999 tanpa aliran dana segar. Klaim perbankan pada pemerintah naik dari Rp 0,7 triliun pada 1998 ke Rp 268,7 triliun pada 1999. Secara neraca berimbang, tetapi secara cash-flow, dana masih melimpah di sistem perbankan, tetapi bank masih belum menjalankan fungsi utamanya untuk membiayai perputaran roda usaha.

Risiko usaha dianggap masih tinggi. Lebih enak menaruh dananya, antara lain, di SBI. Suku bunga SBI masih lebih tinggi dari suku bunga deposito, dan spreadnya (antara suku bunga SBI dan deposito) pun kian melebar selama kuartal keempat 2004. Tanpa risiko dan tanpa kerja keras, bisa memastikan keuntungan. Selain pada SBI, dana dari pihak ketiga pun bisa disalurkan untuk obligasi.

Stiglitz mengusulkan untuk meninjau ulang kebijakan yang membolehkan bank menggunakan dana untuk membeli obligasi. Memang tampaknya ada alasan untuk menyalahkan bank juga sebagai penyebab disintermediasi perbankan, tetapi lebih banyak lagi alasan kurangnya permintaan kredit sebagai penyebab utamanya.

Catatan

Langkah paling aman dan termudah untuk menyikapi kontroversi penyebab disintermediasi perbankan adalah menyimpulkan keduanya (baik bank selaku penyuplai dana dan pengusaha yang minta kredit) sama-sama berkontribusi pada macetnya fungsi intermediasi perbankan.

Sikap demikian mengaburkan peran bank dalam perekonomian. Peran bank senantiasa sebagai pendukung dan tidak memegang kemudi. Bank tidak bisa beroperasi tanpa perusahaan selaku pengguna kredit, tetapi perusahaan bisa beroperasi tanpa bank.

Hasil penelitian dari Profesor Stiglitz di 11 negara sumber dana bagi pembentukan modal berasal dari dalam (91,9 persen), yaitu dari laba yang disimpan (retained earnings). Untuk Indonesia, dana investasinya diperoleh dari sumber internal sebesar 99,98 persen. Kredit bank hanya berperan sebagai dana pendukung bagi perusahaan yang berniat untuk memperluas skala operasinya atau investasi.

Prinsip utamanya adalah banks follow the business dan tidak pernah terbalik. Kausalitas berawal dari sisi permintaan ke penawaran. Karenanya, disintermediasi perbankan mesti diurut dari kurangnya aktivitas bisnis yang layak dibiayai atau underlying bankable activity (domestic demand deficiency) akibat dari iklim usaha yang kurang mendukung.

Pemerintah harus berperan aktif menciptakan katalis (terutama penciptaan proyek-proyek infrastruktur) guna menggairahkan permintaan domestik. Bangkitnya gairah usaha akan meningkatkan permintaan akan kredit. Tetapi, ini perlu dukungan kebijakan suku bunga pinjaman yang rendah.

Kebijakan penurunan suku bunga SBI (easing policy bias) sejak 2002 berhasil meningkatkan PDB dan sejak Februari 2004 berhasil menurunkan spread suku bunga antara pinjaman dan deposito. Yang tersisa, hanya tugas membuat suku bunga SBI lebih rendah dari suku bunga deposito sehingga bank juga terpacu untuk menjalankan fungsi utamanya sebagai pendukung sektor bisnis.

Disintermediasi perbankan niscaya akan lenyap. Tidak perlu men-"tabu"-kan yang tidak perlu karena sang maestro Joseph Stiglitz pun mengakhiri seminar ini dengan berpesan bahwa suku bunga SBI yang sedikit di bawah angka inflasi (negative real rate) bisa bermanfaat bagi Indonesia.

[Steve Susanto Head of Danareksa Research Institute]

sumber:
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0412/20/finansial/1446531.htm

No comments: